Beberapa hari setelah berduka...
Terlihat pamannya Senja datang jauh jauh dari Irlandia, karena kabar dari seseorang yang mengatakan ibunya Senja kini telah tiada, rupanya Tante Elis. Paman tanpa basa basi lagi langsung memesan tiket pesawat dan terbang ke Islandia. Tak lupa, dia membawa sedikit oleh oleh untuk Senja, yakni coklat H yang terkenal di Irlandia untuk menghibur keponakan nya nanti, meskipun mungkin akan susah membujuknya untuk melepas kepergian ibunya.
" Paman datang untukmu, nak. Malang sekali dirimu, " ucap Paman mengelus lembut Rambut Senja yang berantakan, wajahnya bahkan lebih berantakan lagi, pucat pasi, dia sudah lama terdiam di sofa pink ini. Senja tak berkutik mendengar ucapan pamannya, yang selama ini tinggal di Irlandia. " Hei, keponakan ku, kenapa kau tak merespon paman mu ini? " Tanya Paman merasa ada yang tak beres. Iya, dia tahu Senja terdiam mematung karena belum bisa menerima takdir ini, biarkan saja. Batin Paman. Paman Santhan, yang merupakan kakak dari ibunya Senja.
" Paman, apa itu benar kau? Jika iya kenapa kau tak memelukku? " ucap Senja merespon paman nya, Senja mendongak, memperlihatkan wajahnya yang berantakan, mata panda nya, tubuhnya yang pucat pasi, rambutnya yang kacau, pada pamannya. Pamannya tentu begitu terkejut, dia lalu langsung mengangkat tubuh Senja dan memeluknya. " Ah, kau ini, seperti anak kecil kehilangan ayah. " Paman yang tak sengaja mengatakan itu langsung menutup mulutnya, dia harusnya ingat tak boleh mengatakan itu! Senja terdiam dengan mengerucutkan bibirnya sedih, membuat pamannya jadi merasa bersalah.
" Senja, bukan itu maksud paman, ehmm.. Paman tak sengaja mengucapkannya, kau tahu? " Tak ada respon Dari Senja, dia terlalu sedih membalasnya. Terlalu terluka hatinya, terlalu banyak kenangan indah yang kini hancur berkeping keping. Senja menatap pamannya, dengan tatapan kosong, tak seperti dulu dimana kehadiran pamannya selalu menyenangkan dan dinanti nanti. " Senja, maafkan aku, bukan itu maksudku, kenapa kau kelihatannya begitu marah? " tanya Paman yang semakin merasa bersalah. Senja menggeleng, perasaannya semakin hancur.
" Hiks... Huaaaaaaaaaaaaa... Paman, aku memang tidak punya siapa siapa lagi kecuali kau! Tapi aku tahu kau tak akan lama tinggal disini, dan membuatku harus segera menikah dengan orang yang bahkan tak aku kenal! Huhu... " Curhatnya dengan berteriak, lalu memukul dada Pamannya, perasaannya benar benar hancur. Waktu bersama keluarga yang ia buang secara sia sia, yang kini tak bisa lagi kembali. Paman berusaha menenangkan keponakannya itu, dia membungkam mulut Senja dengan tangannya.
" Sttttt... Jangan khawatir, aku ini kan man mu, aku kan menjagamu hingga akhir hayat ku, mungkin hingga kau menemukan pasangan yang pas. " Paman berucap dengan nada tenang, membuat kegugupan Senja setidaknya sedikit tenang. Senja meneguk ludahnya, lalu mengangguk, dia harus segera mencari pasangan? Hidup yang berat...
" Tapi paman, dengan siapa aku akan menikah? Aku dekat dengan sejenis saja susah, apalagi dengan lawan jenis? " Tanya Senja mengerucutkan bibirnya, bukannya dia lebay, tapi memang kenyataannya begitu.
" Ingat pesan pamanmu ini, ingat hatinya, bukan wajahnya. " paman menepiskan senyumannya, Senja membalasnya semanis madu. Mungkin agak tak masuk akal, tapi ia tahu apa artinya, petanda pamannya sangat peduli padanya. " Paman, kau memang yang terbaik! " Senja menepiskan senyumannya. Hatinya kini mulai tenang, dia lalu memilih ke dapur, dia lapar karena tidak pernah makan sejak kematian ibu karena kepikiran terus, dan kini pikiran itu tak lagi melayang hingga membuat Senja sedikit tenang.
" Kenapa Senja? " Paman menyusul karena Senja merasa tak nyaman, terlihat sekali dari ekspresi nya di dapur, dapur yang terdiri dari mini bar dan perlengkapan memasak, yang jaraknya hanya beberapa meter dari ruang tamu. Senja menoleh pamannya, dengan tatapan yang mengerucutkan bibirnya. " Paman, aku tak punya makanan. " Ucap Senja merengek, tujuannya untuk dibelikan makanan enak oleh pamannya.
Pamannya terkekeh, sementara Senja menatap aneh pamannya. Tapi dia tak mau ambil pusing, setelah kejadian yang membuat kepalanya tak konsisten beberapa hari ini. " Ini, paman bawakan Coklat H untukmu. " Paman mengeluarkan bingkisan yang ternyata isinya coklat kesukaan Senja waktu pamannya berkunjung, yang mesti membawa itu. Pantas saja, dirinya penasaran sekali dengan isi plastik itu.
" Ah, paman. Kau memang yang terbaik. " Senja mengecup lesung pipi pamannya, petanda terimakasih, ' Anak ini, mudah sekali dia jatuh, hanya dengan diberi coklat. ' gumam paman lalu terkekeh. Senja tak peduli pamannya memperdulikan apa, dia lebih fokus pada coklatnya, lalu tersenyum tipis dengan matanya yang terlihat tidak terlalu senang. Pamannya yang tak mau ambil pusing, lebih memilih kembali duduk.
" Paman, aku sedang tidak selera makan coklat ini. Aku akan menikah Minggu depan meskipun aku belum siap, " ucap Senja yang tiba tiba menghampiri Pamannya. Pamannya terbelalak, jadi karena itukah wajah Keponakannya menjadi pucat pasi hingga rambutnya berantakan? " Senja, katakan pada paman, apa ini yang membuatmu pucat pasi seperti ini? " tanya Paman dengan serius lalu Senja mengangguk dengan lemas, tanpa melihat kearah pamannya.
" Astaga naga! Kenapa kau tak bilang dari awal? Aku ini pamanmu! Aku akan membantumu! " ucap Paman memantapkan hatinya. Biarkan akan dibilang apa, demi keponakan tercintanya! Senja menggeleng, lalu menjawab pamannya dengan pedas! " Paman, harusnya aku pun tak boleh memberi tahu kau tentang ini! Plis lah, ini urusanku! Paman tak perlu begitu ikut campur! Mau aku mati sekalipun, aku rela! Semua keluarga ku ada di sana! Ayah, ibu. " Ucap Senja dengan nada sesak. Ini terlalu menyedihkan untuknya, bahkan perkataannya barusan terlalu sedih dan membuat pamannya merasakan kesedihannya, tapi biarkan Paman menyimpannya, bagaimanapun dia tak akan rela.
" Senja, jangan bicara begitu. Paman dan ibumu juga hidup sebatang kara, tapi itu tak pernah menjadi motivasi kami untuk menyerah, kami tetap semangat meskipun berat menjalani kehidupan. Kau jangan menyerah. " Ucap Paman yang mencoba memberi semangat. Memang benar, mereka adalah sebatang kara yang hidup di kerasnya kehidupan di kota Dublin, Irlandia pada masanya.
" Paman, tapi bisakah paman tinggal bersamaku hingga aku menikah? Aku takut tinggal sendiri. " Ucap Senja yang mencoba melepas semuanya, mencoba tenang, melepas semua yang sudah terjadi dengan ikhlas. Paman mengangguk dengan senyuman tipis yang tersinar dari wajahnya. Senja setidaknya merasa sedikit lega. " Tentu, kenapa tidak? Aku tahu kau akan ketakutan tinggal sendiri di rumah yang besar ini, paman memang berencana lama tinggal disini, untuk menemani mu, " dengan senyuman tipis. Senja memeluk pamannya, memeluknya dengan penuh syukur, anggota keluarga terakhirnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Malam hari, Senja dan pamannya tidur di ranjang yang sama. Pamannya sudah tertidur, sementara Senja masih terjaga. Dia tak bisa tidur karena pamannya itu mendengkur terlalu keras. ' Ya ampun, ternyata dia lebih berisik dari waktu terakhir kali kami tidur bersama, Tiga tahun lalu. ' Batin Senja. " Paman, kecilkan suaramu. Aku tak bisa tidur! " ucap Senja dengan nada sedikit keras, tiba tiba saja pamannya berhenti mendengkur. Senja jantungan, ternyata pamannya juga masih terjaga? Senja menutup sekujur tubuhnya dengan selimut, dia begitu malu mengatakan itu, apalagi ternyata pamannya yang ternyata masih terjaga.
' hihihi... Kau belum banyak berubah. ' batin pamannya lalu kembali menutup matanya hingga akhirnya benar benar tertidur.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
NOTES Utk smnya: Halo, semoga masih setia dan tidak bosan dengan ceritanya, ya ^•^ karena rencananya, cerita ini bukan crita pernikahan sahaja, tapi perjalanan hingga pernikahan yang benar benar tiba ^^ See You Next Story