Chereads / The Lord Of The Darkness / Chapter 10 - ~Letupan Senjata~

Chapter 10 - ~Letupan Senjata~

Nicholas mendekat, menuntun Alea ke tempat gelap. Dia ingin bercinta di sini. Di tempat sedikit sepi dan tanpa penerang yang memadai. Jujur, Nicholas membenci suasana terang. Sebab terang, menyisakan rasa yang menyakitkan.

"Kau mau kita bercinta di sini? Di sudut tempat pesta ini, Nick?" tanya Alea dengan nada terkejut. Nicholas hanya tersenyum, dia menapilkan sisi tampan wajahnya yang lain.

Ya... wajahnya memang sempurna. Siapa yang akan menyangkal hal itu. Seorang Nicholas Kyle memang memiliki ketampanan yang luar biasa. Namun... itu hanya untuk satu sisinya. Sementara sisi yang lain....

Alea terus mundur, saat Nicholas berusaha menghimpitnya pada sudut ruangan yang cukup sepi. Ruangan yang tak disinari lampu warna-warni. Dan, itu semakin membuat Alea penasaran dengan paras tampan Nicholas. Dia tahu dari kabar, jika pangeran muda dari kerajaan Kyle itu memiliki ketampanan yang luar biasa. Itu sebabnya, tatkala ia melihat lelaki yang ia kenal dengan nama Marvin berada di sekitar seorang lelaki yang menyendiri di tempat tanpa sentuhan sinar lampu, Alea langsung bisa menebak jika itu Nicholas. Ya... Nicholas Kyle. Lelaki yang Alea tebak jika lelaki itu memang memiliki paras tampan, dengan wajahnya yang meski terlihat di tempat remang-remang. Atau, dari tatapan tajamnya yang begitu memabukkan. Alea mau Nicholas, Alea menginginkan dijamah oleh lelaki yang tak tersentuh seperti Nicholas Kyle. Agar ia bisa menyombongkan diri pada teman-temannya, jika ia mampu menakhlukkan hati pangeran sedingin Nicholas.

"Ya... apa salahnya?" tanya Nicholas dengan seringaian licik.

Dia langsung mengunci Alea dengan kedua tangannya, tatapannya menelanjangi Alea yang bahkan masih mengenakan gaun lengkap.

Alea menelan ludahnya dengan susah. Bahkan, dengan tatapan Nicholas sudah cukup membuat kewarasannya hilang.

Alea mencoba meraih dagu Nicholas, namun... dengan cepat lelaki itu menghalanginya. Nicholas tak suka disentuh, terlebih wajahnya, oleh siapa pun itu.

"Bisakah kita memulai percintaan kita yang panas, Nick." bisik Alea setengah mendesah.

Tangan Nicholas sudah bergerilya di punggung Alea, kemudian... dia memberikan kecupan-kecupan manis di bahu wanita bermata biru itu.

"Nick...." lirih Alea.

Tangan Alea merayap mencoba mencari sesuatu yang sedari tadi ia pegang. Ya... ponsel. Setelah ia memastikan tangannya berada di tempat yang tepat, dia pun langsung memotret wajah Nicholas, sampai Nicholas memicingkan matanya karena blitz kamera dari ponsel Alea.

"Sialan!" umpat Nicholas marah.

Dia mendorong tubuh Alea dengan kasar kemudian menutupi sisi lain wajahnya. Sisi lain yang begitu sangat Nicholas... benci.

"Maaf, Nick... ayolah, aku hanya ingin mengabadikan wajah tampan—" ucapan Alea terhenti. Mulutnya mengaga saat ia melihat hasil potretannya.

Ya... itu adalah wajah Nicholas, wajah yang... buruk! Alea langsung mundur, matanya terbelalak tak percaya seolah ia menyesal telah merayu seorang Nicholas Kyle.

Faktanya, pangeran dari keluarga Kyle bukanlah pangeran yang sangat tampan. Akan tetapi, pangeran dengan wajah cacat.

"Kau... kau... berani-beraninya kau, lelaki buruk rupa mau menyentuhku!" marah Alea, jari telunjuknya menunjuk tepat di wajah Nicholas. "Kau lelaki berwajah cacat, dan kau menipu dunia dengan mengatakan jika kau lelaki tampan? Pangeran Kyle yang sangat tampan? Ya Tuhan! Apa kau sedang tak waras, Tuan? Dan... melihat betapa menjijikkannya dirimu membuatku bersyukur jika aku tak dijamah oleh lelaki monster sepertimu! Aku ini putri dari pengusaha kaya, dan beraninya kau mengajakku bercinta, cih!"

Nicholas diam, dia tak menjawab ucapan pedas dari Alea. Namun, mata elangnya menatap tajam pada sosok yang kini memandangnya dengan rendah. Lagi... Nicholas membenci pandangan semacam itu. Nicholas membenci perlakuan menjijikkan seperti itu.

Rahangnya mengeras, tangannya meraih sesuatu yang ada di balik jubah hitamnya. Dia pun menyeringai ke arah Alea yang kini sedang terbelalak kaget dengan apa yang dibawa oleh Nicholas.

"Kau tahu, Nona Omar... tak ada seorang pun yang hidup setelah melihat wajahku. Terlebih... berkata seperti itu. Apa perlu kupotong lidah tajammu itu dan kuberikan pada anjingku? Atau..." kata Nicholas menggantung, dia mendekat dan menodongkan pistolnya ke arah Alea. "Kupotong-potong tubuhmu dan kubuang dari sini?"

"Kau—"

DORRR!

Lampu ruangan pesta mendadak terang, suara ribut dan panik tamu mulai terdengar. Cepat-cepat Marvin dan Sean membawa Nicholas untuk pergi.

"Apa kau lupa memasang peredam suara di pistolmu, Nick?" tanya Sean pada sepupunya.

Nicholas diam, enggan menjawabi ucapan Sean. Seharusnya, tadi dia memasang peredam suara. Tapi, tentu... hasilnya tidak akan semenarik jika suara tembakan itu terdengar nyaring. Dan... saat ini, Nicholas bisa menebak bagaimana ketakutannya orang-orang bodoh yang ada di pesta itu. Serta perasaan kehilangan yang dirasakan oleh Omar.

Nicholas menyeringai. Dia rindu melihat perasaan paling menjijikkan di dunia. Ketika ada seorang keluarga merasa putus asa, merasa kehilangan, kecewa, dan tak mampu berbuat apa-apa karena keluarga yang begitu ia cinta telah tiada.

"Sial!" umpatnya emosi. Sebab... perasaan menjijikkan itu dulu ia pernah merasakannya.

==000==

Siang ini, sudah kali kedua Grace membersihkan kamarnya. Bukan karena dia sok sibuk. Hanya saja... ia merasa tak ada kerjaan. Bagaimana bisa dia bekerja seperti ini?

Dia tak memasak untuk Tuan Kyle muda, pun melakukan apa pun. Dia hanya bertugas memberikan sarapan, makan siang serta makan malam saja. Dan selebihnya, pekerjaannya adalah menjadi orang kurang pekerjaan. Ya, tentu... selain menyirami tanaman yang ada di kebun kecil samping rumah keluarga Kyle. Kebun yang baru beberapa minggu ada karena Gracelah yang mengurusnya. Atau jika tidak, dia dengan bodoh berbincang dengan tanaman-tanaman yang ada di kebun itu.

Memangnya, dia bisa berbincang dengan siapa? Hampir semua penghuni rumah keluarga Kyle adalah orang-orang profesional yang mengerikan. Mereka lebih memilih menutup mulut mereka rapat-rapat dari pada harus menjawab setiap pertanyaan Grace. Atau bahkan, saat Grace mencoba mengajak mereka berbincang.