Dirga baru saja memasuki apartemennya dan melepaskan sepatu, kaos kaki, helm, dan juga jaket kulit. Baru saja hendak melangkah lebih dalam, Audy sudah menyambutnya dengan sebuah cengiran. Dirga malas sekali melihat gadis itu tersenyum seperti ada maksud lain.
"Ck. Iyaaa habis ini gue anterin pulang. Gue mandi dulu." Ucap Dirga yang sepertinya langsung tahu apa isi pikiran Audy.
"Hehehe.. iya kak. Rasanya di sini gue udah kayak diculik beneran. Kenapa sih gak ngebolehin gue pulang sendiri? Mana Bi Rahmi tadi gelisah banget."
"Gelisah kenapa?"
"Ya gue mau pulang sendiri. Tapi sama Bi Rahmi gak dibolehin. Harus nunggu lo dulu kak.."
Dirga yang mendengar itu wajahnya datar tidak ada reaksi dan hendak membuka pintu kamarnya. "Setidaknya lo nurut apa kata gue." Ujarnya begitu saja dan langsung masuk ke kamarnya yang sudah sangat rapi dan bersih.
Audy hanya bisa berdecak dan bersedekap dada. Kemudian ia bergegas ke kamar milik Diana untuk membereskan barang-barangnya.
Saat berada di dalam kamar lagi, Audy melirik ke arah kolong lemari lagi. Di mana kertas folio yang ia temukan tadi ia kembalikan ke bawah sana. Rasanya Audy seperti tidak berhak menemukan itu. Biarkan saja nanti pasti Dirga atau Bi Rahmi yang menemukan itu.
Audy memasukkan ponsel dan buku pelajaran miliknya yang sempat ia baca. Jaket mantel berbulu yang diberikan Bianca itu terlipat rapi di atas kasur. Tadi siang Bi Rahmi yang menaruhnya di sana. Dicuci bersih dsn sudsh disetrika oleh Bi Rahmi.
Melihat jaket mantel berbulu itu Audy sangat kesal. Jaket mantel itu milik seseorang yang sudah melakukan hal kurang ajar padanya. Tapi, Audy nyalinya juga ciut kalau harus mengembalikan jaket itu pada Bianca. Ah, Bianca kan kaya raya, Audy tidak perlu mengembalikan jaket tersebut. Audy buang saja atau perlu juga dibakar.
Mengingat apa yang dilakukan Bianca terhadap dirinya, Audy juga jadi teringat Alan. Lelaki itu sama sekali tidak mencarinya dari kemarin. Apa Alan tidak tahu kalau dirinya menghilang?
"Lo lama banget. Udah belum?" Tanya Dira yang sudah siap di depan kamar Diana dengan pakaian serba hitam lagi.
Audy menoleh ke belakang sambil menutup ritsleting tas ranselnya. "Ah, iya udah kok." Ucapnya dan keluar dari kamar dengan menutup pintu kamar Diana.
Gadis itu bersiap pergi dengan tas ransel yang sudah ada di punggungnya dan kedua tangan Audy mendekap jaket mantel milik Bianca.
"Buruan. Kita ke basement." Ujar Dirga dengan mengulurkan helm berwarna hitam.
Audy menerima helm itu dengan tatapan agak ragu. "K-kita naik motor kak?"
"Gak ada 'kita'. Iya, lo sama gue naik motor."
Audy berdecak kesal. Rasanya agak sakit juga dengan kalimat pertama Dirga yang memperjelas tidak ada kata 'kita' di antara mereka berdua. "Dih, kata 'kita' juga bukan berarti buat pasangan doang kalik! Emang keadaannya kan lagi berdua. Kepanjangan banget kalau harus bilangnya lo dan gue naik motor. Ribet." Omel Audy yang tidak terima.
Gadis itu membuntuti langkah panjang Dirga menuju lift. Dirga juga sama sekali tidak mempedulikan Audy yang langkah kakinya lebih kecil darinya, sehingga Audy kalau berjalan tidak bisa sejajar dengan Dirga.
Kaki Audy benar-benar sudah sembuh. Hanya menyisakan bekas kebiruan dan sudah tidak bengkak ataupun lebam. Sedari tadi gadis itu meluruskan kakinya di kamar. Tidak dibuat berjalan ke mana-mana lagi. Audy juga sudah berjalan dengan normal, tidak terseok-seok atau pincang lagi.
"Naik." Perintah Dirga ketika dirinya sudah menaiki motor dan bersiap untuk menyalakan gas motor.
Audy jadi tidak yakin untuk naik. Boncengan bagian belakang sangat tinggi. Baru kali ini Audy dibonceng dengan motor sport.
"Buru! Ngelamunin apa sih lo?" Tanya Dirga yang tidak sabaran.
Audy tersentak kecil. "Eh, iya iya.. anu kak, kenapa gak pake mobil aja sih?"
Dirga berdecak. "Lo mau gue anterin atau kagak? Kalau gak mau ya udah cari taksi aja sana." Sungutnya.
Rasanya Audy makin kesal saja, ia sudah menuruti Dirga untuk tetap berada di apartemen sampai kakinya sembuh. Audy juga batal pulang sendiri tadi pagi. Dan sekarang dengan seenak jidatnya, Dirga malah bersungut dengan menyuruh Audy untuk naik taksi saja kalau tidak mau menaiki motor sport cowok itu. 'Dasar cowok labil!!' Olok Audy dalam hati.
"Buruan."
"Ck. Iya iya ah.." ujar Audy yang akhirnya naik ke boncengan motor sport milik Dirga yang berwarna hitam metalik. Gadis itu naik dengan kedua tangan yang berpegangan pada bahu Dirga.
Saat duduk di boncengan, Audy jadi merasa lebih tinggi dari pada Dirga yang menyetir. Lelaki yang duduk di hadapannya itu mulai menjalankan motor sportnya dengan kecepatan sedang. Kedua tangan Audy berpegangan pada kedua bahu Dirga.
Dirga yang mengetahui kedua bahunya menjadi pegangan erat itu merasa risih. Rasanya sudah seperti abang ojek saja. Dirga tersenyum nakal dibalik helm. Ketika motornya melaju di area jalanan yang sepi, kecepatan motornya ia tambah dan lebih mirip mengebut kencang.
Tentu saja Audy kaget dan reaksinya diluar dugaan Dirga. Dirga mengira Audy akan berganti memeluk perutnya seperti ala-ala film. Namun ternyata tidak seperti isi pikiran Dirga. Kedua tangan Audy malah berpegangan kencang di helm cowok itu. Sontak saja rasanya kepala Dirga seperti ditarik ke belakang.
"Aaaaaaa... jangan kenceng-kenceng dong kaakkk.." pekik Audy dengan lantang.
Dirga juga sangat risih kepalanya dibuat ajang pegangan nasional oleh kedua tangan Audy. Lelaki itu langsung memelankan kembali speed motornya. Audy langsung memindahkan kedua tangannya pada bahu Dirga.
Dengan bersungut Dirga membuka kaca helmnya dan bicara. "LO GILA APA??!! NGAPAIN LO MALAH PEGANG HELM GUE? BAHAYA TAUK!!!!" Bentak Dirga dengan berteriak.
DUAGGHH!!!
Audy dengan santainya memukul helm Dirga dari belakang. Membuat cowok itu meringis kecil. "LO YANG GILA KAK!!! NGAPAIN NGEBUT?? GUE YANG JANTUNGAN!!!" Balasnya dengan berteriak lebih kencang.
Dirga tidak membalas, namun malah menambah kecepatan motornya seperti tadi. Audy dibuat kaget lagi dan bingung berpegangan di bagian mana. Dengan sigap Dirga langsung menarik tangan kiri Audy untuk melingkar di perutnya. Otomatis saja tangan kanan Audy juga bergerak melingkari perut Dirga.
Jantung Audy berpacu dengan sangat cepat. Sudah seperti ikut balapan dengan kecepatan motor sport milik Dirga. Dagu Audy jadi berada di atas bahu kiri Dirga. Rasanya terlalu dekat.
Jemari tangan Audy jadi meremas jaket kulit Dirga di bagian perut. Dirga yang merasakan itu hanya bisa menunduk sebentar melihat kedua tangan Audy yang meremas jaket kulitnya. Dilihatnya dari kaca spion, kedua mata Audy terpejam dengan kaca helm yang terbuka.
Namun Dirga malah tersenyum dibalik helmnya. Dan cowok itu merasakan aneh pada bagian dadanya. Ada yang mulai berdetak melampaui ritme biasanya. Jantung Dirga berdebar dan suhu badannya menghangat.
***