Dia adalah Commaire. Tangan kanan Emmerson James si saudagar kaya penguasa bandar transit jalur perdagangan internasional Myrmo itu tengah menyeka keringat di tengah hiruk pikuk dermaga. Lihat wajahmya. Matanya, biasa saja. Bukan tipe mata kharismatik. Begitupun alisnya. Hidungnya, ah, kecil. Tidak mancung. Mulutnya tipis serasi dengan kumisnya yang juga tipis. Sedikit jambang bolehlah menambah nilai baginya untuk merebut hati seorang wanita. Gaya berpakaiannya pun tidak istimewa. Dengan wajah kalem ia menyelesaikan pekerjaannya. Satu jam untuk mengatur pemindahan peti-peti kayu berisi sutra dan mengurus penyimpanan garmen. Sebagian muatan kemudian ditukar dengan lampu minyak. Ia bergegas mengecek bahan bakar dan muatan dalam beberapa kapal angkut milik Tuan Emmerson yang masih diam di dermaga sebelum kapal-kapal itu berangkat menjelang petang. Utusan Emmerson dari kantor dagang menghampirinya.
"Tuan Emmerson memanggilmu." kata petugas itu.
Commaire meninggalkan buritan dan berjalan cepat menuju kantor. Ia mengetuk pintu dan kemudian masuk. Tampak majikannya itu tengah melipat sebuah surat.
"Commaire, aku bermaksud mengirimmu untuk mengurus beberapa hal. Kau pasti akan senang bertemu Sherraz, mitraku yang handal itu. Aku baru saja membeli toko dan gudang tembakaunya tetapi aku berusaha membuatnya tetap berada disana sebagai supervisor. Kau tahu, ia sangat ahli di bidang itu.
"Tuan, begini. Maaf. Bolehkah saya bicara sesuatu?"
"Tentu saja. Silakan, Commaire."
"Saya berencana untuk pensiun lebih awal, Tuan. Toko saya sudah selesai dan saya ingin memulainya. Selain itu ada kontes pada pameran seni di akhir pekan yang akan saya ikuti."
"Sayang sekali kau pergi. Apa boleh buat aku tak berhak memaksa seseorang. Begini, jika kau dapat menyelesaikan urusan ini sebelum waktu yang kau kehendaki untuk pameran seni itu, aku berjanji kau boleh langsung berhenti dan akan kuberi modal tambahan untuk tokomu. Hanya dalam waktu ini saja sebab aku harus menghadiri undangan ke Ceamalo. Aku sudah menunggu bisnis ini sejak awal tahun. Sayang sekali jika harus tertunda. Waktu dapat mengubah pikiran seseorang."
Commaire diam sejenak. Ia pun akhirnya menyanggupi perintah Tuan dan segera meninggalkan ruangan. Diluar, langit sudah mulai gelap. Ia mengambil kuda dan pergi ke tokonya di Myrmo Selatan. Beberapa tempat makan yang ia lewati mulai banyak dikunjungi orang. Ia kemudian masuk ke tokonya sendiri, menyalakan lampu dan melihat sekeliling. Tinggal satu lemari kaca lagi ia akan dapat memulainya.
Commaire diam di meja uang. Di atas kertas yang diambilnya dari rak, penanya mulai menari. Ia tidak berfikir keras. Ia justru penasaran tentang apa yang dikerjakan oleh penanya karena semua itu mengalir begitu saja bagaikan udara yang melintas dimanapun ia berada. Ia hanya membayangkan mimpi-mimpi indahnya, masa kecil penuh petualangan, bayangan masa depan yang menyenangkan, emosi, fantasi, intrik, pro dan kontra, petualangan yang seru dan menakjubkan, cerita cinta musim gugur yang aneh sekaligus mengesankan dan banyak lagi. Ia mengerutkan dahi, kemudian tersenyum, terperangah, lalu tertawa bahkan terbahak-bahak memeriksa tulisannya sendiri. Sampai larut malam cahaya lampu masih setia menemaninya.
Commaire kemudian mengambil kertas berukuran besar. Ia menyiapkan banyak tinta dan mulai melukis. Lukisan itu menggambarkan pohon meranggas, matahari terbenam, bukit dan juga laut. Lukisan itu tipis, halus tetapi jelas. Semua garis dan komponen warna yang dilukisnya seolah mengisahkan banyak sekali hal yang tak habis diceritakan dalam waktu semalam. Di atas tiap lukisan ia bubuhkan puisi dan sajak. Kata-kata yang dituliskannya lugas akan tetapi tidak berarti keindahannya sirna. Jika seorang melihat semua itu, bisa jadi hatinya menjadi rapuh, patah menjadi puing-puing halus terbawa angin di alam kisahnya. Commaire ingin tahu, apakah orang lain akan dapat merasakan kehidupan dalam karyanya.
Ketika hendak menyimpan lukisannya, ia terkejut mendengar derit di pintu kaca. Seseorang telah mengawasi dirinya. Rasa penasaran memaksanya keluar dan mengejar orang itu. Sosok tersebut melesat sangat cepat tetapi Commaire sanggup meraih ujung jubahnya. Mereka berdua terjatuh. Disingkapnya jubah itu. Wanita yang sangat manis, yang tak asing lagi dalam ingatannya. Si pemain saham, ahli niaga yang mematahkan usahanya di lelang batu mulia. Orang yang berpengaruh dalam perekonomian Myrmo.
"Nona Sima!"
Commaire terkejut. Wanita yang tampak tak pernah peduli padanya, seorang yang sangat diinginkan Commaire seumur hidupnya itu terduduk di hadapannya.
"Kenapa kau mengawasiku?" tanya Commaire.
"Permisi. Aku harus pergi." gumam Sima.
"Jawab aku."
Mereka terdiam. Wanita itu menarik jubahnya dan segera pergi meninggalkan Commaire yang membuang muka atas kepergiannya.
Setelah kejadian malam itu, Commaire menjalani hari-hari terakhirnya sebagai tangan kanan Tuan Emmerson. Ia pergi ke Radina mengurus gudang tembakau. Baron Kai memang lihai dan sangat menguasai hal-hal tentang tembakau, seperti tekstur, sifat, aroma, penyimpanan, olahan tembaka dan lain-lain. Tentu karena ia sangat berpengalaman menangani tembakau dalam hidupnya. Gudangnya amat tertata, manajemen tokonya terstruktur amat baik. Commaire begitu penasaran tentang bagaimana Baron dapat mengembangkan usaha yang sangat rapi ini. Ia juga terheran-heran dengan lingkungan gudang yang sangat bersih. Dan lagi selain dapat memproduksi cerutu, Baron ternyata serius mengolah tembakaunya untuk bahan baku obat. Usai terpukau dengan tembakau-tembakau tersebut, Commaire mulai mengambil perincian dan mengurus beberapa pekerjaan sampai 2 hari berikutnya. Saat ia kembali ke Myrmo, Tuan Emmerson telah kembali dari Ceamalo.
"Kau selesai tepat waktu. Sesuai janji, aku akan memberi upah terakhir dan modal tambahan untuk tokomu." kata Emmerson.
"Terimakasih, Tuan. Sebenarnya saya membutuhkan satu lagi lemari kaca."
"Itu saja?"
"Benar, Tuan."
Tuan Emmerson meletakkan kantung uang di atas meja, mengulurkan tangan dan menyalami Commaire, "Terimakasih untuk bantuanmu selama ini. Semoga sukses."
Commaire keluar meninggalkan ruangan dan segera berlari mengambil kuda. Ia memacu kudanya menuju ke tempat si pembuat lemari untuk memesan 1 lemari kaca yang dikendakinya. Ia tak sabar melihat lemari itu terpajang ditokonya nanti, tak sabar menyaksikan bagaimana angan-angannya akan terwujud.
Di akhir pekan, gedung pertemuan Myrmo telah ramai dihadiri banyak sekali orang. Sebagian besar merupakan peminat seni dan saudagar terkemuka. Dalam kontes itu, lukisan terbaik akan dilelang dengan harga setinggi-tingginya. Beberapa lukisan yang dipamerkan sungguh membuat takjub siapa pun yang melihatnya. Disisi lain, tulisan-tulisan yang telah diteliti ahli sastra tengah dipajang di sebuah meja besar. Ketika penjurian Commaire menyibakkan kain penutup lukisannya. Disaat yang sama, ia melihat wanita itu berdiri disana, di tengah kerumunan, menatap tajam ke arahnya. Sesaat Commaire terdiam. Sepersekian detik seolah ia tak mendengar keriuhan dalam gedung itu. Gerakannya terhenti dan mulutnya terkunci.
'Jangan kau harap ia tunduk disisimu
ketika ia melepas genggamannya dan pergi darimu
Apakah ia malu atau ragu
Ataukah ia yang akan menghancurkan hatimu'
Commaire mengalihkan pandangannya. Disekelililngnya gemuruh sorak-sorai orang-orang memenuhi gedung. Angka-angka tertinggi dilontarkan dari segala arah sedangkan tulisan tangannya telah berpindah ke rak teratas. Commaire menyaksikan karyanya diperebutkan banyak menusia.
Ketika ia membuka pintu toko pada malam berikutnya, orang-orang segera memenuhi tokonya. Mereka melihat-lihat, memilih dan membeli barang-barang di tokonya. Pipa terbaik, beraneka makanan dan minuman, kain dari karpet persia dan semuanya. Ia melihat gemerlap mimpi yang menjadi nyata dihadapannya.
'Waktu menjawab atas pertanyaan-pertanyaanku tentang hidupku
tetapi kau memilih untuk tetap menjadi teka-teki dalam hidupku'