Waktu berjalan dengan cepat, gips yang menempel di kaki Alekta pun sudah dilepas. Sekarang dia bisa berjalan dengan santainya dan tidak merasakan kesakitan lagi.
Ayah dan ibu pun sudah kembali ke rumah, mereka mulai merencanakan apa yang sudah direncanakan sejak beberapa minggu yang lalu. Yaitu rencana pernikahan Alekta.
Sedangkan Alekta belum mengetahui siapa calon yang akan dinikahinya. Semuanya masih menjadi misteri baginya. Ayah dan ibunya pun tidak mengatakan siapa pria itu. Namun, yang pasti pria itu adalah yang terbaik baginya.
"Sayang, boleh Ibu masuk?" tanya sang ibu sembari mengetuk pintu kamar.
Alekta berjalan mendekati pintu lalu membukanya dan menyuruh sang ibu untuk masuk. Sang ibu pun masuk kedalam, dia pun berjalan di belakang ibu.
"Duduklah," perintah ibu sembari menepuk tempat tidur tepat di sisinya.
Alekta pun duduk di samping ibu, dia menunggu dalam diam. Menunggu apa yang akan dikatakan oleh sang ibu terhadapnya.
Pikirnya melayang, dia berpikir apakah sang ibu akan membicarakan tentang pernikahannya. Apakah sang ibu akan mengatakan siapa nama dari pria yang akan menikah dengannya. Apakah sang ibu ....
"Sayang, Ibu harap malam ini kamu tidak membuat masalah. Terima semua keputusan ayahmu," Ibu berkata untuk memulai pembicaraan.
"Ada apa dengan malam ini?" selidik Alekta.
"Malam ini akan ada makan malam dan pria yang akan menjadi suamimu itu pun akan hadir," jawab sang ibu.
"Bu ... apakah se—,"
"Jangan membuat ayahmu malu," sela ibu sebelum Alekta melanjutkan kata semua.
Alekta menghela napasnya, dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sekarang dia pasrah dengan apa yang sudah diputuskan oleh ayah dan ibunya.
"Bersiaplah, malam ini adalah malam penentuan bagimu." Ibu berkata sembari beranjak dan berjalan menuju almari.
Ibu mengambil sebuah gaun yang baru saja dibelinya dan sudah disimpan di almari Alekta. Dikeluarkannya gaun itu lalu memberikannya pada putrinya yang masih duduk dibatas tempat tidur.
"Pakai ini untuk acara makan malam," Ibu berkata seraya memerintah.
Alekta menerima gaun yang ibunya berikan lalu mengangguk. Sang ibu pun pergi meninggalkan kamar, memberikan waktu bagi putrinya untuk bersiap karena dia pun akan bersiap juga.
Setelah kepergian sang ibu, Alekta menghempas tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya, berpikir pria macam apa yang menjadi pilihan kedua orang tuanya.
"Apa semua ini sudah menjadi takdirku? Menikah dengan orang yang tidak kucintai?" gumamnya sembari memejamkan kedua matanya.
Per sekian detik dia membuka kedua matanya lalu beranjak dan mulai bersiap untuk acara makan malam. Alekta meneguhkan hatinya akan menerima semua keputusan yang sudah dibuat oleh ayah serta ibunya.
Alekta sudah bersiap, makan malam pun sebentar lagi akan dimulai. Dia berdiri di balkon, memandangi taman yang terlihat sangat indah. Namun, dia kembali teringat akan Caesar.
Terdengar suara ketukan pintu, seorang pelayan sedang berdiri tepat di depan pintu kamar Alekta. Dia berniat memberitahukan bahwa lama malamnya akan segera di mulai.
Mendengar suara ketukan pintu, Alekta berjalan mendekat lalu membukanya. Dia melihat seorang pelayan yang sudah berdiri tegap di depannya.
"Nona, semuanya sudah menunggu Anda di ruang tamu," ucap pelayan itu.
"Baik. Kau pergilah aku akan turun ke bawah," jawab Alekta.
Pelayan itu pun pergi, Alekta kembali masuk untuk melihat apakah semuanya masih rapi. Dia pun berjalan keluar lalu menutup pintu kamar.
Pikirannya melayang, dia berasumsi tentang pria yang menjadi pilihan kedua orang tuanya itu seperti apa. Apakah umurnya lebih tua darinya? Apakah pria itu terlihat sangat gila kerja? Atau pria itu seperti anak yang selalu berdiri di bawah ketiak ibunya.
Dia menuruni anak tangga menuju ruang tamu, terdengar suara orang yang sedang berbincang-bincang. Suara yang dia kenal tetapi apakah itu mungkin, Alekta berpikir apakah pria itu adalah dia.
Langkah kakinya diperlambat sembari mendengarkan dengan saksama suara yang sedang berbicara dengan sang ayah dan ibunya. Semakin dekat suara itu semakin jelas, dia pun melihat siapa pria itu.
"Sayang, sini ...," ucap ibu yang melihat Alekta.
Alekta mendekat lalu duduk tepat di samping sang ibu. Dia pun menatap Casandra yang sedang duduk di samping Elvano dengan senyum khasnya yang nakal itu.
Dia berpikir apakah ini sebabnya Casandra sangat sulit untuk dihubungi. Rupanya sahabatnya itu tahu siapa yang akan menikah dengan dirinya.
"Baiklah. Lebih baik kita makan malam dulu sebelum menentukan semuanya," usul sang ayah pada semuanya.
Semuanya pun setuju lalu berjalan menuju ruang makan. Makanan sudah tersedia dan tertata rapi di meja makan, mereka pun mulai menyantapnya.
Alekta hanya diam, dia tidak mau banyak bicara hanya jika ditanya oleh salah satu orang tua Elvano barulah menjawab.
Makan malam sudah selesai, mereka kembali duduk di ruang tamu, membicarakan tentang tanggal yang pasti pernikahan antara Alekta dan Elvano. Kedua orang tua terlihat begitu bahagia dengan rencana pernikahan ini.
Ayah menetapkan pernikahan ini akan berlangsung satu Minggu dari malam ini. Semuanya pun sudah mulai dikerjakan, baik Alekta atau Elvano tidak perlu repot-repot untuk mengurus semuanya. Kecuali sesuatu hal yang menyangkut kepentingan mereka berdua.
"Alekta, kita ke taman." Ajak Casandra pada sahabatnya itu.
"Iya. Pergilah kalian dan kau Elvano, ikutlah bersama mereka!" perintah sang ibu padanya.
"Tidak, Bu. Aku di sini saja," jawab Elvano yang tidak ingin terus duduk dan tidak mau mendengarkan kedua wanita yang nantinya membosankan.
"Iya. Kau duduk saja dengan Ayah dan Ibu, aku akan pergi berdua dengan Alekta, saja." Timpal Casandra.
Alekta pun berjalan terlebih dahulu, Casandra langsung berjalan mengejarnya. Mereka berdua pun duduk di sebuah gazebo, meski sudah malam tidak kekurangan penerangan karena cahaya lampu yang di pasang di sana begitu indah.
"Kau sudah tahu ini sejak awal? Mengapa tidak mengatakannya padaku?" Alekta langsung bertanya pada Casandra.
"Kejutan ... karena aku ingin memberikanmu kejutan. Namun, aku sebenarnya sudah memberikan beberapa tanda untukmu tetapi kau tidak menyadarinya." Ungkap Casandra.
"Kejutanmu tidak mengenakkan," timpal Alekta sembari memandang taman yang diterangi oleh cahaya lampu.
Casandra terkekeh-kekeh lalu duduk tepat di samping Alekta lalu dia mulai bicara jika semua ini adalah hal yang baik. Dia mengatakan jika Elvano adalah pria yang baik sehingga bisa melindungi Alekta.
Alekta hanya diam mendengarkan semua apa yang disiagakan oleh sahabatnya itu. Dia masih belum percaya jika Elvano yang akan menjadi suaminya. Padahal dia selalu berdoa untuk selalu ter jauhkan dari pria itu. Apakah ini adalah hukuman untuknya karena sudah pernah mengecewakan sang ayah dan ibunya.
"Kamu tahu? Mengapa aku lebih setuju kamu menikah dengan kakakku itu?" Casandra bertanya pada Alekta.