Duk … Duk… suara pukulan pelan terdengar pada pengeras suara setiap kali bulatan ujung pada mic dipukul saat dicoba kepekaan suaranya. Aku berdiri diam dibalik jendela kamarku menatap Mikael dan Michael, saudara tiriku yang seumuran denganku sejak ayahku menikah dengan ibu mereka ketika aku duduk di kelas lima SD, mulai menyalakan musik untuk menghidupkan suasana untuk pesta tahun baru yang mereka adakan di taman belakang rumah. Aku membuang napas melihat aksi mereka setiap orang tua kami pergi bulan madu untuk kesekian kalinya jika ada kesempatan.
Hari ini aku harus menyiapkan penyumbat telinga untuk tidur.
Aku mengangkat kepala, menatap langit yang begitu cerah hingga aku bisa melihat bulan purnama bersinar begitu terang seakan mendukung pergantian tahun.
"GEGANA!!" Suara Mikael terdengar membuatku kembali menatap mereka di taman. "Ayo kesini, makan jagung bakar dan nyalakan kembang api bersama," ajaknya sambil menggerakan tangan member tanda agar aku turun dan gabung dengan mereka.
Aku menggelengkan kepala, melambaikan tangan kananku untuk menolak ajakannya. Lalu, tangan kananku bergerak menggosokpelan mataku dan berpindah ke pundak dengan kepalaku yang aku miringkan agar terlihat menindihi punggung tanganku dengan artian.
'Tidak. Aku mengantuk. Aku mau tidur.'
"Payah!" balasnya lalu beralih pada anak lain yang sudah datang dan berbincang dengannya.
Aku menutup tirai kamarku lalu mematikan lampu kamar dan menyisakan lampu meja yang aku nyalakan redup. Kuambil penyumbat telinga untuk bersiap tidur. Aku tidak suka pesta, terutama pesta tahun baru.
Pesta tahun baru mengingatkan aku akan kejadian yang tidak mengenakkan. Akhir tahun adalah hari dimana ibuku meninggal saat aku berumur sembilan tahun. Hari dimana ibuku mengalami kecelakaan saat pulang ke rumah dengan tergesa-gesa setelah membeli kembang api karena aku ingin menyalakannya di akhir tahun, berdua dengan ibu saat ayah sedang pergi bertugas ke luar kota. Sehingga aku selalu mengindari tahun baru.
"Lebih baik aku tidur," gumamku sebelum memasang penyumbat telinga dan memejamkan mataku di atas ranjang.
Mataku terpejam, kepalaku mulai berpikir kegiatan apa yang akan aku lakukan besok pagi, sebuah rutinitas yang selalu membawaku kea lam tidur. Aku akan lari pagi sekitar komplek pagi buta sebelum membantu mereka membereskan sisa pesta. Pasti banyak sampah seperti tahun-tahun lalu. Tanggal merah yang menyibukkan.
Aku terlelap.
"SEPULUH!"
Suasana gelap.
"SEMBILAN!"
Sunyi.
"DELAPAN!"
Tunggu kenapa aku mendengar mereka berhitung mundur? Aku sudah memakai penyumbat telinga.
"TUJUH!"
Aku membuka matapku dan…
Wush… angin kencang masuk melalu jendela kamarku yang terbuka lebar, menerbangkan semua tumpukan kertas dan menjatuhkan beberapa buku dongeng dan mitologi yang aku pinjam dari perpustakaan. Mataku terpejam seketika saat angin itu ikut menerpa wajahku.
'Bukannya aku sudah menutup jendela dan tirai kamar?'
"ENAM!"
Suara hitungan mereka terdengar yang entah mengapa penyumbat telingaku sudah terlepas. Angin kencang berhenti begitu saja. Cahaya bulan purnama masuk ke dalam kamar. Cahayanya yang berwarna biru kini menyoroti sepasang sepatu fantovel kaca yang tiba-tiba muncul di atas buku tua yang aku beli di toko loak dengan sampul kulitnya yang menayala memantulkan cahaya biru. Aku menengok ke sumber cahaya yang berasal dari bulan purnama yang kini berwarna biru.
"LIMA!"
Aku turun dari ranjang dan berdiri. Kakiku melangkah mendekat ke arah meja dan menyentuh sepasang sepatu itu dan memastikan aku bisa menyentuhnya.
"EMPAT!"
Kuambil salah satu sepatu tersebut dan memerpehatikannya dengan seksama, hingga suara sesuatu yang jatuh ke dalam air terdengar. Salah satu sepatu di atas buku mengilang dan kertas pada buku itu terbuka setiap lembarannya.
"TIGA!"
Angin kencang tiba-tiba muncul dari dalam buku. Berputar-putar kecil yang makin lama semakin besar membuatku mundur menjauh namun terlambat. Sesuatu menarikku ke dalam lingkaran angin tersebut.
"Dua!"
Tubuhku tertarik dalam pusaran angin aku mencoba meraih sesuatu untuk menahan diriku sendiri tapi terlambat. Kedua kakiku terangkat dari lantai, tubuhku melayang mengikuti pusaran angin tersebut.
"SATU!"
Pusaran angin menarikku ke dalam. Aku memejamkan mataku erat, tidak tahan dengan kencangnya angin disekitarku.
"HAPPY NEW YEARS!"
"GEGANA!"
Teriakan tahun baru dan suara perempuan memanggilku adalah suara terakhir yang aku ingat.