***
Pintu kamar terbuka dan menampilkan seorang wanita dengan gaun tidur berwarna putih diiringi dua dayang yang memegang kedua tangannya.
Wanita cantik itu diantarkan sampai ke ranjang oleh para dayang yang tersenyum simpul padanya. Sang wanita juga tersenyum malu walaupun rasa gugup menyelimuti dirinya.
Ini malam pertama. Malam yang dikatakan sakral bagi pengantin baru. Malam di mana dia benar-benar akan menjadi seorang istri yang sah. Bisa dikatakan jika malam pertama adalah upacara penyempurnaan bagi pasangan suami istri.
"Jangan terlalu gugup, Permaisuri. Tarik napas anda, lalu buang secara perlahan."
Arunika mengikuti petunjuk dari Eni. Sedikit berefek untuk menghilangkan rasa gugupnya.
"Ingat, Permaisuri. Jika anda gugup, maka akan terasa... sakit," ujar Gray dengan suara mengecil di bagian akhir.
Sontak pipi Arunika memerah malu. Dia mengipasi wajahnya yang panas dengan tangan. Kemudian berdeham pelan.
"Ekhem... ya. Terima kasih, Gray, Eni. Kalian memang selalu bisa diandalkan."
"Tentu, Permaisuri."
"Benar kan aku hanya perlu duduk dan menunggu di sini saja?" tanya Arunika yang sejak tadi sudah duduk di ranjang.
"Iya, Permaisuri. Anda hanya perlu duduk di ranjang menunggu kedatangan Yang Mulia."
Arunika meneguk saliva. Dia menjilat bibirnya. Seketika dia merasa haus. "Yang Mulia akan datang, kan?" tanya Arunika. Padahal dia sudah mengetahui jawaban yang pasti.
"Kalau tidak datang, besok pasti akan ada perang besar dengan Tuan," sahut Eni sambil tertawa kecil.
Arunika tertawa dengan lelucon itu. "Tapi, Ayah tidak jago mengayunkan pedang."
"Bagaimanapun Tuan pasti akan menggunakan seribu satu cara agar bisa menang. Tuan sangat menyayangi anda, Permaisuri."
"Ayah pasti akan tetap mengayunkan pedang walaupun sudah tahu akhirnya akan bagaimana," sahut Arunika dengan kekehan kecil. Arunika tahu betul jika ayahnya tidak terlalu jago memainkan pedang, karena sejak kecil ayahnya lebih menyukai bisnis dan permata daripada pedang. Namun, ayahnya tetap mendapat pendidikan pedang sebagai penerus keluarga. Bahkan bisa dibilang kekurangan terbesar ayahnya adalah mengayunkan pedang.
"Yang Mulia pasti akan datang," ujar Gray memecah situasi.
"...Terima kasih lagi karena sudah menghiburku. Umm... kalian boleh keluar dari kamar ini," kata Arunika. Dia menyadari jika ini sudah tengah malam dan mereka juga butuh istirahat. Apalagi mereka juga sangat sibuk mempersiapkan pernikahan. Lagipula sebentar lagi Gasendra akan datang sesuai janjinya tadi sebelum mereka berpisah untuk berhias.
Gray dan Eni mengangguk bersamaan.
"Kalau ada yang anda butuhkan, silakan panggil kami, Permaisuri."
"Kami ada di depan kamar anda. Kapanpun anda membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk memanggil kami."
"Kami pamit, Permaisuri. Selamat malam."
"Jangan terlalu gugup, Permaisuri!"
"Iya-iya. Selamat malam, Gray, Eni."
Mereka membungkukkan badan, lalu keluar dari kamar dan menutup pintu dengan senyuman.
"Hah... sekarang apa yang harus kulakukan selagi menunggu?"
Semilir angin menyentuh rambut Arunika dan membuatnya berterbangan. Dia menoleh pada jendela yang tertutup.
"Sepertinya cahaya bulan malam ini sangat terang," gumam Arunika saat melihat cahaya bulan dari ventilasi yang cukup lebar. Dia beranjak turun dari ranjang, berjalan menuju jendela, dan melupakan tugasnya untuk menunggu di atas ranjang.
Tangannya menarik kaitan dan jendela pun terbuka. Disambut dengan balkon kecil dan cahaya bulan yang sangat terang, berpadu dengan gelapnya malam.
"Cantik sekali." Dia menyatukan ibu jari dan telunjuk, kemudian melihat rembulan dari lingkaran yang dibuatnya.
"Ini malam yang sempurna," celetuk Arunika.
"Ini memang malam yang sempurna."
"Huh!" Tubuh Arunika hampir limbung ke depan saat tangan kekar memeluknya dan menyusup ke balik gaun malamnya.
Kecupan ringan mendarat di pipi kanan yang membuat Arunika memejamkan mata.
"Aku terkejut saat memasuki kamar."
"Kenapa?" tanya Arunika sambil menoleh.
"Aku tidak menemukan pengantinku menunggu di atas ranjang. Kukira ada yang membawanya kabur," canda Gasendra.
"Ah... maaf. Aku tertarik melihat cahaya bulan malam ini dan tanpa sadar melupakannya." Arunika meletakkan kedua tangannya di atas tangan Gasendra yang memeluknya dari belakang.
Gasendra mendongak, melihat bulan yang dibicarakan Arunika. Dia berdecak kagum. Itu bulan dengan bentuk dan cahaya yang sempurna.
"Kau benar, Istriku. Bulannya sangat indah."
"Ya, kan? Terkadang saat tidak bisa tidur, aku akan membuka jendela dan melihat bulan. Anehnya, beberapa menit kemudian aku jadi mengantuk."
"Itu karena cahaya bulan membuatmu tenang. Bukankah angin malam juga mendukungmu untuk mengantuk?" tanya Gasendra seiring dengan tangannya yang menyusup lebih ke atas.
"Hmm... ya," jawab Arunika dengan desahan kecil.
Gasendra meletakkan kepala di pundak kanan Arunika.
"Tapi, kau bisa masuk angin jika memakai gaun tidur saat melihat bulan."
"Hmm, biasanya aku memakai jubah lagi agar tidak kedinginan."
"Oya? Tapi, malam ini kau tidak memakainya." Gasendra mengecup perpotongan leher Arunika. Sesekali dia menjilat dan mengecupnya sedikit lebih keras hingga meninggalkan tanda kemerahan kecil.
"Hnghh.... Itu karena ada kau yang memelukku." Gasendra menghentikan aksinya. Dia menatap Arunika dengan tatapan sayu bergairah.
Jantung Arunika berdetak cepat. Dia tak mengira kalimat rayuan tadi akan keluar dari bibirnya. Namun, karena tidak ada respon dari suaminya, Arunika pun menoleh.
"Gasen--uphh!" Wajahnya dipegang dan bibirnya dibungkam. Gasendra menyesapnya dengan lembut sampai membuat Arunika terhanyut dan ikut membuka bibirnya.
Lidah mereka saling bertaut, mencari kehangatan di sana dengan bertukar saliva, mengabsen bagian dalamnya, dan mendesah bersama.
Terkadang disesap dengan lembut, terkadang disesap dengan kuat dan gigitan kecil di bibir.
Deru napas mereka semakin memanas. Mereka dapat merasakannya saat bertukar napas. Arunika meremas tangan Gasendra dengan tangan kirinya.
Gasendra mengakhiri ciuman dengan kecupan ringan. Dada mereka naik turun, menahan debaran yang semakin menggila saat bertatapan dengan jarak sedekat itu.
Gasendra tersenyum di sela-sela mengambil napas. Dia memutar tubuh Arunika untuk menghadapnya. Hal itu membuat napas Arunika yang hampir normal, kembali memburu.
"Jangan gugup, Arunika. Malam ini aku akan mengajarimu banyak hal." Gasendra berbisik rendah sambil mengelus wajah Arunika.
"Kau mau kuajari pelajaran baru, kan?"
Arunika meneguk saliva. Matanya beralih melirik ke ranjang di belakang sana. Dia mengangguk pelan.
Arunika mendongak, menatap sayu Gasendra dengan memohon.
"Ajarkan aku... sampai aku tak bisa melupakannya."
Gasendra menyeringai, tampak seperti iblis penuh nafsu.
Tubuhnya langsung menunduk, menyesuaikan tinggi dengan Arunika dan melumat bibir delimanya.
Tangannya menarik tubuh Arunika agar semakin mendekat dengannya. Sesekali dia juga meraba tubuh Arunika hingga membuatnya mengerang.
'Panas... tapi ini nikmat,' batin Arunika. Dia membuka matanya di tengah ciuman. Ada rasa bangga tersendiri saat melihat Gasendra menikmati ciuman dengan mata tertutup.
Tangan Gasendra mengarah ke mata Arunika dan menutupnya. Mengisyaratkan untuk memejamkan mata saat sedang berciuman.
Gasendra memegang pinggang Arunika dan sesaat kemudian dia menggendongnya.
"Mmmh!" Arunika memekik tertahan. Gasendra membawanya menuju ranjang tanpa melepas ciuman mereka.
Arunika mengalungkan tangan pada Gasendra, menyelipkan jari-jarinya di antara rambut Gasendra dan menariknya saat kenikmatan berciuman membuatnya merasa panas dan geli.
Entah sejak kapan tubuhnya sudah berada di atas ranjang dengan gaun tidur yang sudah setengah turun. Arunika mengerang dan mendesah saat Gasendra memanjakan tubuhnya dengan kecupan, ciuman, dan jilatan basah.
"Gasen... hhh... mmphh! Jangan...!" erang Arunika saat Gasendra hendak menurunkan kain di bagian bawahnya.
Gasendra menatap Arunika. Mengelus rambut dan dahinya yang basah karena kepanasan. Bibirnya turun mengecup bibir bengkak Arunika.
"Kau belum terlalu basah. Biarkan aku membuatmu lebih basah."
"Jangan takut. Aku tidak akan melakukan hal berbahaya padamu, aku janji."
Arunika mengangguk pelan dengan napas menderu. Sesungguhnya tangan Gasendra tak pernah berhenti memanjakan tubuhnya, walaupun mereka sedang berbicara.
Gasendra menyeringai kecil. Tubuhnya turun ke arah bawah, kepalanya menunduk, dan tangannya menarik kain yang menutupinya.
"Hngghh!" erang Arunika merasa malu. Gasendra menatap Arunika, mengambil tangannya yang mencengkram ranjang dan menggenggamnya.
Kepala Gasendra turun ke bagian bawah. Tangannya yang bebas membuka lipatannya dan lidahnya menyentuh bagian istimewa dengan perlahan.
"Hngghh, mmfhh! Ah...!"
"Gasendrahh...."
"Ah... ya... di sana...."
Tangannya memainkan bagian atas, memutar dan memilinnya. Membuat Arunika mendesah hebat dan bergetar.
Gasendra merasakan bagiannya berkedut. Dia mengisap kuat bagian istimewa Arunika dan sekejap kemudian Arunika menggelinjang hebat dengan erangan kenikmatan.
Arunika memejamkan mata dengan napas menderu. Menikmati aliran panas yang dihasilkan dari permainan lidah dan tangan Gasendra.
Gasendra membuka bajunya yang sudah berantakan sejak tadi.
"Aku akan masuk."
Tubuhnya menyesuaikan diri dengan Arunika.
"Katakan jika itu sakit. Katakan jika itu nikmat sampai membuatmu menginginkannya lagi. Katakan semuanya padaku... apa yang kau rasakan," bisik Gasendra seduktif. Dia menjilat telinga Arunika.
"Ahhh...!"
"Hng!"
Gasendra mencium mata, hidung, dan bibir Arunika.
"Sakit...." Air matanya keluar. Ini sungguh sakit. Dia merasakan sesuatu yang robek dan cairan yang keluar di bawah sana.
"Tidak apa-apa. Sebentar lagi tidak akan sakit," ucap Gasendra menenangkan.
Gasendra terus menciumi bagian wajah Arunika sampai wanitanya mulai tenang.
"Aku akan bergerak."
"Pe--pelan... pelan...."
"Ya, aku tidak akan kasar."
Gasendra mendorong pinggulnya perlahan dan membuatnya mengerang saat merasakan keketatan.
Dia terus melakukannya secara perlahan, membantu Arunika merasa nyaman dengan tubuhnya. Saat Arunika mulai mengerang lebih keras, Gasendra memompa tubuhnya agak lebih cepat.
Napas mereka menderu hebat dengan rasa panas yang diciptakan. Ranjang berdecit setiap Gasendra bergerak. Dan hawa dingin malam, tidak terasa sama sekali.
Arunika memeluk leher Gasendra, mendekatkan bibirnya pada Gasendra. Dia memulai ciuman terlebih dahulu. Ciuman yang panjang dan menggairahkan.
"Gasendra... aku akan... hngh!"
"Aku juga, Sayang."
Tubuh mereka bergetar hebat dan meneriakkan nama satu sama lain dengan cengkraman yang semakin kuat.
Gasendra mengubur wajahnya di pundak Arunika. Perlahan tubuhnya memanjat, mencium, dan menjilati perpotongan leher Arunika. Dia berbisik rendah di telinga wanitanya.
"Sekali lagi."
---