***
"Tidak terjadi apapun pada Yang Mulia," ujar tabib dengan yakin. Dia sudah memeriksa keadaan Arunika berkali-kali, tapi tetap tidak ada kesalahan apapun pada tubuh putri baru itu.
"Lalu kenapa dia terus mengeluarkan darah jika tubuhnya tak ada yang salah?" tanya Gasendra kesal. Dia jadi berpuluh-puluh kali lebih khawatir karena sering mendapat laporan dari Eni yang datang ke ruang kerjanya di Istana Gading.
"Sa.. saya tidak tahu, Yang Mulia." Tabib itu menundukkan kepala sambil menggigit bibirnya.
"Tch!" Gasendra mendecih. Dia menoleh saat merasakan usapan ringan di lengannya.
"Jangan marah-marah," lirih Arunika melihat alis suaminya terus mengerut sepanjang pemeriksaan. Bahkan Gasendra telah menyuruh tabib untuk memeriksanya berkali-kali karena diagnosa yang menurutnya salah.
"Bagaimana aku tidak marah-marah? Istriku terus mengeluarkan darah dan merasakan sakit, tapi mereka bilang tak ada yang salah dengan tubuhnya!"
Semua orang yang ada di ruangan itu mengernyitkan dahi mendengar suara lantang Gasendra. Napas pria itu menderu hebat karena amarah yang meletup.
Hanya Arunika saja yang tak memberikan respon. Dia tetap menatap suaminya sambil memegang lengannya dan tersenyum tipis.
Napas Gasendra perlahan kembali normal. Dia menundukkan kepala di hadapan Arunika.
"Aku minta maaf."
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa," ujar Arunika menenangkan. Sekarang Arunika terlihat seperti pawang yang berhasil menenangkan macan kelaparan.
"Yang Mulia Raja dan Penyihir Agung Eros izin memasuki ruangan!"
Mereka kompak menoleh ke pintu kamar Arunika yang masih tertutup.
"Ya, masuk saja!" seru Gasendra.
Pintu itu terbuka, ada Jahankara dan Eros yang telah kembali dari liburan panjang datang ke kamar Arunika secara mendadak.
Semua orang yang ada di ruangan itu langsung membungkukkan tubuh dan memberi salam pada Jahankara.
"Semoga anda selalu diberikan berkah dan kasih sayang oleh para dewa dan dewi, Yang Mulia!"
"Ya, kalian juga," balasnya sambil berjalan mendekati ranjang Arunika.
"Kenapa anda datang ke sini?" tanya Gasendra. Setahunya dari Ger, Jahankara sedang sibuk akhir-akhir ini karena berusaha meredamkan kasus terakhir dan tugas lainnya.
"Dia khawatir dengan menantunya," sahut Eros santai.
"Lalu, kenapa kau ada di sini?"
Eros bersedekap sambil menunjuk Jahankara dengan dagu. "Dia yang membawaku ke sini."
Mendengar hal itu, membuat mata Gasendra beralih pada ayahnya yang sedang memperhatikan Arunika dengan ekspresi sulit diartikan, membuat menantunya merasa kikuk.
"Kudengar kau sakit?" tanyanya dengan ragu.
"Sedikit, Yang Mulia."
Jahankara mengernyitkan alis. "Bukankah terakhir kali aku sudah menyuruhmu memanggilku ayah?"
Arunika tersentak kecil.
Gasendra berdecak kesal. "Jangan menekannya terlalu kasar. Istriku sedang sakit," gerutunya .
Arunika menggenggam tangan Gasendra, kemudian menggeleng, mengisyaratkan untuk bersikap sopan pada ayahnya sendiri.
"Maafkan saya, Ayah."
"Lupakan saja itu. Apa benar kau sakit, Arunika?"
"Ya, Ayah. Beberapa hari terakhir, hidung, mulut, dan telinga saya sering mengeluarkan darah, kemudian disusul sakit di bagian perut."
Tubuh Jahankara menegang. Sekilas bayang-bayang buruk yang terjadi di masa lalu menghantuinya.
"Hei, tenang saja... aku rasa bukan itu yang jadi penyebabnya," ujar Eros seraya memegang pundak Jahankara.
"Lalu...?"
"Kau mengetahuinya, Nek?" tanya Gasendra spontan.
Eros melangkah maju dan mengamati Arunika.
"Tahu dan tidak."
"Eros, kumohon seriuslah...!" geram Gasendra menatapnya tajam.
"Kau ini seperti minyak saja!" cercanya. Eros duduk di ranjang Arunika. Dia mengulurkan tangan dan disambut Arunika dengan ragu-ragu.
"Salam kenal, saya Penyihir Eros. Ini pertama kalinya kita bertemu," ujar Eros yang malah memperkenalkan diri. Membuat orang yang menaruh ekspetasi padanya menjadi darah tinggi.
Arunika tersenyum canggung dan mengangguk. "Saya Arunika, salam kenal juga...."
Eros menatap Arunika, tiba-tiba dia melepas genggaman tangan mereka begitu saja.
"Eros!"
"Hei, Nek!"
Eros seolah tak peduli dengan teguran itu. Dia mengamati tangannya yang terpaksa dia lepaskan begitu saja.
"Sepertinya aku tahu apa penyebabnya."
"Apa itu?" tanya Jahankara dan Gasendra serempak.
"Hei, tabib! Ke mari!" seru Eros sambil menggoyangkan tanga!, menyuruh tabib itu mendekat padanya.
"Ya, ada apa?"
"Apa kau pernah menemukan pasien seperti ini sebelumnya?"
"Saya rasa... tidak."
"Coba diingat lagi!" seru Eros keras kepala pada pendiriannya.
Tabib itu kebingungan. Namun, dia tetap berusaha mengingat kejadian yang entah dialaminya atau tidak.
"Payah sekali," ejek Eros dengan wajah julid. "Aku ganti pertanyaannya. Apa kau pernah merekomendasikan orang yang sakit untuk datang ke kuil?"
"Kalau itu pernah, Nek."
"Jangan panggil aku nenek!" tegas Eros sambil melebarkan mata, membuat Jahankara terkekeh kecil. "Kau tidak lihat wajahku yang masih muda? Dasar tidak sopan!"
Tabib itu tambah kebingungan... Bukankah putra mahkota juga memanggilnya nenek? Sebenarnya siapa yang tidak sopan di sini?
"Maafkan saya, Penyihir Eros."
"Apa penyebab kau merekomendasikan pasien untuk datang ke sana?"
"Karena ada tanda kuno di bagian tubuh mereka. Jadi, saya merekomendasikannya untuk disucikan oleh dewa atau dewi di kuil."
Eros mengangguk-anggukan kepala. Dia menoleh pada Gasendra dengan tatapan sayu.
"Kau sudah tahu kan apa obatnya?"
"Tidak mungkin... maksud kau...?"
Eros mengangguk. "Istrimu diganggu iblis. Itu yang membuatku menarik tangan secara tiba-tiba karena ada energi lain yang ingin menarik sihirku. Kau tahu kan kalau sihir dan iblis itu sedikit berkaitan?"
Seisi ruangan itu terdiam, memperhatikan kondisi Arunika sambil bertanya-tanya di dalam hati tentang hipotesis Eros.
"Yah, wanita itu sasaran mudah bagi iblis. Apalagi istrimu sedang hamil... itu mangsa yang sangat empuk untuk diganggu iblis," jelas Eros menatap Arunika yang kini melamun.
"Penyihir... tapi, tak ada tanda kuno di tubuh Yang Mulia," sela Gray yang biasa membantu Arunika untuk mandi.
"Karena hal itulah tabib ini tidak merekomendasikannya untuk datang ke kuil. Tanda itu tidak muncul!"
Eros meminta tangan Arunika lagi untuk dia pegang. Arunika pun mengulurkan tangannya... kemudian mereka saling menggenggam dan Eros melepaskannya lagi secara tiba-tiba.
"Aku mengenal energinya. Dia yang paling kuat di antara yang terkuat," kata Eros sambil memijit tangannya yang terasa kebas.
Sebagai penyihir, dia juga pernah mempelajari sihir hitam yang berasal dari iblis. Bahkan Eros pernah mencoba untuk bereksperimen tentang sihir hitam, walaupun dia langsung meninggalkannya karena penelitian itu tak cocok bagi mananya.
"Bawa dia ke kuil jika ingin terlepas dari gangguan iblis itu."
***
Dua hari kemudian, setelah pihak istana membuat janji temu dengan pendeta agung.
Kereta kuda istana tiba di depan Kuil Suci Mahaphraya. Gasendra turun dari sana dan membantu istrinya untuk turun juga.
Dia memutuskan untuk ikut menemani istrinya di tengah kesibukan tugas dan pekerjaan sebagai putra mahkota.
"Gasendra, aku terus merasa pusing saat sampai di sini," bisik Arunika di perjalanan menghadap pendeta agung.
"Mau aku gendong?" tawar Gasendra.
Arunika menggeleng pelan. "Aku masih bisa berjalan."
"Sungguh?"
"Ya."
Gasendra menatap istrinya dengan khawatir. "Beritahu aku kalau kau terlalu pusing untuk berjalan, mengerti?"
"Iya, aku mengerti. Jangan lepaskan genggaman tangannya," pinta Arunika menambah erat genggaman itu.
Gasendra membawa genggaman mereka ke bibir dan mengecupnya. "Tidak akan."
***
Pendeta agung bisa menerjemahkan pesan dewa dewi yang diberikan Tuhan. Ada sekitar lima pendeta agung yang tersebar di perbatasan Mahaphraya, salah satunya di Kuil Urdapalay saat mereka menikah beberapa bulan lalu.
Dan karena tafsiran yang dikatakan pendeta agung, di sini lah akhirnya Arunika berada, di tengah-tengah kolam besar untuk disucikan dewi dengan kondisi setengah pusing.
"Tidak bisakah aku masuk ke sana? Istriku terlihat sempoyongan," ujar Gasendra khawatir. Sejak tadi, dia hanya bisa mengamati Arunika dari jauh saja.
Pendeta agung itu menggeleng. Terjemahannya mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Tidak boleh ada seorang pun yang masuk ke dalam kolam sampai jejak iblis itu keluar dari tubuh Arunika.
"Arunika!" teriaknya saat melihat darah merembes keluar dari mulut istrinya. Dia ingin menggapai, tapi tubuhnya dikekang oleh pendeta lainnya.
"Yang Mulia, tolong kerja samanya!" seru pendeta agung. "Kita hanya bisa melihat permaisuri dari sini saja," tegasnya.
"Bagaimana bisa aku...?" Gasendra menatap nanar pada Arunika yang terlihat kesakitan. "Sampai kapan...?"
"Sampai jejak iblis itu keluar dari tubuh beliau."
"Dia bisa sakit. Ada bayi kami juga di sana!" Tangan Gasendra berusaha menggapai kolam walaupun masih jauh letaknya.
Pendeta agung itu mendekat pada Gasendra dan menyentuh dahinya, membuat putra mahkota itu menjadi lebih tenang.
"Dewi melindungi mereka."
Sesaat setelah pendeta agung mengatakan hal itu, kolam mulai dipenuhi dengan warna hitam kemerah-merahan, kemudian terdengar teriakan histeris di tengah sana.
"ARUNIKAAA!"
***
Di sisi lain, putri mahkota yang tengah dihukum tetap berdiam diri di kamarnya dan sibuk melakukan serangan sihir hitam.
"GGGHHH!" Agni memegangi dadanya yang terasa nyeri. Darah mulai mengalir dari mulutnya.
'Sialan...! Aku tidak boleh kalah!' batinnya berusaha menang.
Namun, kekuatan iblis di dalam dirinya belum sempurna sehingga kesadaran Agni kembali tertelan ke dunia bawah.
Agni pingsan sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan.
———