Dengan terpaksa Aisyah harus menerima tumpangan itu, tapi ia juga memikirkan perasaan Latifah jika melihatnya begitu dekat dengan Rafka yang statusnya adalah suami resmi dari Latifah.
"Apa mba Latifah tidak apa-apa?" Tanya Aisyah ragu.
Rafka melirik Aisyah yang seperti tidak nyaman, ia tau jika gadis itu memikirkan perasaan Latifah yang akan terluka saat melihat mereka bersama.
"Tidak apa, dia yang memintaku untuk mengantarmu." Jawab Rafka meyakinkan.
Aisyah hanya mengangguk saja, lalu ia merasa bingung harus duduk di mana. Di kursi depan rasanya terlalu dekat dengan Rafka, tapi jika di belakang nanti di kira tidak sopan. Dengan terpaksa, Aisyah harus bertanya lebih dulu pada Rafka agar tidak salah.
"Maaf mas, aku harus duduk di mana? Jika di depan posisi kita terlalu dekat, tapi jika di belakang pasti tidak akan sopan." Tanya Aisyah bingung.
Rafka menatap Aisyah dengan alis yang sedikit terangkat, lalu ia menjawabnya.
"Depan saja, karna aku bukan supir." Jawab Rafka langsung.
Aisyah hanya mengangguk sambil kembali menunduk, lalu ia melangkah menuju sisi lain mobil. Aisyah membuka pintu mobil, lalu masuk ke kursi penumpang depan.
"Bismillahi" gumam Aisyah yang sepertinya memulai doa naik mobil.
Rafka tersenyum tipis mendengar Aisyah yang selalu mengucapkan doa atau kata-kata yang islami, di jaman sekarang sangat jarang sekali manusia yang sedetail itu mengucap kata-kata baik seperti itu.
Mobil pun melaju membelah jalan, menuju ke sebuah alamat yang sudah Aisyah katakan sebelumnya pada Rafka.
30 menit kemudian, Rafka menghentikan mobilnya di sebuah rumah sederhana. Lalu Aisyah dan Rafka keluar bersama, dan melangkah menghampiri seorang pria tua yang menunggu di depan rumah.
"Assalamualaikum" ucap Aisyah dan Rafka bersamaan.
Sesaat Aisyah dan Rafka saling melirik terkejut, tapi mereka langsung mengabaikan hal itu dan bersaliman pada Umar.
"Waalaikum sallam, kamu sudah pulang nak?" Jawab Umar dengan santai.
"Iya yah, maaf Aisyah pulang sedikit telat." Balas Aisyah dengan lembut.
Umar mengangguk paham, lalu ia menatap pada pria di samping Aisyah. Aisyah yang mengerti arah tatapan dari sang ayah langsung menggeser tubuhnya, Aisyah juga memperkenalkan Rafka pada Umar.
"Ayah, kenalkan ini mas Rafka. Suaminya mba Latifah, yang menjadi majikan Aisyah saat ini." Ucap Aisyah memperkenalkan Rafka secara detail tanpa rahasia.
Rafka melirik Aisyah, biasanya gadis-gadis lain akan berbohong dan menyembunyikan siapa identitas pria yang mengantarnya. Tapi Aisyah berbeda, gadis itu malah mengenalkan dirinya dengan jujur tanpa kebohongan sedikitpun.
Umar mengangguk paham, lalu Rafka menjabat tangan Umar dengan wajah sopannya.
"Rafka om" ucap Rafka memperkenalkan diri.
"Umar, panggil saja ayah Umar. Ayah tidak biasa di panggil om, jadi panggil ayah saja ya?" Jawab Umar menjelaskan.
"Oh iya ayah Umar" balas Rafka dengan sopan.
Umar tersenyum mendengar panggilan Rafka untuknya, lalu tidak lama kemudian Rafka pamit pulang pada Umar dan Aisyah karna hari sudah berubah gelap.
"Ayah, Aisyah, saya pamit pulang dulu ya? Sudah malam, tidak enak di lihat tetangga." Pamit Rafka dengan sopan.
Aisyah dan Umar sama-sama mengangguk paham, lalu Umar memberi peringatan pada Rafka untuk berhati-hati di jalan.
"Iya ayah mengerti nak, jangan lupa hati-hati dan sholat maghribnya juga di jalan." Balas Umar pada Rafka.
Rafka mengangguk, lalu ia pun bersaliman pada Umar dan melangkah meninggalkan kediaman Aisyah.
"Assalamualaikum" salam Rafka pada Umar dan Aisyah.
"Waalaikum sallam" jawab Umar dan Aisyah bersamaan.
Mobil Rafka melaju meninggalkan kediaman Aisyah, lalu Aisyah pun mengajak Umar untuk masuk ke dalam. Mereka pun masuk ke kamar masing-masing, untuk membersihkan diri dan menjalankan ibadah solat maghrib berjamaah bersama di ruang tengah.
Aisyah sudah siap dengan mukena dan sajadahnya, lalu Umar datang dan langsung menggelar sajadahnya juga. Lalu solat pun di mulai, sampai akhirnya Umar memberi salam dan di ikuti oleh Aisyah. Setelah itu mereka berdzikir sesaat, lalu berdoa.
"Amiinn" ucap Aisyah dan Umar bersamaan mengakhiri doa mereka.
Aisyah langsung menjabat tangan sang ayah, dan menciumnya dengan lembut.
"Putri ayah sudah semakin dewasa sekarang, rasanya begitu cepat sekali waktu berlalu." Ungkap Umar dengan senyum bangganya.
"Ayah, aku memang sudah dewasa. Tapi aku akan tetap bersama ayah, selalu." Balas Aisyah dengan senyumnya.
"Tidak bisa seperti itu sayang, kamu sudah dewasa saat ini. Sudah waktunya untuk kamu menikah dan hidup bersama dengan suamimu, ayah akan bangga jika kamu mau hidup bersama ayah. Tapi ayah lebih bangga lagi jika kamu menikah, dan hidup bahagia dengan pernikahanmu itu." Jawab Umar dengan lembut.
Aisyah menunduk, inilah yang sebenarnya menjadi kebimbangannya saat ini. Dalam agama islam, usia 15 itu sudah cukup dewasa untuk membangun rumah tangga. Dan Aisyah kini berumur 20 tahun, umur yang sudah lebih dari cukup untuk menikah.
"Tapi bagaimana dengan ayah? Aku tidak ingin meninggalkan ayah sendiri di rumah, aku merasa khawatir. Hanya ayah yang aku punya, jadi aku tidak ingin meninggalkan ayah demi kebahagiaanku sendiri." Balas Aisyah sedih.
Umar tersenyum mendengar perkataan Aisyah, lalu ia membelai kepala Aisyah dengan penuh kasih dan sayang.
"Sayang, dengar kata ayah ya? Menikah itu salah satu bentuk ibadah, dan dengan menikah itu berarti kamu telah menyempurnakan agama kamu. Apalagi jika laki-laki yang menikahi kamu itu bisa memimpin kamu ke jalan yang paling baik, maka ayah tidak akan ragu untuk melepas kamu padanya." Jelas Umar meyakinkan Aisyah.
Aisyah menunduk tenang, ia juga mengerti dengan maksud ayahnya untuk menikahkan dirinya dengan segera.
"Aku mengerti yah, Insya Allah jika memang sudah ada yang datang melamar dan ayah setuju dengannya aku tidak akan menolak untuk menikah." Jawab Aisyah dengan senyumnya.
Umar tersenyum senang mendengar jawaban Aisyah, ia pun mendoakan putri satu-satunya itu agar mendapatkan jodoh yang baik dan bertanggung jawab.
"Ayah senang mendengarnya" ungkap Umar dengan senyumnya.
Aisyah ikut tersenyum dan mengangguk pelan, lalu mereka pun lanjut mengaji sambil menunggu adzan Isya berkumandang.
Suara indah nan merdu itu mengalun memenuhi ruangan tengah rumah Aisyah, keduanya terlihat begitu larut dalam ketenangan dan kenyamanan dengan ayat-ayat suci yang mereka cintai itu.
Hati mereka terasa begitu sejuk, membaca Al-Qur'an bagi mereka adalah obat terbaik dari setiap masalah yang ada dalam hidup ini. Karna itulah, Aisyah dan ayahnya selalu baik-baik saja walau ada masalah seberat apapun yang menimpa kehidupan mereka.
Tanpa terasa kini adzan Isya berkumandang di setiap penjuru kota, Aisyah dan Umar pun menutup kitab Al-Qur'annya dan menutup acara ngajinya. Lalu mereka berdiri dan memulai solat isya berjamaah, dengan Umar sebagai imam dan Aisyah sebagai ma'mum nya.