Sebagian besar ingin hidup normal sebagaimana mestinya, ingin hidup makmur dan bahagia. Memiliki hidup yang serba berkecukupan, uang, harta, dan tahta yang bisa dijanjikan adalah impian semua umat manusia. Namun apa jadinya jika seseorang yang sudah memiliki semua itu ternyata terlibat dalam konspirasi sehingga dapat membahayakan nyawanya?
Mampukah aku yang hanya seorang karyawan kedai ini menolongnya ...?
________
Disela-sela membicarakan cerita, tiba-tiba terdengar bunyi seperti langkah kaki seseorang menuju rumahku.
'SREEEK, SREEEK, SREEEK'
Aku masih belum sepenuhnya percaya pada orang ini tapi ... "Anu, bagaimana jika seseorang yang mengincarmu menghampirimu? Apa aku akan dibunuh juga."
Tiba-tiba ... 'TOK! TOK! TOK!' di malam hari, ada seseorang mengetuk pintu rumahku.
"...!" Kami berdua kaget.
Aku berbisik padanya "Jangan-jangan itu ...." Aku takut jika seorang pembunuh yang mengincar pria ini benar-benar datang ke rumahku.
"Cih! Jika dugaanmu benar, maka aku harus pergi dari sini." Ucap bisiknya pelan sambil terengah-engah menahan sakitnya.
'TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK!'
Ketukannya menjadi lebih keras, "Apa!?"
....
"Dengan tubuh yang seperti ini, aku tak bisa pergi jauh. Aku harus cari tempat sembunyi." Katanya sambil melihat-lihat ruangan di dalam rumahku.
Aku bingung mencari di mana tempat teraman baginya, aku satu-satunya orang yang bisa membuka pintu tapi, aku sangat takut membuka pintu rumahku sendiri.
'TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK!' ketukan kembali berbunyi lebih keras.
Tanpa pikir panjang, aku membopongnya ke dalam kamarku. Aku membaringkan dia di tempat tidur, kemudian kututup pintu kamar rapat-rapat.
Jika aku tidak membuka pintu rumah, pasti membuat sang pembunuh curiga. Kali ini aku benar-benar percaya perkataan pria itu, mungkin jika separuh kekuatannya saja yang disegel pasti masih bisa terdeteksi.
Aku memberanikan diri berjalan menuju koridor, tubuhku gemetaran bukan karena kedinginan tapi takut untuk membuka pintu di tengah malam.
"Siapa?" ucapku pelan sambil meraba engsel pintu.
Tiba-tiba ketukan pintu berhenti. Aku mengambil nafas dan menghembuskannya, aku menepuk-nepuk pipiku dan berkata "Ini akan baik-baik saja, ini akan baik-baik saja, ini akan baik-baik saja!" dalam hatiku sambil memasukkan kunci ke dalam lubang engsel pintu kemudian aku memegang engsel dan memutarnya searah jarum jam.
Memberanikan diri membuka pintu tengah malam di tengah lebatnya salju ....
Ternyata, seorang wanita baik yang kukenal menghampiri rumahku "Akane-san!!" Teriakku terkejut.
"Dari tadi aku ketuk tidak dibuka? Kemana saja kamu?"
"Ah maaf. Aku ...," Wajahku terlanjur pucat dan berkeringat dingin, tanganku yang belum berhenti gemetaran, kusembunyikan di belakang punggungku.
"Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan? Ada apa meneleponku tengah malam?" Ucap Akane-san dengan nada sangat khawatir.
"A-ah iya, aku baik-baik saja. Itu ...." Mana mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya. Tadinya aku panik dengan orang yang tiba-tiba saja menerobos rumahku dan pingsan lama. Tapi, dia sekarang sudah sadar meski kondisinya bisa dibilang tidak baik-baik saja.
"Tapi di wajahmu terlihat jelas ketakutan seperti orang habis melihat hantu." Terangnya sambil menepuk pundakku.
"Ehehe ..., iya tadi aku habis nonton film horor." Aku terpaksa memberikan sebuah alasan konyol kalau aku takut melihat film horor. "Ya begitulah saking takutnya melihat scene tadi aku buru-buru meneleponmu, ahahaha." Padahal aku tidak begitu takut dengan film horor.
"Hmm, syukurlah kau baik-baik saja kukira ada apa kamu meneleponku tengah malam."
"Ahahaha ...." Aku menyeringai sambil menggaruk-garuk kepala bagian belakangku.
Aku segera membungkuk meminta maaf dengan sepantasnya "Maaf, aku telah membuatmu khawatir sampai-sampai datang kemari."
"Ah tidak apa-apa kok." Aku dan Akane-san sama-sama merasa tak enak hati. Namun kali ini aku menjadi sangat sungkan padanya.
"...."
"Ya sudah, aku pulang dulu."
"Iya, hati-hati Akane-san."
Tambah Akane-san dengan membisikkan sesuatu padaku "Lain kali, carilah cowok yang bisa menemani hidupmu."
"Ah apaan sih ah Akane-san! Hehe, bisa aja deh." Padahal di dalam rumahku baru saja dihampiri seorang cowok yang bisa dibilang cukup ganteng. Mana mungkin aku mengatakannya!?
....
"Baiklah, aku pulang." Akane-san membeberkan payung dan melambaikan tangan berpisah.
Aku juga membalasnya salam perpisahannya dengan melambaikan tangan.
Kemudian, aku segera masuk rumah, kembali menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat.
"Syukurlah." Aku merasa lega yang datang ternyata Akane-san.
Rasanya aku terlalu merepotkan Akane-san selama ini.
Mungkin kata maaf dan terima kasih saja dariku tidak cukup, lain kali aku akan membalas kebaikannya.
Aku segera membereskan peralatan makan di ruang utama, mematikan penghangat ruangan dan mematikan lampu. Kini aku berjalan ke dapur membawa nampan berisikan peralatan makan yang kotor. Aku segera mencuci peralatan makan yang sudah kupakai untuk menyuguhkan pada pria asing tersebut.
Di saat aku mencuci piring, aku memikirkan kata-kata Akane-san barusan. "Mencari cowok ya?"
Aku jadi teringat ramalan nenek yang ada di toko barang antik itu, apakah dia? Orang yang benar-benar ditakdirkan untukku?
Aku memang tak sepenuhnya percaya pada ramalan, kupikir nenek itu pasti sudah pikun mengatakan hal yang tidak-tidak padaku. Tapi, kenapa baru sekarang aku merasa kata-kata nenek itu menjadi nyata!?
....
'Matsuda Fuyuki' gumamku yang tengah mencuci piring.
Tiba-tiba seseorang pria berbisik di telingaku "Ada apa?"
Aku menoleh dan terkejut, Matsuda berada di belakangku "Eh-!?" aku hampir saja menjatuhkan piring yang kucuci kemudian ia memegangnya.
"Kau sudah bisa berjalan?"
"Ya, sedikit demi sedikit." Namun, wajahnya masih menunjukkan belum sehat.
"Mau apa kemari?"
"Um, aku haus."
"O-oh." Aku segera meletakkan piring bersih ke rak dan mengambilkan segelas air dari wastafel.
"Ini." Aku menyodorkannya.
Dia menerimanya sementara tangannya masih sedikit gemetaran menahan rasa sakit karena lukanya. "Terima kasih," ucapnya parau.
Dia meneguk segelas air itu sampai habis kemudian menyodorkan kembali gelas kosong itu padaku. Aku segera meraihnya dan mencucinya.
"Anu, tadi aku mendengar kau memanggil namaku ...."
Seketika wajahku memerah karena malu "A-ah, maaf jika a-aku salah pengucapan ...." Aku langsung memalingkan pandangan darinya.
Kemudian dia menjawab "Ti-tidak kok." Seketika memalingkan pandangannya juga.
Kini suasana menjadi lebih canggung.
"...."
"Oh iya, tadi rupanya yang datang hanya kenalanku." Mana mungkin aku mengatakan kalau dia atasanku yang tadinya kutelepon karena begitu paniknya aku.
"O-oh." Jawab singkat pria itu sambil tersenyum lega.
Suasana masih terasa canggung, karena tak sengaja aku bergumam mengucapkan namanya lalu terdengar langsung olehnya.
"...."
"A-anu ...," Dia berbalik menatapku, memulai topik pembicaraan dan memandangiku dengan sangat, aku menjadi sangat malu ketika kami saling bertatapan berkali-kali.
Wajahku benar-benar memerah begitu menatap wajah pria yang ada di depanku, jantungku mulai berdegup kencang, "Apakah ini yang dinamakan cinta?" pikirku.
"A-aku ..., belum sama sekali mengetahui namamu. Jadi, jika boleh berkenalan, bi-bisakah kau memberitahukan namamu?" dia mengatakan dengan suara paraunya yang sangat canggung.
"Ya, tentu saja boleh." Ucapku sambil tersenyum tipis.
....
"Na-namaku ..., Kana Ayami." Untuk pertama kalinya aku berkenalan dengan cowok dengan jarak sedekat ini. Jauh sebelum itu, aku telah menaruh bibir suciku ini pada bibirnya, entah dia sudah menyadarinya atau tidak kalau hal itu bisa juga diartikan sebagai sebuah "ciuman."
Mungkin aku, tanpa sadar sudah jatuh hati padanya.
________
Begitulah awal pertemuanku dengan orang yang ditakdirkan ini.
****