Chereads / ALISHA (PRETENDING) / Chapter 21 - 0021 Membunuhnya Itu Artinya Membuatnya Menjadi Janda

Chapter 21 - 0021 Membunuhnya Itu Artinya Membuatnya Menjadi Janda

Adrian duduk di sofa merah yang jaraknya seratus meter dari meja resepsionis. Terlihat begitu serius. Hingga melepas kacamata yang bertengger di hidungnya. Mengurut di antara dua alisnya yang lebat. Kemudian mengenakannya kembali.

Alisha memperhatikan gerakan bibirnya. Bukan hal yang sulit ia lakukan. Selama pelatihan menjadi anggota BIN, Alisha telah lulus ujian membaca gerakan bibir.

Salah satu dari bahasa dan kemampuan yang penting untuk seorang agen rahasia adalah belajar memahami bahasa tubuh dan gerakan bibir. Belajar untuk mengidentifikasi informasi yang disampaikan seseorang bahkan ketika orang tersebut tidak menyadari.

Kedua alis Alisha yang terbentuk sempurna terlihat menyatu, seiring gerakan menggigit bibirnya. Alisha tengah berpikir, bahasa yang digunakan Adrian.

Mashina? (mobil)

Gnat'sya? (mengejar)

Poisk? (cari)

Nayti? (temukan)

Rusia?

Sedetik kemudian, pandangan mereka bersirobok. Adrian tersenyum padanya. Mematikan sambungan teleponnya. Kemudian beranjak dari sofa merah.

Membuat Alisha salah tingkah. Apakah Adrian menyadari, dirinya sedari tadi mengamatinya? Batinnya.

Adrian berjalan menghampiri Alisha. Langkahnya begitu tenang. Senyum di wajahnya tidak juga hilang. Makin membuat Alisha salah tingkah.

Dasar agen pemula! Rutuknya dalam hati.

"Sudah selesai?" Alisha menggeleng.

"Al?" Suara wanita yang dikenalnya, menyelamatkannya. Alisha serta merta memutar badannya.

Mia memberi isyarat tangan, memintanya masuk ke ruangannya. Tanpa pikir panjang, Alisha berjalan dengan cepat. Menghindari tatapan mata Adrian. Memutus kontak.

Adrian mengangguk dan tersenyum ramah pada Mia, sebelum wanita hamil tersebut menyusul Alisha ke dalam ruangannya.

Mia menutup rapat pintu ruangannya. Alisha terlihat sedang menetralkan detak jantungnya. Mengurut dada, menghirup dan membuang napas berulang kali.

"Ada masalah, Al?" Mia duduk di kursinya dan mempersilakan Alisha untuk duduk di hadapannya.

"Di mana Hilman?" Alih-alih menjawab pertanyaan Mia, Alisha lebih tertarik mencari atasannya.

"Lo kenapa, sih, Al?" Mia terdengar khawatir.

"Ya, Tuhan. Hilman di mana?" Alisha terdengar panik. Badannya condong ke depan. Dan kedua tangannya mengepal di atas meja.

"Al, tenang. Jawab pertanyaan gue dulu." Mia menjulurkan tangannya, mengusap punggung tangan Alisha. Agar ia tenang.

"Uh ..., Adrian bisa bahasa Rusia ...." Mia mendengarkan. Wajahnya terlihat tenang.

"Ada apa?" tanya Mia kemudian.

"Dia bicara soal mobil yang tadi mengejar kami. Meminta informasi. Menemukan entah apa. Dan dia mengatakannya dengan gusar." Alisha terlihat kusut.

"Pria yang membuat rusuh di pernikahanku ... bukankah berbicara dalam bahasa Rusia?" Alisha mengalihkan pembicaraan, mencoba menarik benang merah.

"Tunggu sebentar." Mia memberi isyarat, dan mengangkat telepon yang berdering. Hilman menghubunginya.

Alisha mendengarkan Mia, yang menjawab beberapa pertanyaan Hilman. Kemudian menutup teleponnya.

"Hilman minta lo, nemuin dia di ruang rapat." Mia segera mengambil beberapa berkas.

"Adrian bagaimana?" Alisha tiba-tiba teringat suaminya itu.

"Biarkan dia menunggu. Tidak akan lama." Mia memimpin keluar dari ruangannya, menuju lift.

Demi kesopanan, Alisha meminta Adrian untuk menunggunya di kafetaria. Mereka pun berjalan bersama menuju lift.

Di dalam lift, suasana canggung tiba-tiba terasa sangat kental. Mia memperhatikan dari sudut matanya, tersenyum kecil.

Dasar pengantin baru!

Pintu lift terbuka, tiba di lantai dua belas, tempat kafetaria berada. Adrian spontan menarik tubuh Alisha dan mendaratkan kecupan ringan di keningnya, sebelum melangkah meninggalkannya.

Alisha, tentu saja dibuat terkejut. Hingga pintu lift perlahan menutup, memperlihatkan senyum puas di wajah Adrian.

Alisha berteriak sekencang ia bisa. Memekakan telinga yang mendengarnya. Seraya menghentakan kakinya.

"Tenang, Al. Tidak perlu bereaksi seperti ini!" Mia mengingatkan, gendang telinganya terasa menjadi tuli sesaat tadi.

"Dia mencuri ciumanku, lagi! Tanpa ijin!" Mata Mia mengikuti Alisha yang mondar-mandir di dalam lift.

"Dia suami lo, Al. Wajar, dong, cium lo." Alisha berhenti mondar-mandir.

"Hei! Lo bela dia?" Tuding Alisha.

"Lo teman gue atau temannya, sih?!" Mia hanya mengangkat kedua bahunya. Melakukan gerakan mengusap perutnya yang mulai terlihat membesar.

"Oh, maaf. Maafkan aku, baby," ucap Alisha lirih, ikut mengusap perut Mia yang kini telah memasuki usia kandungan tiga bulan.

"Kurasa, karena PMS, gue jadi emosional seperti ini." Alisha menundukkan wajahnya.

"Jadi ... kalian ... belum ...." Alisha menggeleng cepat.

Mia terkekeh. Alisha mengerutkan keningnya.

"Apanya yang lucu?" Mia menggeleng seraya menutup mulutnya.

"Mia! Lo ... nyebelin, tau gak?" Spontan Mia tertawa lepas sambil mengusap perutnya, lagi.

Tak lama, pintu lift terbuka di lantai dua puluh. Tempat Hilman menanti mereka berdua.

Mia mengetuk pintu ruangan tertutup, menunggu jawaban dari dalam. Dan baru membukanya.

Alisha terpaku di tempatnya. Menatap pemandangan yang tersaji di hadapannya.

Hilman, dengan stelan jas hitamnya terlihat begitu menawan. Hatinya berdesir, tidak bisa dicegah. Rasa itu masih ada.

"Jaga matamu!" Bisik Mia di telinga Alisha, sebelum ia melangkah memasuki ruang rapat terlebih dahulu.

Alisha memutar bola matanya. Dan berjalan mengikuti Mia.

Di dalam, sudah menanti beberapa orang, termasuk Arya, suami Mia. Mereka sama-sama operator di lapangan. Dan dua orang lain, yang tidak Alisha ketahui identitasnya.

Satu pria paruh baya, Alisha menebak, seusia ayahnya. Dan satu lagi, pria yang mungkin seumuran dengannya. Mereka mengenakan stelan jas formal.

Mereka duduk berhadapan dengan Hilman dan Arya. Serempak, saat Mia dan Alisha memasuki ruang rapat, mereka berdiri, demi menghormati wanita.

Dua pria yang baru dilihat Alisha menjulurkan tangannya dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.

Ternyata, pria paruh baya itu adalah salah satu petinggi BIN.

Mendatangi Alisha secara khusus seperti ini, tentunya suatu hal di luar kebiasaan. Membuat Alisha berpikir, pastilah misi yang diembannya sangat besar. Hingga mereka harus ikut turun tangan.

"Informasi yang kami dapat, terjadi kekacauan di pernikahanmu kemarin?" tanya lelaki paruh baya, Samuel, setelah Alisha dan Mia duduk.

"Ya. Seseorang berusaha membunuhku dengan belati. Kemudian ada pria Rusia yang memaksa ingin masuk ke dalam." Alisha menjawab dengan tenang.

"Kamu harus segera mendapatkan file itu. Bujuk suamimu untuk menyerahkannya secara sukarela. Jika tidak ...."

"Jika tidak?" Alisha mengulang ucapan Samuel yang menggantung.

"Gunakan segala cara. Meski harus membunuhnya."

"APA?!" Alisha berdiri sambil menggebrak meja. Tidak salah dengar? Membunuh katanya? Meski Alisha tidak cinta Adrian, tapi dia adalah suaminya. Membunuhnya, itu artinya membuatnya menjadi janda.

Ya Tuhan. Kekonyolan apa ini? Mereka baru saja menikah kemarin. Orang ini begitu mudah mengucapkan perkataan mengambil nyawa orang lain.

Lagi pula, jika Adrian mati, apakah filenya bisa didapatkan? Konyol! Benar-benar konyol. Alisha membatin.

Mia mencoba menenangkan. Mengusap punggung tangan Alisha.

"Lakukan tugas pertamamu dengan baik. Jika tidak ingin menjadi janda dalam waktu singkat." Samuel beranjak, diikuti ajudannya.

"Bapak mengancam saya?" Nada bicara Alisha terdengar ketus.

"Alisha!" Hilman mengingatkan.

"Orang yang mereka inginkan nyawanya itu kakakmu!" Alisha menjawab dengan nyalang.

"Tidak akan ada yang mati, jika kau menjalankan tugas ini dengan baik." Selesai mengucapkan perkataan ini, ajudan Samuel membukakan pintu untuknya, dan mereka berdua meninggalkan ruang rapat.