Baru saja mereka berbahagia karena pelajaran Pak Alan, sekarang malah berhadapan dengan mapel yang paling tidak mereka sukai, kecuali Alona Cluver. Yah, tidak lain dan tidak bukan mata pelajaran matematika.
Sekarang mereka sedang gugup karena Pak Romi ingin menunjuk satu orang untuk maju dan menjawab pertanyaan di papan tulis.
"Gue kagak ngarti ama soalnya anjir!" Rachel menundukkan kepala.
"Lu kira, lu, doang! Gue, bahkan, nggak tau gimana baca soalnya!" Ulva pun sedang gugup. Ulva dan Rachel duduk sebangku dan posisi meja mereka, berada paling depan.
"Moga-moga bukan gue." Rachel berharap bukan dia yang ditunjuk.
"Mukanya tegang banget. Santai, aja." Pak Romi menyadari ketegangan yang sedang mengelilingi kelas. "Soalnya nggak gigit, kok."
"Canda dulu ye, kan. Habis itu, baru bersedih-sedih ama tu soal yang meresahkan." Juna tidak bisa mengikuti saran Pak Romi untuk bersantai.
"Bapak tunjuk, ya?" Tidak menunggu jawaban mereka, Pak Romi langsung menunjuk. "Coba Juna kamu yang maju."
Duar!
Seperti tersambar petir, Juna langsung melongo ke arah Pak Romi.
"Kenapa kamu? Kumat gilanya?" heran Pak Romi.
"Pak! Coba Bapak tanya sama saya '1+1 itu berapa?'"
"1+1 itu berapa?"
"10!" jawab Romi tanpa jeda. "Tuh, kan, Pak! Tambah-tambah angka, aja, saya nggak bisa! Apalagi 2x+2y!"
"Terus apa aja yang kamu pelajari selama ini?"
"Saya hanya mempelajari yang saya bisa saja, Pak!"
"Bahkan, bayi aja bisa 1+1 berapa!"
"Saya bayi ajaib!"
"Udah! Jangan banyak alasan! Cepat maju dan jawab! Lagian, ini yang Bapak tanya sisi miring segitiga, kok, kamu malah bahas 2x+2y!"
Juna menghela nafas kasar. Rencana yang ia susun secara terburu-buru tadi tidak mempan untuk meruntuhkan pertahanan Pak Romi.
"Otaknya lari kemana, dah? Masa 1+1 aja kagak bisa." Revha menatap heran Juna.
"Mungkin Juna nggak bisa menjawab soalnya," ucap Alona.
"Lu bisa jawabnya?" tanya Revha.
"Ini, kan, materi kelas 8, cuma Pak Romi mau menguji kita lagi. Pakai rumus phytagoras, aja. Kalo ditanya sisi miring, kamu tinggal tambahin aja pangkat 2 sisi panjang dan pangkat 2 sisi pendek, trus hasilnya diakar pangkat 2 aja. Kalo ditulis rumus jadinya c²=a²+b². Ketemu deh hasilnya."
"Yah, nggak diragukan, sih, kalo lu." Revha sudah tidak heran bila Alona bisa menjawab soal yang diberikan Pak Romi. "Alona."
"Apa?"
"Lu tau nggak, -1+1 itu berapa?"
"0."
"Yup! Lu bener. Sama kayak kehidupan, aja. Bila hanya satu yang membawa ketulusan, pada akhirnya hanya akan ada perpisahan dan hubungan hanya tersisa kenangan. Bahkan, kenangan itu tidak ada artinya. Angka '0' memang hasil, tapi angkanya tidak memiliki makna apapun. Angka tanpa nomor. Kenangan tanpa arti."
Alona mengelus pundak Revha. "Angka '0' memang angka tanpa nomor. Tapi tanpa '0', angka-angka yang bernomor, tidak akan menjadi nomor. Sama seperti kenangan kamu. Memang tidak ada arti, tapi kehidupan yang sedang kamu jalani ini memiliki arti karena kenangan yang hinggap di pikiranmu. Kenangan indah maupun tidak, itu semua hal yang membuat kamu lebih membangun kehidupan kamu yang lebih berarti."
Alona tersenyum hangat untuk memberi semangat kepada Revha. Alona yakin bahwa perasaan sayang kepada Luki masih tersisa, rasa itu yang membuat Revha masih menyimpan luka.
Revha langsung memeluk Alona. Ia bersyukur bisa bertemu dengan seseorang yang tulus ingin berteman dengannya. Sepanjang hidupnya, Revha hanya berteman dengan seseorang yang hanya memandang keluarganya, bukan dirinya. Sifat keras terhadap semua orang itu tumbuh karena Revha menghindari orang-orang yang berteman dengan memandang status keluarganya.
Saat pertama kali bertemu dengan Alona, Revha melihat sorot mata Alona yang terlihat sepi tanpa teman. Kegugupan yang Alona perlihatkan, bukti ia tidak pernah bergaul dengan teman seusianya. Melihat Alona yang tidak mempunyai teman, membuat Revha jadi mengingat dirinya. Revha mendengar cibiran dari seseorang yang tidak menyukai Alona, karena menurut mereka, Alona yang datang dari keluarga tidak mampu, tidak pantas untuk bersekolah disini.
Revha membuang sikapnya yang keras untuk Alona. Ia tidak ingin melihat seseorang yang kesepian seperti dirinya. Ia ingin menghilangkan kesepian Alona.
***
"Jeffry!" Ditha menghampiri Jeffry yang baru saja mengganti baju olahraganya.
"Apa?" tanya Jeffry dingin.
"Temenin aku jalan, ya?" Ditha mengalungkan tangannya pada lengan Jeffry.
"Gue sibuk." Jeffry malas menghadapi Ditha.
"Kamu sibuk ngapain? Dari tadi aku nggak liat kamu ngelakuin kegiatan, tuh."
"Sibuk benafas."
Ditha terdiam sebentar karena ia bingung ingin menjawab apa. "Temenin, ya? Aku mau beli sesuatu buat Mama aku."
"Hahhhh! Iya-iya." Karena tidak mau membuang waktunya dengan Ditha, jadi Jeffry terpaksa mengiyakannya.
Ditha tersenyum senang mendengar jawaban Jeffry. Ditha memberikan minuman yang ia beli pada Jeffry, lalu ia kembali lagi ke kelasnya.
***
Wenda sedang mengatur anak kelas X IPA 3 agar yang piket tidak kabur.
"Hari Selasa! Arwan, Cecilia, Juna, Pandu, Rachel, Raka, Soni. PIKET! JANGAN KABUR!" Wenda memberi peringatan kepada mereka.
"Iya-iya. Berisik banget, dah." Juna menutup telinga karena suara Wenda sangat memekakkan.
"Hilih! Kalo nggak digituin, nanti orang setipe lu bakal kabur!" ketus Wenda.
"Jangan sama ratakan orang," ucap Juna.
"Kemaren si Gio ama si Farel kan kabur gara-gara lu yang hasut, kan?!" Wenda memasang wajah curiga.
"Nggak, tuh."
"Bohong aja lu!" Yah, saat hari Senin kemarin, Gio dan Farel kabur dari piket karena Juna yang mengajak mereka untuk kabur. Tapi sayangnya, rencana Gio dan Farel untuk kabur, gagal. Karena Dea dengan sigap langsung mengejar mereka. Juna? Ia sudah jalan duluan. Juna malas berhadapan dengan ocehan Dea.
"Hehehe," nyengir Juna.
"Udah, sana cepet piket!" Mereka langsung piket sesuai tugas mereka.
Alona dan Revha sudah keluar kelas terlebih dulu. Hari ini, karena Tante Nana ingin mengecat ulang Cafe-nya, jadi untuk sementara Cafe Awkins ditutup.
Karena Alona tidak part time untuk sementara, jadi Revha mengajak Alona jalan-jalan.
Revha dan Alona menaiki mobil Revha. Dari dulu, Revha selalu naik mobil dengan disupiri. Ayah dan Ibunya tidak ingin Revha kenapa-napa. Sebenarnya Revha ingin mengendarai mobil sendiri, tapi karena umurnya belum mencapai usia yang boleh mengendarai sendiri, jadi Revha kemana-mana dengan supir.
Revha mengajak Alona pergi ke pusat perbelanjaan atau mall. Revha ingin membelikan sesuatu untuk Alona, sekalian makan.
Sesampainya di mall, Revha langsung menarik Alona. Alona menatap kagum gedung itu. Alona memang pernah pergi ke pusat perbelanjaan, tapi tidak pernah sebesar ini. Karena baju yang Revha dan Alona kenakan adalah seragam sekolah, jadi mereka menutupinya dengan jaket.
Revha malas memakai seragam bila pergi ke mall, jadi ia mengajak Alona untuk membeli baju untuk mengganti seragam yang mereka pakai saat ini.
"Alona, beli baju baru, ya. Biar kita ganti pake baju biasa."
"Aku nggak, ya, Vha. Aku pake seragam, aja."
"Udah, ayo aja!"
"Tapi ...,"
Mereka memasuki salah satu butik yang terkenal. Alona memang tidak tau dengan brand-nya, tapi Alona yakin harga baju yang terpajang pasti sangat mahal.
"Revha, kita mau ngapain ke sini?" Alona tidak ingin memasuki butik itu.
"Emang kenapa? Nanti gue yang traktir." tanya Revha.
"Aku nggak mau ngerepotin kamu."
Lagi dan lagi Revha mendapatkan penolakan dari Alona. "Nggak! Lu nggak ngerepotin! Udah ayo!" Revha menarik Alona agar masuk ke butik itu.
Revha memilih baju untuknya dan Alona. Revha menyuruh Alona mencoba baju yang ia pilih. Alona mencoba semua baju yang Revha pilih dan Alona memperlihatkannya pada Revha Karena Alona terlihat cocok memakainya, jadi Revha memborong semua baju yang Alona coba. Alona sudah coba untuk menghentikannya, tapi Revha tetap keukeuh. Revha dan Alona langsung mengganti seragamnya dengan baju yang sudah Revha beli.
Mereka kembali jalan mengelilingi mall. Revha sedang membelikan cemilan yang tidak pernah Alona makan. Alona berbinar-binar saat memakannya. Revha tersenyum senang melihatnya. Revha berpikir mereka ingin makan di tempat makan yang mana.
Kring!
Suara ponsel Revha berbunyi. Tertampil nama kontak Mama di layar ponselnya.
"Alona." Alona langsung menoleh ke arah Revha. "Gue angkat telepon dulu, ya. Lu tunggu di sini aja." Alona langsung mengangguk.
Alona mencari tempat duduk yang bisa ia duduki, dan Alona menemukannya. Alona jalan menuju tempat duduk itu.
Alona langsung menduduki tempat duduk itu. Alona duduk menunggu Revha. Alona mengeluarkan ponselnya. Ternyata sedari tadi ponselnya sedang mati karena belum di isi daya.
Tempat duduk di sebelah Alona, yang tadinya kosong, sudah diduduki orang. Orang itu sedang memainkan ponselnya fokus. Alona tidak menghiraukan orang itu. Tapi saat Alona mendengar suara orang itu, Alona langsung melihat ke arahnya.
"Eh!" Alona terkejut melihat orang itu.