Si mbok duduk menatap lembut Brayn dan Sebastian juga Anna setelah ketiganya menyalim. Senyum tak lepas dari wajahnya yang sudah di penuhi keriput dengan gigi berwarna merah, melihat itu Brayn jadi penasaran kenapa mulut nenek itu bisa berdarah, rasa kantuk seketika hilang.
'Apa tidak sakit?' Batinnya dengan wajah penasaran yang kuat.
"Si mbok nyirih, cah bagus." Brayn membelalakkan matanya terkejut. Walaupun dia tidak tau artinya tapi ia tau nenek ini menjawab apa yang di pikirkannya.
"Aku harus panggil apa?" Dia lihat tuanya melebihi ketiga neneknya.
"Si mbok boleh, eyang juga boleh." Karena sering di kunjungi wisatawan, warga desa bisa berbahasa nasional dengan baik meskipun dengan logat daerah yang kental.
"Oh, baiklah eyang." Brayn mengangguk sopan. Anna tersenyum melihat putranya yang mudah beramah tamah.
"Kamu anak yang berbakti, kelak bisa menjaga adik-adikmu dengan baik, mereka sangat bergantung padamu." Alis Brayn tertaut.
"Adik-adik?" Tanyanya polos.