Merasa Adrian tidak merespon ucapannya, Alisha kembali berucap–dengan nada gusar, "Kau dengar ucapanku, tidak?"
Mata Adrian tampak fokus pada kaca spion di atas mobil. Ada yang mengikuti mereka. Sejak mereka keluar dari perumahan, Adrian sudah mencurigai mobil sedan biru di belakangnya.
Begitu menjaga jarak dan konstan mengikuti ke mana arah mobil city car merah itu mengambil jalur. Bahkan saat Adrian mengambil jalur tol di jalur kanan jalan, mobil itu lantas mengikuti dengan menyalakan sein kanan.
Adrian menambah kecepatan pun, mobil itu mengikuti dengan menambah kecepatan. Benar-benar agar tidak kehilangan jejak.
Alisha yang merasa diabaikan, membuang muka menatap keluar jendelanya. Saat itulah ia menyadari sesuatu. Alisha memfokuskan penglihatannya keluar jendela. Memperhatikan melalui kaca spion di pintu mobil.
Alisha membalikkan badan, memastikan apakah mobil biru itu benar mengikuti mereka atau tidak.
"Aku harap, mobilmu diasuransikan full." Ucapan Adrian yang tiba-tiba dan tanpa peringatan langsung menambah kecepatan begitu telah menjauh dari pintu tol pertama.
"A–apaaaa ...." Suara Alisha nyaris tidak terdengar. Yang tersisa hanya suara teriakan.
"Apa yang kau lakukan, Adrian?! Ya Tuhan ...." Alisha seketika menegang. Berpegangan pada apa saja yang ada di mobilnya. Jantungnya serasa akan copot. Lagi-lagi seperti menaiki jet roller coaster.
City car merah tampak saling mendahului dengan sedan biru, di jalanan tol yang cukup lengang. Sesekali mobil biru itu mendekat dan mencoba membenturkan mobilnya dengan mobil yang dikendarai Adrian dan Alisha. Yang berhasil dihindari oleh Adrian.
Jika saja Adrian tidak lihai mengendarai mobil Alisha, sudah bisa dipastikan, mereka berdua akan mengalami kecelakaan di jalan tol.
"Siapa mereka, Ian?" Alisha bertanya dengan nada melengking, jantungnya masih berdetak tidak normal. Dengan segera, Alisha menyalakan alat komunikasi di antingnya.
Adrian mengabaikan pertanyaan Alisha. Fokus dengan kendaraannya. Kecepatan mobil yang dikendarai Adrian masih berpacu di kecepatan maksimum. Pengejarnya sepertinya tidak ingin melepaskan mereka.
Hingga pada kilometer ke sekian, Adrian memutuskan untuk keluar jalur tol secara mendadak dan cepat. Berharap mobil sedan biru itu kehilangan jejak mereka.
Dan, berhasil!
Adrian memarkirkan mobilnya di depan sebuah mini market di tempat peristirahatan. Memicingkan mata. Memeriksa sekelilingnya dari balik kemudi. Waspada.
["Alisha, ke mana saja kamu?!"] Hilman berbicara dari alat komunikasi rahasia di telinga Alisha.
Alisha menelan ludah, melirik ke arah Adrian. Ia tidak mungkin menjawab pertanyaan Hilman begitu saja, sementara ia tidak memegang alat komunikasi yang bisa terlihat layaknya ponsel.
"Ian, apakah kita harus beristirahat di jalan tol? Perjalanan kita, kan, gak jauh. Siapa orang tadi yang mengejar kita?" Alisha menjawab pertanyaan Hilman dengan melontarkan pertanyaan pada Adrian. Berharap Hilman menangkap maksud pertanyaannya itu.
"Yeah, kita di sini dulu. Aku juga mau bertanya hal yang sama padamu, Al. Siapa mereka?" Adrian menjawab dengan santai, membenarkan letak kacamatanya.
["Kau sudah bisa jalan, Al. Sudah aman."] terdengar suara Mia memberi petunjuk.
["Lain kali, jangan lupa nyalakan alat komunikasi saat di luar kamarmu."] Hilman menambahkan dengan nada gusar. Membuat Mia menoleh dan mengerutkan dahi.
Tidak hanya Mia, Alisha pun dibuat bingung. Apa maksud 'menyalakan alat komunikasi saat di luar kamar'?
"Ian, kalau kamu ingin membeli sesuatu, lakukan sekarang. Jika tidak, kita harus segera jalan. Aku punya janji dengan editorku. Kita hampir terlambat."
"Yes, Mam. Dan ini tidak gratis." Seketika Alisha menatap tajam lelaki di sebelahnya.
"Hei! Kamu yang menawarkan diri mengantarku. Itu artinya, kamu dengan sukarela ingin mengantarku."
"Kenapa sekarang jadi minta imbalan?" Alisha menuding Adrian. Yang dibalas dengan tawa renyahnya.
Alisha mendelik tidak suka.
Adrian makin menjadi. Menertawakan Alisha. Kemudian melajukan mobilnya keluar dari rest area dengan kecepatan sedang.
Untuk sementara mereka aman.
"Kau ini, sangat menyebalkan, tahu?" Alisha melanjutkan menumpahkan kekesalannya. Belum puas.
"Pria menyebalkan ini, suamimu sekarang. Suka atau pun tidak suka." Adrian menekankan kata 'suka atau pun tidak suka'.
["Apakah pengantin baru kita, bertengkar?"] Mia menginterupsi, bermaksud menggoda Alisha.
Sial! Alisha lupa, Mia atau siapa pun yang sekarang ada di ruang kendali, pasti bisa mendengar pertengkaran mereka. Sedetik kemudian Alisha memilih untuk diam.
Selama sisa perjalanan menuju tempat Alisha 'bekerja'–sebagai penulis novel–, mereka berdua sama-sama terdiam.
Satu tangan Adrian memegang kemudi, satu tangannya yang lain, berada di atas pahanya. City car ini didesign khusus untuk wanita lajang, bagian dalamnya tidak terlalu besar. Sedikit saja goncangan, tangan Adrian bisa bersentuhan dengan tangan Alisha yang berada tidak jauh dari jangkauan tangannya yang bebas. Bahkan saat Adrian mengoper tuas persneling, tangannya itu bisa saja menyentuh paha Alisha.
Adrian mati-matian menahan godaan untuk sengaja menyentuh tangan dan paha Alisha. Diam seperti ini, semakin membuat canggung suasana.
"Jadi, kita akan menemui siapa?" Adrian mencoba memancing percakapan.
"Bukan 'kita', tapi aku saja yang bertemu. Kamu tunggu di luar," Alisha menjawab dengan nada ketus.
"Oh, oke," tanggap Adrian santai.
Tak lama, mobil mereka tiba di gedung tempat kantor percetakan dan penerbitan berada. Gedung yang memiliki empat puluh lantai ke atas, dan ruang bawah tanah rahasia. Adrian memarkirkan kendaraannya di basemant.
Alisha tidak menunggu Adrian membukakan pintu untuknya, langsung turun begitu saja. Meninggalkan Adrian.
Bukan masalah bagi Adrian yang memiliki kaki jenjang, dengan mudah ia bisa menyusul Alisha, menarik lengannya.
"Kau masih marah?" Adrian terdengar menuntut jawaban.
Alisha menarik napas dan membuangnya perlahan.
"Tidak," jawabnya singkat dan berlalu.
Adrian mendahului Alisha, memblokir jalannya. Kemudian berkata, "Jika tidak, seharusnya kita berjalan bersama. Bukan seperti ini."
Alisha memejamkan matanya seraya menarik napas.
Huh, sesulit inikah berpura-pura.
"Baiklah." Alisha menggamit lengan Adrian, dan mereka melangkah memasuki lift.
Tempat Alisha akan menemui Mia berada di lantai sepuluh. Lantai demi lantai mereka lalui. Beberapa kali berhenti di lantai tertentu, hingga tidak hanya mereka berdua di dalam lift.
Alisha menghela napas lega. Adrian yang memperhatikan tingkah Alisha, tersenyum.
Lift tiba di lantai sepuluh. Mereka berdua keluar lift dengan tangan Alisha masih melingkar di lengan Adrian. Merasa canggung. Beberapa pasang mata menatap ke arah mereka.
Alisha mendekati meja resepsionis, dan memberitahukan tujuannya di lantai sepuluh. Menemui Mia.
Semua dilakukan hanya untuk formalitas, tentu saja. Alisha datang hari ini bersama Adrian. Maka, mereka semua harus bertindak seolah-olah berada di kantor percetakan dan penerbitan. Meski tidak semua karyawan adalah anggota BIN yang menyamar.
Resepsionis mengabari Mia melalui pesawat telepon. Dan Alisha diminta menunggu sejenak.
Selama menanti, Alisha memilih untuk berdiri bersandar pada meja resepsionis, sembari netranya menatap Adrian–duduk di sofa merah yang jaraknya lima ratus meter dari meja resepsionis–, yang kini tengah sibuk dengan ponselnya.
Raut wajahnya terlihat sangat serius. Berbeda dengan Adrian yang selalu memberinya tatapan yang hangat.
Sesekali dahinya terlihat mengerut. Memperlihatkan usia yang sebenarnya, sudah berkepala tiga.
Sesekali mengurut pelipisnya. Menghela napas gusar. Membuat Alisha penasaran, apa yang sedang Adrian bahas dengan lawan bicaranya.
Sedetik kemudian, pandangan mereka bersirobok. Adrian tersenyum padanya.
Membuat Alisha ....
****
Follow IG @sere_nity_lee ada ilustrasi bab ini lho ... hehe.