Chereads / Green Card Marriage / Chapter 2 - Pergi

Chapter 2 - Pergi

Harum bau kopi mengandung kafein tercium secara nyata di indera. Suasana pagi hangat karena mentari menyapa bumi. Bunyi dentingan sendok beradu cangkir sangat terdengar jelas.

Harum kopi semakin menusuk tajam tatkala sudah mendekati meja makan. Meja makan sederhana yang terbuat dari kayu. Ia letakkan dua cangkir kopi di depan lalu menatap ku duduk sambil bertopang dagu, "Kau sudah benar-benar yakin?" ucapnya. Aku pun hanya mengangkat bahu sambil meraih secangkir kopi.

Bunyi seruput kopi menghangatkan suasana. Tak ada yang lebih nikmat selain kopi panas di pagi hari. Bukankah begitu?.

Sambil memegang kedua sisi cangkir, ku edarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Ah aku bakalan rindu dengan rumah ini, terlebih lagi suasananya.

Ku lihat Amanda kembali, di tangannya terdapat beberapa potong pancake dengan lelehan cokelat. Kenapa baru pagi ini bisa sarapan enak. Pagi-pagi sebelumnya kemana saja. Aku sedikit kesal.

"Sarapan khusus" katanya sambil tersenyum.

"Apa semacam pesta perpisahan?" aku bertanya sedikit curiga.

"Hahahaha..." dan hanya tawa yang ku terima.

Dia menatap ku sejenak, lalu kembali berkata, "Aku baru saja mendapat uang, kau lupa kemaren gaji pertama ku" katanya sambil duduk di sisi kiri.

Aku hanya memutar bola mata. Satu potong pancake di sendok sudah masuk ke dalam mulutku. Lumayan pikirku.

"Semuanya sudah beres?" dia kembali bertanya. Aku hanya mengangguk. Entahlah, rasanya pagi ini aku enggan berbicara banyak.

"Papa sudah bangun?" kini aku yang bertanya.

"Belum.."

Aku kembali memasukkan pancake ke dalam mulut. Suap demi suap akhirnya kudapan tersebut habis juga. Kulihat koper sudah tertata rapi bersama beberapa barang lainnya. Sejenak aku mengembuskan nafas. Baiklah ini demi kebaikan semua juga kan. Jadi tidak ada yang perlu disedihi, terlebih untuk ditangisi.

"Kau sudah siap sayang?" mendengar suara yang tidak asing itu aku menoleh. Dapat kulihat senyum tulus dihadirkan untuk diri ku. Tentu aku membalas hal yang sama.

Saat ia sudah mulai duduk, tangan yang mulai keriput itu menggenggam tangan mungil milik ku. "Papa pasti merindukan mu" kalimat lirih dengan tatapan sendu membuat perasaan ku menjadi kacau.

Seketika penglihatan ku kabur, genangan air di pelupuk mata mulai muncul. Ah..., aku tak suka semua ini. Aku harus kuat.

"Sebaiknya papa bergegas mandi, atau aku akan ketinggalan pesawat" aku sedikit mengusung tawa canggung.

Papa segera berdiri dan beranjak ke kamar mandi. Punggung lebar itu mengingatkan ku pada seseorang. Aku sekali lagi menghela nafas, bulir air menetes dari sudut mata membasahi pipi. Oh Tuhan..., bisakah aku tidak selemah ini!. Aku harus kuat, demi mewujudkan misi ku.

***

"Bi Mun...., aku pergi dulu" teriak ku ketika melintasi rumah sederhana dengan cat dinding yang sudah memudar. Tangan ku melambai-lambai, tanda perpisahan.

"Hei..!, kau benar-benar nekat?, kau memang luar biasa" teriaknya. Daster dengan motif batik tradisional berwarna biru itu sedikit kedodoran. Ah, itu pasti karena ukuran daster tak sesuai dengan tubuh kerdilnya.

Setelah beberapa meter puas mengejar ku, akhirnya dia terhenti. Semakin lama tubuh kerdil itu semakin mengecil dan hilang dari pandangan. Huh..., aku juga pasti merindukan sosok itu.

Sepanjang perjalanan tak ada sedikit kata pun yang terucap. Kulihat Devin juga sibuk dengan mainannya. Dia sungguh menggemaskan, pipi chubby nan putih itu seakan-akan minta dicubit.

Kulihat papa termenung dengan arah pandangan ke luar jendela, dan hal itu juga sama dengan apa yang dilakukan oleh Amanda. Mereka berdua bagai musuh yang saling enggan untuk bertatap muka.

Aku kembali menghela nafas berat. Jika dibilang aku biasa saja, itu hanyalah omong kosong. Buktinya aku sedang tak baik-baik saja. Tidak ada kata 'baik-baik saja' dalam perpisahan. Meski bukan perpisahan selamanya. Namun tetap saja akan ada jarak setelah kata 'perpisahan'.

Setelah melewati puluhan meter jalan beraspal. Mobil yang ku tumpangi telah memasukki halaman bandara. Dapat dilihat lalu lalang manusia tak dapat terelakkan. Kesibukkan terjadi di mana-mana.

"Jam berapa penerbangan mu? aku lupa" mendengar hal tersebut aku hanya bisa mendengus. Bisa-bisanya Amanda, pikir ku.

"40 menit lagi.." kata ku sembari membuka pintu mobil. Aku berjalan ke arah belakang dan mengambil 2 koper berukuran sedang. Lalu kami berempat pergi menuju pintu masuk bandara.

Sesampainya di depan pintu masuk, aku mengalihkan pandangan. Ku tatap dua wajah di depan bergantian. Rasanya aku sudah tak tahan lagi. Ku peluk erat-erat tubuh lebar itu, kudapatkan punggung ku dielus-Elis pelan. Tanda menenangkan.

Aku beralih pada tubuh ramping di samping papa. Ku rengkuh tubuh itu dan juga ku peluk erat. Bahkan air mata sudah tak dapat ku bendung lagi. Biarlah, toh cuma sebentar. Sekarang pandangan ku teralihkan pada malaikat kecil itu, sungguh sangat mengemaskan ketika ia tertidur pulas.

Ku genggam erat jari-jari mungil dan sesekali ku kecup basah punggung tangannya. Ingin rasanya aku membangunkan Devin. Tapi..aku tak tega, meski Amanda memperbolehkan. Ya, aku tau Amanda ingin memberi ku ruang untuk terakhir kalinya. Sekedar berbicara dan tertawa untuk terakhir kalinya bersama Devin. Namun, aku tak mau melakukan itu. Aku takut langkah ku semakin berat jika melihat tingkah nya yang lucu dan menggemaskan.

Tak lama kami saling berpelukkan, dua orang pria bersama seorang wanita datang menghampiri kami. Papa dan Amanda semakin memandang ku dengan raut wajah yang tak dapat dijelaskan. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi kesedihan mereka.

Tiga orang itu sedikit berbincang-bincang kepada papa dan Amanda. Bahkan wanita yang kiranya berusia sekitar 30 an itu sesekali menepuk pelan kepala Devin. Dia terlihat seperti sesosok ibu yang menyayangi anaknya. Melihat hal itu, ada rasa yang tak dapat ku jelaskan. Hem.., mengapa aku mengingat banyak hal menyedihkan hari ini. Menyebalkan.

***

Setelah pamit kepada Papa, Amanda, dan Devin. Ah, anak itu tak tau kalo aku pergi meninggalkan nya. Semoga saja dia tak mencari ku.

Kini aku sudah berada di ruang tunggu. Duduk di kursi panjang yang terbuat dari besi. Wanita yang tadi menghampiri aku, papa, dan Amanda juga ikut duduk di samping ku.

Sambil menunggu jadwal penerbangan, otak ku terus berputar menyusun serangkaian rencana yang nantinya akan ku jalankan. Bahkan aku sudah tidak sabar menanti hal tersebut. Sesuatu yang sudah lama hilang dari diriku.

"Bagaimana..?, kau sudah siap?" lagi, kalimat 'kau sudah siap?' kembali terdengar di telinga ku. Tentu saja aku siap, bahkan sangat siap. Tapi aku hanya merespon pertanyaan itu dengan anggukan kepala yang pasti. Wanita itu hanya tersenyum kepada ku.

Jarum jam terus berputar, detik demi detik berganti menjadi menit. Hingga menit ke berapa, aku pun tak tau. Akhirnya pesawat yang ku tumpangi akan segera berangkat. Aku bersama ketiga orang itu masuk ke dalam pesawat.

Setelah duduk di kursi, aku melihat ke arah jendela. Rasanya seperti mimpi, aku belum bisa seratus persen percaya jika saat ini aku akan pergi jauh. Beberapa saat kemudian, terasa pesawat mulai beroperasi. Lagi, ku lihat pemadangan di luar melalui jendela. Ku pejamkan mata dan ku hembuskan nafas dalam.

'Selamat tinggal Jakarta'.

***

Holaaa readers, ini novel kedua author berjudul 'Green Card Marriage'. Novel pertama berjudul 'Aluna's First Love Story'.

Author butuh support ini, caranya gampang

1. Jangan Lupa sedekah Power Stone (PS) setiap hari🖤

2. Masukkan cerita ini ke koleksi kalian ya🖤

3. Beri review yang baik dan positif🖤

4. Komentar positif dan membangun🖤

5. Share cerita ini kepada orang-orang terdekat kalian🖤

Cerita ini tidak akan berkembang tanpa dukungan kalian semua....🖤🖤🖤🖤🖤

Ingat...

1. Power Stone (PS)🖤

2. Jadiin koleksi bacaan🖤

3. Review ceritanya🖤

4. komen🖤

5. share🖤

Follow ig author untuk dapat info-info terupdate

@pemujakhayalan