Chapter 2 - Prolog

-Andi Rayhaan Raffasya

Dibilik yang gaduh terdengar suara keras dengan perkataannya yang vulgar, bibir yang dulu selalu tersenyum santun, kini nampak kaku dan masam, dikeheningan sekejap lelaki bermata coklat itu pergi kebiliknya sendiri.

"andi, tunggu....!!" teriak aurel yang sontak terkejut melihat andi yang sedari tadi memperhatikan kekecohan yang terjadi.

Sedang dari dalam bilik andi

"angga...!!!" suara keras yang menggema dari sana. Angga yang lalunya mengusap keringat dinginnya sontak lari menghampiri andi, lalu sekejap bengong melihat andi yang mengeluarkan pakaiannya dan dimasukannya kedalam tas.

"kita pergi dari rumah ini," ucap andi dengan suara keras namun sendu. Ucapan itu terdengar oleh edwin dari luar kamar yang sedang berjalan menuju masuk.

"kenapa?" balas edwin yang sontak membuat angga menoleh terkejut.

Semuanya terdiam hening, lelaki bermata coklat itu menatap tajam pada wajah edwin, lalu payu ketika tatapannya berganti haluan pada wajah aurel yang tak henti hentinya meneteskan air mata.

"karena ayah gak layak untuk ibu." tangan yang mulai melayang kearah andi lalu mengenai pipinya dengan keras sampai berbekas merah. Semua kesopanan seakan lenyah dari diri andi. Bagai mana tidak, karena bukan hanya sekali dia melihat ayahnya sendiri sering bermain gila diluar rumah, dan sering kali kekecohan yang terjadi tentang hal yang sama.

-Siti Nuraini, Bandung tanpa pangeran.

Jendela menjadi media penyejuk hati, Aini yang meratapi Bandung yang kala itu sepi bagai tak berpenghuni. Matanya terus berbinar, memancar sendu ke arah langit yang cerah, pikirannya berjalan jauh meninggalkan raga yang semula ada.

"Di Padang gue pengen ke Bandung, giliran dibandung gue malah pengen ke Padang," guman Aini sambil melamun.

"Yaahhh kalo ada masalah rumah, pasti lo ngomongnya gini," ucap Nadin yang sedari tadi memperhatikan Aini.

"Pokoknya gue gak mau pulang, gue mau tidur di rumah lo aja,"

"Tapi Aini, lo kan udah hampir seminggu disini, emangnya lo tega sama bokap lo," ucap Nadin membujuk aini, karena tak enak hati kepada orang tua Aini.