Tawa seseorang memiliki banyak arti, jangan sampai tertipu - Ocean
Rintik hujan mengiringi langkah kakinya. Sweater maroon yang dikenakan basah kuyup kehujanan. Tatapan matanya kosong tak menyiratkan apapun. Hatinya menepi sejenak, menenangkan diri. Dia melangkah tanpa tujuan, tanpa arah, dan tanpa memedulikan sekitar.
Dunia ini hanya miliknya. Milik dirinya yang tengah kosong kehilangan jati diri. Pikiran kosong mengantarkannya kesebuah semak belukar. Semakin jauh dan semakin dalam. Lagi-lagi kakinya maju tanpa diperintah. Terus melangkah tanpa lelah. Hujan dan petir seakan mendukungnya. Berjalan dengan tenang tak tau arah.
Hanya raga yang dimiliki gadis itu, tak ada jiwa dan cinta di dalamnya. Hingga akhirnya, raga tersebut sampai pada sebuah danau buatan berwarna biru. tampak pantulan sang rembulan yang mengejek. Menunjukkan bahwa dia tidak sendirian, akan ada bintang yang menemaninya.
Gadis itu menunjukkan seringaiannya, menatap marah kepada pantulan dirinya yang begitu kacau. Rambut berantakan, pakaian yang tidak benar dan bibir pucat kedinginan ditambah dengan gorekan luka yang belum mengering di lengannya.
"Dingin?" gumamnya nyaris tak terdengar.
Setelahnya, dia tertawa sarkas entah karena apa. Tawanya semakin kencang mengiringi derasnya hujan.
Sesaat setelah tawanya mereda, gadis itu menangis histeris. Menangis dengan kencang mengalahkan suara derasnya air hujan. Bulir air matanya mengalir deras menetes kedalam danau. Gadis itu terluka. Luka tak tampak yang lebih menyakitkan daripada melihat goresan luka dengan darah.
***
Brumm....
Brumm...
Brummm....
Derasnya hujan tak menyurutkan semangat buruk dalam diri para pemuda ini. Balapan liar yang diadakan di pelosok kota seperti sebuah tradisi turun temurun yang tak pernah reda. Sekian kali mereka tertangkap, sekian kali juga mereka mengulang hal serupa.
Yudistira Adyatama, juara berturut-turut yang tak pernah terkalahkan. Laki-laki itu baru berusia 17 tahun, tetapi dia bisa mengalahkan banyak orang yang bahkan lebih tua darinya.
Laki-laki itu mengikuti balapan liar bukan karena biaya, tetapi karena hobi semata. Dia bukan si broken home dari dunia penuh cerita,dia hanya mengikuti darah ayahnya. Sang Ayah, si mantan pembalap yang diakui jempol di Jakarta mendukung anaknya. Meskipun sering dipandang sebelah mata, tetapi ini bisa dijadikan ajang latihan mendewasakan diri menurut ayahnya. risiko kecelakaan? Itu urusan yang kuasa.
Yudi melajukan motornya pada aspal licin air hujan. Rintiknya semakin deras menimbulkan suara bising yang cukup mengganggu. Yudistira berdecak kesal ditengah perjalanan. Dirinya membenci hujan bukan tanpa alasan. Karena hujan, banyak aktivitas terhenti. Yang seharusnya mencari nafkah, mereka malah meneduh dan hanya membuang waktu.
Seiring berjalannya waktu laju motornya semakin cepat tak terkendali. Sampai akhirnya, sebuah kucing domestik melintas di jalan secara tiba-tiba. Yudistira terkejut dan membanting setir motornya sehingga jatuh dan terseret sekitar 300 meter.
dia jatuh di sebuah semak belukar hingga menimbulkan banyak luka gores pada tubuhnya.
"Aish, sialan. tetapi untung selamat tuh kucing." Yudistira meringis kesakitan sambil melihat kucing berwarna oren itu berjalan santai tanpa meliriknya.
Yudistira memeriksa luka-lukanya yang terbilang cukup parah karena tidak menggunakan pengaman. dia melirik sekitar mencari tahu keadaan.Ā Sampai di mana matanya menemukan sebuah pondokan didekat danau. Karena motornya rusak, Yudistira harus menunggu temannya datang dan membawanya pulang.
Saat dirinya melintasi sekitar danau menuju pondokan tersebut, dia melihat sesuatu yang janggal. Seperti rambut seorang perempuan. Rambut panjang yang mengambang di permukaan danau.
Melihat hal yang aneh menurutnya,Yudistira segera menghampiri danau tersebut. Matanya menyipit mencoba melihat lebih jelas apa yang mengambang di air tersebut hingga tak sadar dia pun bergumam,"masa mayat sih?"
***
Gadis itu terus melangkah, semakin jauh dari permukaan. Air mulai membasuh kedua kakinya, lalu menenggelamkan lututnya, semakin dalam dan jauh hingga ke pinggulnya lalu berhenti sejenak menutup matanya mengucapkan salam perpisahan.
Aku pergi....
Mungkin dunia bukan tempat yang baik untukku...
Mungkin terlahir bukan sesuatu yang tepat untukku...
Mah, pah, aku pergi. Ini adil bukan? Kalian senang tanpa diriku dan aku bahagia karena melihat kebahagiaan kalian.
Air melebur, menenggelamkannya hingga dada. Sesak, tetapi rasanya tak lebih sesak daripada malam-malam panjang gilanya. Malam panjang saat cutter mengiris tangannya, liquid merah mengucur deras bersamaan goresan luka baru di tangannya.
Sekarang, gadis itu menutup matanya, air mulai semakin naik hingga mulutnya. Tak nyaman memang, tetapi ini lebih baik dibandingkan tamparan dari kedua orang yang disayanginya. Dan lebih baik dibanding kata-kata menyakitkan yang dia dengarkan hampir setiap hari.
Saat ini, dia matanya terpejam sempurna. Dirinya tersapu air, gelap. Seperti saat-saat dirinya memikirkan masa depan. Gelap, tak ada setitipun cahaya masuk untuk membantunya keluar dari situasi itu. Masa depan suram dipikirannya membuat gelap ini tak ada rasanya. Lama kelamaan, permukaan semakin terasa jauh. Kakinya sudah tak napak lagi di tanah. dia mengambang. Merasa ringan.
Lalu, paru-parunya mulai terbakar. Rasanya, segala sesak yang ada akan segera terselesaikan,akan musnah bersamaan jiwanya yang pergi dan tak kembali.
Sesak...
Semakin sesak...
Ini menyakitkan....