Chereads / A Love That Branches Out. / Chapter 8 - Chapters Eight: Hospital.

Chapter 8 - Chapters Eight: Hospital.

Aku menutup mataku, lalu ku raba ranjangku. Berhasil, aku sudah mengangkat buku ini dari atas ranjang. Aku hanya perlu membalikkan halaman dari buku ini, lalu aku bisa membuka mata ku.

________________________

_____________________

___________________

_________________

______________


Secara perlahan aku mulai membalik sampulnya. Ku buka sedikit demi sedikit kelopak mata ku. Tiba-tiba aku melempar buku ini ke bawah lantai. Jantungku berdetak tak beraturan. Itu di sebabkan karena aku terkejut mendengar suara dering dari ponsel ku yang berbunyi. Aku mencari darimana asal suaranya. Rupanya aku meninggalkan ponsel ku di kamar ini. Ponsel itu terletak di bawah bingkisan yang aku terima siang tadi.


📞" Hallo." Jawabku setelah ponsel ini ku tempelkan pada pipi ku.


📞 "Zee, kau ke mana saja? Cepat ke rumah sakit sekarang juga." Suara Ree terdengar panik.


📞"Ada apa, Ree? Siapa yang kecelakaan?" Tanya ku dengan bibir bergetar.


📞"Sudah tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Cepat kemari sebelum terlambat." Ree segera mematikan sambungan telepon selulernya.


Segera aku berlari tanpa memikirkan apa pun menuju rumah sakit. Di dalam taxi aku mengotak-atik ponsel ku. Ternyata banyak panggilan dan notifikasi chatting yang terlewatkan oleh ku. Panggilan dari Daniel yang tidak terjawab oleh ku ada sebanyak dua puluh satu panggilan. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian ku sekarang. Notifikasi dari group chatting teman-teman ku yang mencuri perhatian ku.



📲 Vee: Ree, lagi di mana?


Tidak ada balasan dari Ree. Lalu setelah lima belas menit kemudian Vee mengirimkan text lagi.

📲 Vee: Mungkin Ree lagi sibuk yah.
Guys, kira-kira ada yang tidak sibuk ?
Vee mau minta tolong nih.



📲 Ree: Sorry, Vee.
Tadi aku lagi ada pemotretan.
Ada apa Vee?



Kesibukan Ree selain menjadi mahasiswa, dia juga adalah seorang model. Ree termasuk model yang sukses di usianya yang masih muda. Dengan paras cantik dan bodynya yang ramping, membuat Ree mendapatkan banyak tawaran iklan yang berdatangan ke padanya dari berbagai macam perusahaan. Dan dari hasil pemotretannya, dia sudah bisa membeli sebuah apartemen di kawasan elit.


📲 Dee: Ada apa, Vee?
Aku sekarang sedang ada di
bandara.


📲 Vee: Dee sama Ree lagi sibuk ya?
Kalau begitu, Vee minta bantuan
sama Zee saja.

📲 Vee: Zee?

📲 Ree: Zee, lagi di mana?
Kenapa gak muncul-muncul?
Zee?


📲 Dee: Mungkin Zee lagi sibuk juga.


📲 Ree: Iya mungkin Zee lagi sibuk sama
pacarnya.
Kan Zee bilang dia ada
kencan ada hari.


📲 Dee: Biar aku saja yang bantu Vee.


📲 Ree: Ini aku juga baru selesai
pemotretannya.


📲 Dee: Vee, mau minta tolong apa?



Setelah dua puluh menit berlalu, Vee belum mengetikan balasan apapun.

📲 Dee: Vee?

📲 Ree: Vee?

📲 Ree: Dee aku telepon Vee berulang kali,
tapi tidak ada jawaban.
Sekarang juga aku ke rumah Vee.

📲 Dee: Aku juga segera kesana Ree.



Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri kalau sampai terjadi sesuatu pada Vee. Pasti kecelakaan yang dialami Vee tidak akan terjadi kalau aku bisa membantunya. Paling tidak kan aku bisa membalas text darinya. Setelah taxi berhenti, aku baru sadar kalau lupa membawa uang. Dengan hanya menggunakan piyama, aku tadi langsung berlari keluar dari kamar kost ku. Sekarang aku bingung bagaimana caranya membayar ongkos taxi ini.

"Sebentar yah pak, saya lagi menunggu teman saya." Kata ku saat supir sudah mulai menoleh ke arah belakang.


📲 Zee: Ree, pinjam duit dong. Aku sudah di
parkiran rumah sakit. Aku lupa bawa
duit.


Baru sekitar lima menit, kaca jendela taksi ini sudah di ketuk oleh seseorang dari luar. Seketika supir taksi ini langsung membuka jendela kacanya.


"Pak ini ongkos teman saya." Dee memberikan dua lembar uang kepada supir ini.


Setelah supir mengambil uang dari Dee aku segera keluar dari taksi. Setelah taksi sudah pergi, Dee berjalan menghampiri ku.


"Bagaimana keadaan Vee?" Tanyaku langsung pada Dee.


"Aku belum tahu, karena aku baru saja sampai." Dee dan aku berjalan memasuki rumah sakit ini.



Dee dan aku berjalan beriringan di lorong rumah sakit. Pikiran ku mulai kacau. Aku mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Tanpa sadar Dee menarik tangan ku untuk menghentikan langkah kaki ku. Aku dapat melihat Ree sedang duduk menunggu sambil menangis di ruang tunggu pasien. Ada beberapa perawat yang lalu lalang melewati kursi Ree. Beberapa keluarga pasien juga sedang duduk di dekat kursi Ree.

"Zee." Ree berdiri lalu memelukku dengan erat saat aku sudah berada di hadapannya.


"Vee baik-baik saja kan, Ree?" Tanyaku mulai terisak.


Kurasakan Dee menepuk pundak ku. Dan saat aku masih memeluk Ree, aku melihat orang yang mirip dengan Daniel berjalan keluar dari rumah sakit ini. Kenapa aku bilang kalau orang itu mirip dengan Daniel? Itu karena pakaian yang dikenakannya berbeda dengan pakaian yang dikenakan oleh Daniel sebelumnya. Tapi mungkin saja itu Daniel, bisa saja kan, setelah menyuruhku untuk pulang dia mengganti pakaiannya. Apalagi tadi sebelum menghabiskan waktu bersama ku, Daniel baru selesai bertemu dengan rekan bisnisnya. Aku saja sekarang sudah selesai mandi. Tapi untuk apa Daniel ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Aku lebih baik bertanya padanya. Tapi, sebelum sempat aku mengejar Daniel, suara Dokter yang menyebut nama Vee terdengar oleh kami bertiga.


"Bagaimana keadaan teman kami, dok? Apakah Vee sudah sadar, dok? Apakah Vee harus menjalankan operasi? Berapa persen kemungkinan keberhasilan operasinya kalau teman kami memang harus di operasi, dok?" Ree bertanya sambil terisak-isak.

Sampai separah itu kah kecelakaan yang dialami oleh Vee? Kalau tidak, mana mungkin Ree sampai bertanya mengenai soal operasi. Ya Tuhan semoga Vee bisa terselamatkan.



"Tenang Ree, biarkan Dokter yang menjelaskan terlebih dahulu." Dee mencoba untuk menenangkan Ree.


Tidak lama ranjang yang di tempati oleh Vee keluar dari ruangan tempat Vee di rawat tadi. Vee sedang menutup matanya di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Wajah Vee terlihat sedikit pucat. Seketika air mataku menetes.


"Vee, secepat ini kah kau meninggalkan kami?" Ree menangis di atas tubuh Vee yang terbalut oleh selimut tipis.


Suster-suster yang mendorong ranjang Vee langsung berhenti karena Ree. Aku hanya berdiri di sisi Vee sambil memegang kakinya yang terhalang oleh selimut ini.


"Semoga Vee dapat beristirahat dengan tenang." Dee mulai menarik selimut Vee untuk menutupi wajahnya.


Seketika suster yang mendorong ranjang Vee tadi memukul tangan Dee.


"Hush, jangan sembarangan kalau bicara." Salah satu dari suster ini menatap Dee dengan tajam.


"Baiklah kalau begitu saya permisi dulu. Biar kedua suster ini yang akan menjelaskan kondisi pasien." Dokter ini akhirnya berbicara dan pergi meninggalkan kami.


"Ayo, ikuti kami. Pasien akan di pindahkan di ruang inap." Kata suster yang tadi memukul tangan Dee.

Kami bertiga lalu mulai berjalan mengikuti kedua suster yang mendorong ranjang Vee. Setelah kedua suster ini selesai memindahkan Vee ke ruang inap, salah satu dari mereka mulai berbicara.


"Pasien ini baik-baik saja. Untuk sementara dia tertidur akibat efek samping dari obat penghilang rasa nyeri. Karena mengeluarkan cukup banyak darah jadi dokter memberikan infus pada pasien. Jadi setelah infus ini habis pasien sudah boleh pulang." Suster menjelaskan sambil menunjuk ke arah botol infus yang tergantung di atas ranjang Vee.



"Sebenarnya penyakit apa yang di derita oleh teman kami?" Ree bertanya setelah suster ini berhenti bicara.


Ternyata Vee bukan mengalami kecelakaan. Tapi menurut sepengetahuan ku Vee tidak memiliki riwayat penyakit apapun selain cara berpikirnya yang cukup lambat.



"Zee, Dee kalian ada di sini?" Suara Vee terdengar serak seperti orang yang baru bangun tidur.



*ToBeContinued*