"Maaf, maaf. Keluar sana! Telinga saya sakit dengerin kamu ngoceh mulu kayak Burung Beo."
Hih, dasar Tuan Louis iki kurang ajar tenan yo. Mosok iyo Inem sing ayu tenan ngene iki di padakno karo Burung Beo. Kesal Inem sembari mengerucutkan bibirnya hingga maju beberapa senti ke depan.
"Kenapa masih diam saja disitu, hah?PERGI!"
"Yo, maunya Inem yo gitu, Tuan Louis. Tapi kan Non Amira berpesan suruh Inem jagaian sampean."
Louis langsung memutar bola matanya. "Really, Amira yang minta kamu buat jagain saya?" Tanya Louis dengan rasa tak percaya.
"Ho'oh." Jawab Inem sembari mengangguk - anggukkan kepalanya.
Tuh kan apa aku bilang. Amira tu cinta sama aku tapi dia gengsi untuk mengakuinya. Amira ... Amira ... batin Louis sembari senyum - senyum sendiri. Sementara Inem masih saja menatapnya dengan tatapan menelisik. Tak suka terus menerus ditatap oleh Inem, Louis pun menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.
Kini, angan Louis melambung tinggi bersamaan dengan itu terus menerus membayangkan wajah cantik Amira. "Oh, Amira sayang. Tinggal bilang aku cinta sama kamu Louis, apa susahnya sih. Sok - sok ga peduli tapi perhatian sekali sampai - sampai meminta Inem untuk jagain aku. Apa sebegitu khawatirnya kamu sama calon suami-mu ini, huh?" Lirih Louis hingga Inem pun tak bisa mendengar apa yang baru saja Louis katakan.
Bosan hanya diam menunggu dan diacuhakn oleh Louis. Jemari Inem terulur maraih selimut yang menutupi tubuh Louis hingga melorot ke bawah. Tal ayal akibat sikap lancangnya ini pun langsung di hadiahi dengan bentakan dan juga tatapan nyalang.
"Shittt, apa sih, Nem?" Bentak Louis berpadukan dengan sorot mata nyalang.
"Tuan Louis, mbok yo jangan di tutup gitu to wajahnya. Inem takut lo. Nek di tutup gitu kan koyok mayat."
"Halah, kamu ini alasan saja. Takut kok sama setan. Takut itu ya sama Allah SWT."
"Halah, koyok sampean ini ndak takut saja."
Aku ini memang ga takut sama setan, Nem. Tapi, takut sama Amira. Huh, kamu belum tahu aja kalau dia lagi marah. Garang persis kayak Macan Betina. Batin Louis.
"Sampean iki mikir opo to? Kok ketok mikir gitu. Fokus sama kesehatane sampean aja Tuan, ojok mikir sing aneh - aneh. Btw, suwun loh ya wes belain, Inem."
"Saya tidak membela kamu tapi, yang saya bela kaum yang tertindas, paham?!"
Iyo, iyo ora usah diperjelas ngono gek ngopo to. Inem, ngerti kok nek Inem iki pembantu. Batin Inem sedih.
Seketika Louis tersentuh disuguhi wajah Inem yang menyirat kesedihan. Satu hal yang Louis pikirkan apa dia sudah salah bicara sampai perkataannya menyinggung perasaan orang lain?
Ya, memang selembut itulah perasaan seorang Louis Leigh Osbert. Terlihat genit dan pecicilan namun, hatinya sangat lembut, mudah tersentuh, tulus, dan pastinya juga baik.
Louis ini tipikal seorang lelaki penyayang, dan sangat cocok jika disandingkan dengan Amira yang terkenal dingin, cuek, judes, dan juga memiliki emosi yang tidak terkontrol. Namun, sisi terdalam mereka berdua adalah sama yaitu sama - sama penyayang dan berhati tulus.
Entah sudah berapa lama kembali tenggelam ke dalam lamunan tentang Amira yang jelas suara Inem telah membawa kesadarannya kembali. "Apalagi, Inem?" Penuh penekanan pada setiap kata berpadukan dengan tatapan jengah.
"Barusan Non Amira telepon, minta Inem buat ke kamarnya, Non."
"Ngapain?"
"Yo mana Inem tahu, Tuan Louis. Kan Inem ae belum ke sana to."
"Ya sudah buruan kamu ke sana. Jangan sampai calon istri saya marah."
"Iyo, iyo Tuan. Tenang wae pokok'e. Serahkan semua urusan sama, Inem. Tuan Louis tinggal terima beres. Inem, tinggal yo." Yang dijawab dengan lirikan tajam.
Sekarang ini tinggal Louis sendirian di dalam kamarnya. Tidak mau jika si tukang heboh kembali memasuki kamarnya dan membuat kepalanya bertambah pening, dia pun bergegas menguncinya.
Akibat kondisinya yang masih sangat lemah jalannya pun terhuyung. Beruntung posisi pintu dengan ranjang tidak terpaut jauh sehingga langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang.
Rasa pusing pun kembali mendera. Tidak mau jika sakitnya bertambah parah. Louis pun memutuskan untuk segera tidur. Namun, pikirannya masih saja terjaga.
Entah kenapa Louis tidak bisa memejam. Pikirannya masih saja melayang jauh memikirkan Amira. Satu kenyataan yang baru saja menghantam kesadarannya telah melambungkan angan Louis hingga yang dia inginkan sekarang ini adalah bertemu dengan Amira nya. Meskipun dia sadar bahwa hal yang di inginkannya ini sangatlah mustahil namun, Louis tetap beranjak dari ranjang.
Saat ini dia tengah berdiri di depan jendela dengan menyandar pada dinding sebagai penopang tubuhnya. Minimal bisa melihat wajah Amira dari kejauhan itu saja sudah cukup untuk mengobati kegundahan di hatinya ini. Namun, keinginan Louis ini pun harus terpatahkan. Jendela Amira menutup rapat begitu pun dengan tirainya.
Satu hal yang Louis pikirkan pasti Amira nya sudah tertidur pulas. Meskipun berselimut rasa kecewa. Bibirnya masih saja mengulas senyum berpadukan dengan ucapan selamat malam yang diperuntukkan khusus untuk calon istri pura - puranya itu.
Padahal tanpa Louis tahu Amira pun masih terjaga. Entah kenapa malam ini Amira juga tidak bisa tidur. Dia masih saja terngiang - ngiang dengan perkataan Louis. Satu hal yang kini bersemayam di dalam benaknya, apa iya bahwa sikap dan penilaiannya pada seorang lelaki selama ini salah besar?
Selama ini Amira membangun benteng tinggi - tinggi pada setiap lelaki yang berusaha mendekatinya. Tapi, perkataan Louis membuat Amira berfikir ulang.
"Apa memang sudah seharusnya aku membuka hatiku ini untuk lelaki yang mencintai ku? Tapi, siapa lelaki itu? Tidak ada satu pun lelaki yang mencintai ku dengan tulus. Semua lelaki yang mampir di hidup ku hanya mengincar warisan Tanzel. Semua lelaki yang mendekatiku hanya ingin memanjakan hidupnya dengan kemewahan." Ucap Amira entah pada siapa karena nyatanya dia pun sedang sendirian di dalam kamarnya.
Seketika Dewi di dalam hatinya pun memperingatkan bahwa lelaki itu ada yaitu calon suami pura - puranya, Louis Leigh Osbert.
"Ih, kok tiba - tiba dia sih. NAJIS! Ogah banget menjalin hubungan dengan pria ga jelas, genit, suka tebar pesona, dan ... uh, menyebalkan!"
Tidak mau lagi memikirkan perkataan Louis, Amira pun langsung membaringkan tubuhnya ke atas ranjang sembari mendengarkan lantunan sholawat dari suara merdu pencipta lagu sekaligus penyanyi lagu - lagu religi yaitu Aunur Rofiq Lil Firdaus.
Larut ke dalam bait demi bait, Amira pun ikut melantunkannya hingga waktu sholat malam tiba. Tidak ingin menyia - nyiakan kesempatan dia pun bergegas mengambil air wudu lalu bercengkerama dengan kekasih tercinta.
๐๐๐
Next chapter ...