Chereads / Ada Cinta dalam Negeri di Timur Nusantara / Chapter 2 - BAB II Monika Pratiwi

Chapter 2 - BAB II Monika Pratiwi

Namaku Monika Pratiwi. Aku lahir di bumi belahan timur Indonesia. Orang mengenalnya dengan sebutan Negeri di Timur Nusantara. Karena Sumber Daya Alamnya yang sangat kaya dan masih sangat asli sehingga negeri ini pun disebut Surga Kecil Yang Jatuh ke Bumi. Meskipun berada di ujung timur Indonesia tetapi disinilah awal matahari terbit setiap harinya. Ketika masyarakat disini sudah memulai aktifitasnya, satu sampai dua jam kemudian dibelahan tengah dan barat Indonesia baru akan memulai aktifitasnya.

Kaya akan gunung dan lautnya, masyarakatnya pun terbagi atas masyarakat gunung dan pantai. Negeri ini begitu unik karena dalam satu provinsi terdapat banyak kabupaten, terdiri dari bermacam-macam suku dengan bahasa mereka, serta budaya yang berbeda pula.

Aku lahir di salah satu desa di kabupaten yang ada di daerah pegunungan yang merupakan daerah pedalaman. Kala itu orang tuaku baru beberapa bulan pindah ke tempat ini karena papaku masuk dalam salah satu daftar nama mutasi pegawai. Tempat ini merupakan daerah pegunungan tinggi sehingga tidak salah kita menyebutnya Negeri Di Atas Awan. Alat transportasi udara adalah satu-satunya yang bisa digunakan untuk menjangkau tempat ini. Helikopter dan pesawat kecil seperti MAF, Trigana dan Merpati yang biasa digunakan. Disini untuk kemana-mana hanya dijangkau dengan berjalan kaki. Tapi terdapat satu kendaraan beroda empat milik seorang misionaris dan dia dengan senang hati mengendarai mobilnya mengangkut warga ke rumah sakit bila ada yang membutuhkan pertolongan medis. Rumah sakitnya pun tergolong maju karena obat yang diresepkan dokter pasti manjur.

Awalnya mamaku terkejut dengan realita di tempat baru ini. Perbedaan yang begitu sangat kontras. Bahkan mama mengira ia telah kembali ke masa primitif. Bagaimana tidak, disini masyarakat asli belum berpakaian layaknya orang kota. Mereka masih menggunakan pakaian adatnya yaitu koteka untuk para pria dan rok rumbai untuk para wanita. Karakter mereka unik dengan kulit hitam dan rambut keriting yang berbeda dengan rambut keriting pada umumnya. Mereka juga belum pandai berbahasa Indonesia. Bahkan ada yang tidak mengerti artinya. Bahasa daerah mereka juga agak susah sehingga terkadang harus menggunakan bahasa isyarat seadanya.

Lama-kelamaan mama dan papa sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan disini. Toleransi yang tinggi serta sikap ramah masyarakatnya membuat mereka akhirnya betah tinggal disini. Karena hanya bisa dijangkau dengan pesawat ataupun helikopter, harga barang disini sangat mahal. Papaku yang berstatus PNS saja kadang mengeluh apalagi masyarakat yang hidupnya berkebun dan berburu. Mamaku juga memutuskan membuka kios sembako dan pakaian. Selain untuk membantu kebutuhan keluarga, juga membantu masyarakat yang ingin berbelanja dengan sistem barter. Mama geram karena para pengusaha kadang berbuat curang dan tidak adil pada proses barter tersebut. Seringkali mama melihat seorang ibu yang barter satu noken penuh sayur dengan satu bungkus kecil garam atau satu bungkus minyak goreng yang dikemas dalam plastik es lilin. Dan hal itu sangat tidak adil bagi si ibu itu.

Sebelum menikah, mama dulunya aktif di salah satu LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan sehingga hati nuraninya mudah tersentuh. Setelah menikah dan harus pindah ke tempat ini sehingga mama memutuskan berhenti bekerja. Berbekal pengalaman dan keterampilannya dulu, mama membuka kios sekaligus sebagai tempat pelatihan dan belajar masyarakat disini. Mama mengajarkan mereka mengenal huruf dan berhitung serta keterampilan lain yang bisa menopang para ibu di desa ini.

Sistem masyarakat patrilinear kadang membuat kaum perempuan terdiskriminasi dan tidak jarang muncul KDRT. Perang suku pun masih berlangsung. Hanya saja berlangsung damai. Hanya melibatkan dua suku yang bertikai dan tidak mengganggu ketertiban umum maupun mengancam nyawa selain kedua suku tersebut. Jadi pihak luar yang menonton pun tidak merasa khawatir. Tambah lagi ketika pihak yang menjadi pemenang telah diumumkan, hasil kebun dan berburu telah diserahkan kepada pihak pemenang, Barapen (bakar batu) segera dilaksanakan. Aroma masakan yang dihasilkan pun sangat menggoda bagi yang menciumnya.

Satu lagi yang paling unik. Ketika tahu ada pesawat yang akan landing, hampir semua masyarakat berkumpul di lapangan bandara menunggu menyaksikan proses landing sampai take off kembali pesawat tersebut. Kami yang sedang bersekolah pun kadang ketika mendengar suara pesawat, akan segera berlari menuju bandara dan meninggalkan proses belajar mengajar. Entahlah, ada rasa bangga tersendiri ketika melihat kendaraan itu. Kadang, bila ukuran pesawatnya lebih besar dari biasanya, setelah proses landing dan mesin pesawat mati total, kami akan segera maju memegang badan pesawat dan mengagumi pesawat tersebut. Jangan kira tidak ada petugas keamanan, mereka ada. Hanya saja mereka kewalahan menghadapi jumlah kami yang penasaran sehingga mereka hanya bisa memantau dari jauh karena tindakan kami tidak pernah merusak.

"Ah, aduh sakit!" jeritku saat seseorang menabrakku.

"Ko trapapa kah? maaf sa tra sengaja," ucap anak laki-laki itu sambil membantuku berdiri.

"Iya, sa trapapa. Hanya sa lutut yang berdarah," jawabku.

"Aduh, sa minta maaf sekali e, tadi sa juga dapat tabrak dari belakang jadi," ucapnya lagi.

Aku menganggukkan kepalaku dan berusaha membersihkan lututku. Saat kulihat wajah anak itu, aku terpesona dengan keindahan matanya. Kulitnya tidak sehitam anak-anak disini tapi lebih cerah. Senyumnya pun manis.

"Ko mo lihat pesawat? Ayo tong sama-sama sudah," ucapnya sambil berjalan menggandeng tanganku.

"Namamu siapa? Sa Monika," ucapku memperkenalkan diri.

"Sa Denias," diapun memperkenalkan dirinya.

Percakapan kami semakin akrab dan dari situ kami mulai dekat. Dia setingkat denganku tapi berbeda kelas. Aku senang mendengarnya bercerita, apalagi saat ia mengaji, suaranya begitu teduh. Aku penasaran karena dari sekian banyak masyarakat disini, hanya ada beberapa yang beragama Islam dan mau menyekolahkan anaknya. Tentu saja kebiasaan berpakaian mereka juga sudah mengalami perubahan, tidak lagi memakai koteka dan rok rumbai. Mereka lebih tertutup dengan pakaian seadanya.

Karena keakraban kami dan seringnya kami bercerita, akhirnya aku tahu bahwa Denias masuk ke sekolah ini karena keinginannya sendiri dan meminta ijin kepada kepala sekolah. Untuk membeli buku dan kebutuhan sekolah, sepulang sekolah dia akan ke pasar untuk bekerja. Baju seragamnya ditaruhnya dalam tas sehingga tidak kotor. Dia kadang tidur di bawah kolong meja panjang tempat para penjual menggelar dagangannya di pasar. Mendengar hal itu, aku tak bisa menahan diri untuk menceritakan ini ke papaku saat makan malam.

"Papa, Papa tau Denias to? De kasihan ale. De tuh masih kecil tapi su kerja berat untuk sekolah, baru de tidur di bawah kolong meja di pasar ...," ucapanku terhenti saat kudengar sendok papaku jatuh. Aku mengangkat wajahku dan melihatnya. Raut wajahnya terkejut dan ada rasa iba.

"Iya kah, nak?" tanyanya.

"Iya pa. Kalo Papa tak percaya, coba ke pasar sudah baru lihat dia. Pasti de ada tuh," jawabku.

"Kalo begitu kita makan cepat sudah baru pergi lihat dia," ucap Papaku sambil mempercepat suapannya.

Setelah selesai makan, aku, Mama dan Papa memakai jaket tebal bertopi dan sarung tangan. Daerah pegunungan disini sangatlah dingin sampai bisa membekukan minyak goreng. Aku dan Mama berjalan mengikuti Papa dari belakang. Bermodalkan penerang dari lampu senter, tidak berapa lama kami tiba di pasar. Suasananya begitu gelap dan sepi. Setelah mengamati beberapa saat, kulihat ada seberkas cahaya di bawah salah satu meja panjang.

"Pa, itu kayaknya Denias!" Tunjukku penuh antusias. Aku segera berlari ke arah cahaya itu dan meneriakinya, "Denias, itu ko kah?!"

Aku mendengar bunyi sesuatu yang bergesekan dengan cepat. Tak berapa lama muncul bayangan kecil, "Beh, kenapa ko ada disini?! Ini sudah malam. Nanti ko Mama deng Papa cari bagaimana? Sini sa antar ko pulang dulu!"

Tiba-tiba kurasakan tanganku sudah digenggam dan sedikit ditarik untuk melangkah maju. Belum sempat aku menjawab, suara Papaku pun terdengar.

"Denias, Monika kesini dengan kami. Monika sudah cerita semua. Makanya kami kesini untuk lihat kamu. Sekarang karena kami sudah disini, ayo ikut kami pulang e? Denias tinggal dengan kami, anggap kami ini juga orang tuamu," ucap Papa sambil berjongkok memegang kedua bahu Denias.

"Tapi Papa Monika, nanti sa hanya bikin susah saja," ucap Denias terharu menahan tangisnya.

"Tidak Denias. Masih ada satu kamar yang kosong, jadi itu kamarmu. Ayo cepat ambil barang-barangmu dari pada Papa marah," jawab Papa dengan wajah marah yang dibuat-buat. Kulihat Mama menyeka air matanya sambil tersenyum.

Sejak kedatangan Denias di rumah kami, suasana rumah kami begitu ramai. Ada saja tingkahnya yang buat kami tertawa. Papa juga sangat senang karena bisa pergi jum'atan sama-sama Denias.

"Papa, ini barang apa e? Kenapa de bisa bicara tapi tong tra bisa lihat orang yang bicara itu? Mungkin ini yang dong bilang suanggi kah?" tanya Denias saat Papa memutar radio untuk mendengar berita. Papa tertawa terbahak-bahak sampai matanya memerah dengan pertanyaan dan juga ekspresi bingung serta takutnya Denias.

"Ish, ko nih bikin malu saja. Ini tuh namanya radio jadi hanya ada suaranya saja. Ko belum lihat televisi to? Itu lebih canggih lagi. Tong bisa lihat mukanya orang yang bicara itu di layar televisi dan bisa dengar suaranya jelas tanpa harus pukul-pukul televisinya kayak radio ini," ucapku menjelaskan. Ekspresi muka Denias makin terkejut.

"Mamayo, sa takut ah. Kalo de orang keluar dari televisi bagaimana? Kalo orang baik, trapapa. Tapi kalo orang jahat, ado jangan kah," ucap Denias dengan wajah takut.

Aku, Mama dan Papa hanya tertawa lihat tingkahnya.