Kemunculan Rissa dan Charlos membuat Nick jadi tidak nyaman. Seharusnya ia menyingkirkan perasaan tidak nyaman itu karena ia memiliki Milly di sisinya. Kehadiran Milly benar-benar penyelamat. Setidaknya Nick tidak perlu terlihat bodoh di hadapan kakak tiri dan suaminya.
"Aku tidak menyangka kalau pacarmu ini adalah seorang turunan Inggris. Apa aku benar?" Rissa tersenyum ramah.
Nick bertanya-tanya dalam hati, yang Rissa tanyakan benar atau tidak itu yang mana? Milly pacarnya atau soal keturunan Inggris-nya?
"Benar," jawab Milly. Baiklah. Memang kedua hal itu memang benar. "Orang tuaku memang keturunan Inggris," jawab Milly.
"Kamu pasti sudah lama sekali tinggal di Indonesia. Bahasa Indonesiamu lancar sekali."
"Ya begitulah. Aku lahir dan besar di Indonesia."
"Begitu ya." Rissa mengangguk-angguk. "Kalian tampak cocok sekali. Aku turut senang. Akhirnya Nicky menemukan cintanya." Rissa mengedik pada Nick.
Ia hanya bisa menggenggam tangan Milly dengan erat, berharap Milly tidak akan menghilang dari hadapannya. Milly menoleh sebentar padanya.
"Apa Nick sering menceritakan tentangku padamu?" tanya Milly pada Rissa.
Oh tidak. Apa lagi ini? Seharusnya Milly tidak terlalu banyak bicara dengan Rissa. Ini agak meresahkan. Nick khawatir Rissa akan mengatakan hal-hal konyol yang aneh pada Milly.
Rissa tertawa pelan. "Sebenarnya tidak juga. Waktu itu ponselnya tertinggal di rumah, sementara dia sedang berada di Malaysia. Dia merengek menelepon ke rumah, memintaku untuk menyebutkan nomor teleponmu."
Milly tersenyum geli. Oh, bagus sekali. Merengek seperti bayi. Seharusnya ia tidak pernah meminta tolong pada Rissa.
"Waktu itu kamu menanyakan nomor telepon Martin. Aku sudah mengirimkan nomornya. Kamu sudah menerimanya kan."
"Oh sudah," jawab Milly
"Apa kamu sudah bertemu dengan Martin?"
"Sudah. Waktu itu aku sudah mendatanginya ke café tempat dia bekerja."
"Hmmm ... Apa kamu akan menjadi vokalis baru JazzGuy?" Rissa bertanya sambil menautkan alisnya.
Nick berdeham, tapi tampaknya tidak ada yang memperhatikan peringatan dalam dehamannya yang rasanya sudah cukup keras. Rissa memang tidak peka. Atau mungkin ia memang sengaja. Mengorek-ngorek dan ikut campur dalam urusan orang lain memanglah keahliannya.
"Tidak. Aku tidak bisa menyanyi. Suaraku tidak bagus," aku Milly.
"Ah jangan merendah." Rissa menggerakan tangannya. "Omong-omong, dulu aku pernah menjadi vokalis JazzGuy. Tapi semenjak aku pindah ke Bandung, aku jadi berhenti."
"Oh." Milly mengangguk. "Keluarga memang lebih penting, ya kan?"
"Ya." Rissa terkekeh. "Lagipula sejak lahir, aku memang tinggal di Bandung. Suamiku orang Bandung juga. Jadi ya, aku kembali ke tanah kelahiranku."
Nick merasa seperti kambing congek. Sepertinya Milly dan Rissa cocok sekali.
"Oh iya. Maafkan sikap Tasya ya." Rissa meremas bahu Milly dengan lembut. "Aku sempat mendengar percakapan kalian. Tolong jangan diambil hati. Dulu saat aku baru berkenalan dengannya, Tasya juga tidak menunjukkan sikap ramah."
"Ah tidak apa-apa kok." Milly menggerakkan tangannya. "Aku baik-baik saja."
Rissa mendesah. "Anak itu memang sedikit berbeda." Ia menyipitkan matanya sambil memperhatikan Tasya yang sedang duduk mengobrol sambil memeluk Charlos.
"Tasya lahir prematur," kata Rissa menjelaskan. "Ibunya meninggal karena melahirkannya. Ayahnya entah ada di mana. Sejak dulu ayahnya Charlos yang membiayai semua keperluan Tasya, seperti susu formula khusus untuk anak prematur dan sebagainya. Charlos meneruskannya saat ayahnya sudah meninggal. Tasya begitu menyayangi Charlos. Anak itu jadi sedikit posesif terhadap ..." Rissa memutar bola matanya. "... wanita yang dekat-dekat dengan orang yang disayanginya."
"Kalau begitu Nicholas juga salah satu kesayangannya Tasya dong?" tanya Milly.
"Ya, tentu saja." Rissa tersenyum pada Nick. "Nicky paling sering datang kemari daripada mengunjungiku. Setiap dia ke Bandung, pasti selalu ke sini dan bermain dengan Tasya, mengajaknya jalan-jalan. Dia memang calon ayah yang baik, ya kan?"
"Tidak perlu memujiku," kata Nick sedingin batu.
"Aku tidak perlu memujimu. Kamu memang selalu disukai oleh siapa pun, di mana pun. Ibu Indah, Ibu Dini, mertuaku, bahkan ibuku saja lebih menyayangimu daripada aku."
"Sudah cukup. Milly, katamu tadi kamu haus. Ayo kita ambil minum." Nick menarik siku Milly.
"Hah?" Milly menatapnya bingung. "Aku tidak—"
"Kamu mau minum susu kedelai?" potong Nicholas sambil melebarkan matanya.
"Oh baiklah." Milly menurut. Ia sempat mengangguk pada Rissa sebelum mereka pergi dari sana.
"Sebenarnya ada apa?" tanya Milly saat mereka sudah di dapur. Nick menyuruhnya untuk duduk di kursi sementara sibuk mencari gelas dan sendok, tidak menjawab pertanyaan Milly.
"Aku tidak mau minum susu kedelai. Tadi pagi aku sudah meminumnya di hotel."
"Oh baiklah. Jadi kamu mau minum apa?" tanya Nick sambil memandanginya dengan ekspresi kesal.
"Air putih saja," jawab Milly selembut mungkin.
Milly terus menerus memperhatikan Nick saat ia mengisi gelas dengan air dari dispenser. Ia menyerahkan gelas itu ke tangan Milly. Kekasihnya menerima gelas itu sambil memandanginya dengan sikap curiga.
"Kamu sengaja menghindar dari kakakmu," papar Milly.
"Minumlah," perintah Nick tanpa memperdulikan apa yang Milly katakan barusan. Ia duduk berseberangan dengan Milly. Kemudian ia menenggak air minumnya sendiri.
"Ceritakan. Apa yang kamu sembunyikan dariku?" Milly menatapnya serius sekali.
Nick tidak bisa melepaskan diri dari tatapan menjengkelkan itu. Sial. Ia memang menyembunyikan kisah masa lalunya dengan Rissa dari Milly. Kekasihnya itu tidak perlu tahu apa-apa. Untuk apa?
Pada kenyataannya ia dan Rissa sudah tidak ada lagi hubungan asmara. Kali ini mereka benar-benar hanya sekedar adik kakak, tidak akan pernah lebih lagi dari itu.
"Sebaiknya kamu jangan terlalu banyak mengobrol dengannya," saran Nick sambil menatap meja dapur, tidak berani langsung menatap mata Milly. "Lagi pula dia bukan kakakku."
"Tapi tadi dia bilang ..."
"Maksudku, Rissa bukan kakak kandungku, tapi kakak tiri." Nick menjelaskan pada Milly.
"Tidak masalah. Kakak tiri juga tetaplah seorang kakak." Milly terdengar keras kepala.
"Aku anak tunggal, tidak pernah punya saudara. Sampai ayahku menikah dengan ibunya Rissa. Aku jadi punya kakak dan adik laki-laki."
"Bukankah itu bagus? Aku juga punya kakak laki-laki, kakak perempuan, dan adik laki-laki. Lengkap sudah." Milly mengedikkan bahunya.
"Kamu tidak pernah tahu bagaimana rasanya punya saudara tiri." Nick meletakkan gelasnya di meja, cukup keras sehingga membuat Milly agak tersentak.
"Memangnya kakak tirimu itu jahat?" Milly melebarkan matanya.
Nick berhenti mengaduk lalu menyerahkan gelas itu ke tangan Milly yang langsung meminumnya.
"Rissa bukanlah orang yang jahat," tukas Nick enteng.
"Ya sih. Aku pikir juga dia memang bukanlah orang yang jahat. Sangat baik malah. Adik laki-lakinya yang jahat?" Milly menatap Nick dengan ekspresi penasaran yang menggemaskan.
"James?" Nick terkekeh. "Dia adalah adik laki-laki terbaik yang pernah aku miliki."
"Jadi?" Milly mengerutkan dahinya. "Ibu tirimu? Apa ibu tirimu jahat padamu? Bukankah tadi Rissa bilang kalau ibunya lebih menyayangimu daripada menyayanginya?"
"Ibu tiriku bukanlah ibu tiri," Nick menjelaskan. "Dia adalah ibu sambungku. Seorang ibu yang Tuhan anugerahkan bagiku untuk menggantikan ibu kandungku. Aku sangat menyayanginya."
Dengan perlahan Milly meletakkan gelas kosong di tempat cuci "Aku tidak mengerti. Jadi apa masalahnya? Mereka semua, anggota keluargamu yang baru itu adalah orang-orang baik yang sayang padamu. Apa ini semacam sindrom artis?"
"Apa itu?" Nick mengernyitkan dahinya.