Cassandra Pov.
"Apa ini? Memegang Revolver saja aku sudah gugup." Ujarku saat melihat Senjata api berpeluru Karet.
"Tadi saja kau bisa bukan? Gunakan ini untuk pengamanan." Ucap Yohan sambil memasangkan Helm pelindung dikepalaku.
"Tetap Fokus Cassa, remember what i said to you." Lanjutnya sambil mengarahkan pandanganku.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Gugupku ditimbulkan 30 persen karena baru pertama kali memegang pistol seperti ini. Dan 70 persen karena pelatih bak pangeran yang berada disampingku.
"Ada apa?" Tanyanya dengan wajah yang menatapku tepat disamping wajahku.
"Ah, tidak ada, a-aku hanya haus." Jawabku sedikit kaku.
"Ini." Sebotol air dia berikan padaku, apakah dia tidak mengerti yang namanya perasaan? Wajahnya begitu datar dan dingin setiap melakukan sesuatu.
"Terimakasih Pak." Ucapku sambil tersenyum.
"Istirahat saja dulu. Aku juga lelah." Ujarnya beralih duduk disampingku.
Pria tinggi tegap desebelahku ini memiliki kulit putih namun dengan Aksen sawo matang. Bisa kutebak dia memiliki darah campuran, matanya yang berwarna biru toska dan sedikit bercampur coklat dibawahnya membuatku yakin, dia berasal dari Negeri tempat ku lahir. Yaitu inggris.
Berbeda dengan warna kulitku yang dominan Kuning langsat terang, mata berwarna coklat legit, khas orang Indonesia.
"Cassa!" Seru Bagas, pria nyaris sempurna yang mimiliki darah keturunan Afrika, Rusia dan Indonesia.
'Bughh'
Sudah kubilang 'Nyaris sempurna'. Sekarang Bagas sedang terlentang ditengah lapangan, dan menjadi bahan tertawaan orang orang. Dengan kesal dia bangun dan lanjut berjalan kearahku.
"Pasti pinggangmu sakit, ya?" Tanyaku sambil menunjukkan raut wajah ngilu.
"Tidak, hanya saja.." Jawabnya menggantung ucapannya.
"Hanya malu saja." Sambung Yohan membenarkan.
"Hahahahahah.."
Dilanjut dengan tawa kami bertiga, yang sedikit menyita perhatian orang orang. "Ada apa kau memanggilku?" Ujarku saat tawa kami sedikit mereda.
"Ah, aku hampir lupa. Daniel menyuruhmu untuk berlatih menggunakan senjata api tipe CF-05." Ucapannya berhasil membuatku dan Yohan terkejut.
Secara bersamaan kami menyebutkan kata. "Apa?!" Ucap kami sedikit keras.
"Se-senjata Api tipe CF-05." Dengan wajah yang juga terkejut, Bagas menjawabnya dengan sedikit kaku.
"Aku tahu itu, aku mendengarnya." Balasku kesal.
"Daniel tidak boleh sembarangan seperti ini, bagaimanapun Cassa itu perempuan, kekuatan wanita tidak sebesar kekuatan pria." Wajah dingin mendominasi ekspresi Yohan ketika bicara.
CF-05, adalah senjata Api buatan China, yang memang dirancang khusus untuk keamanan negeri itu sendiri. Yang aku tahu, Senjata Api ini termasuk yang mematikan, dan sudah pasti berbahaya.
Menggunakan Revolver yang masih dalam kata standart saja aku sudah gugup luar biasa. Apalagi ini? Senjata yang digunakan oleh polisi China, rasanya aku menyerah.
"Kau bicara saja padanya, aku hanya menerima perintah. Yasudah, aku harus lanjut latihan, byee!" Ucap bagas dan pergi meninggalkan kami berdua dalam hening ditengah keramaian.
"Bagaimana ini?" Lirihku pelan sambil melirik kearah Yohan.
"Tenang saja Cassa, selagi ada aku akan baik baik saja." Ucap Yohan lalu bangun dari duduknya. Merogoh saku jaket khususnya dan memperlihatkan Senjata Api yang tadi kami bicarakan. CF-05.
Aku berdiri disamping Yohan, dengan tatapan fokua kearah papan target. "Ayo." Ujar Yohan.
Dia berdiri tegap disampingku, sebelah tangannya sudah siap untuk melepaskan satu peluru dari Senjata Api itu. Aku yang masih menggunakan kedua tanganku hanya diam dan membekku ditempat saat melihat Peluru yang menancap tepat dititik merah.
"Sekarang giliranmu, Cassa." Ucapnya menyerahkan Senjata itu, dan berjalan kearahku, membantuku memegang kendali Senjatanya.
*****
Waktu menunjukkan pukul 16.44, kami semua sedang beristirahat karena pelatihan panjang yang kami lakukan tadi. "Ini baru awal Cassa." Batinku.
Aku menaruh tubuhku pada tembok yang ada dibelakangku, menyelonjorkan kakiku dan sedikit menutup mata menggunakan kain Pasminaku. Satu botol minuman disodorkan oleh Rafael, dengan senyum ramahnya yang selalu ia tampilkan.
"Thanks El." Ucapku yang hanya dibalas anggukan olehnya.
"Nanti pulang bareng gue, ya." Kalimat retoris itu terlontar dari seorang Rafael.
"Gue bisa balik sendiri El." Balasku yang masih mencoba untuk menjawab.
"Cewe gaboleh malem malem balik sendiri. Rame rame kok, kebetulan kita berenam searah." Ucapnya tetap memaksaku.
"Gue kan dijakpus El." Ujarku yang kini beralih menatap laki laki berkulit Sawo matang terang ini.
"Gak boleh nolak, kami berlima kan ngekost, lo lupa?" Ucapnya yang akhirnya kubalas dengan hembusan nafas.
Datang secara tiba tiba, Davial memberiku sekotak tissue dengan senyuman khas miliknya. Kulit putih khas orang korea membuatnya seperti seorang idol yang sering bermunculan dilayar ponselku.
"Keringatmu masih bercucuran Cassa." Ucapnya sambil menaruh Tissue dikakiku.
"Terimakasih Kak Davial." Ucapku dengan senyum diwajahku.
"Rafael, apa kau bisa tinggalkan kami sebentar?" Titah Davial yang membuat Aku dan Rafael saling memandang dengan wajah kebingungan.
Rafael akhirnya mengangguk, dengan ragu dia bangun dan menatapku, memberi tanda apakah dia benar benar harus pergi atau tidak. Aku mengatakan 'iya' tanpa suara, agar Rafael pergi tanpa khawatir.
'Haemm' Suara yang bercampur hembusan nafas keluar dari mulut Davial, yang kini sudah mendudukkan dirinya disampingku. "Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan." Ucapnya dengan gerak kepala yang menoleh kearahku.
"Katakan saja, tuan Lee ha viel." Balasku dengan menyebutkan nama koreanya.
Ekspresi terkejutnya terlalu mendominasi wajahnya sekarang. Aku hanya tersenyum ketika sadar apa alasan dibalik ekspresinya. Karena aku berhasil mengetahui nama versi koreanya.
"Sepertinya karena sudah terlalu lama mengelana dunia, kau lupa nama panggilan rumahmu, kak." Ucapku seraya melihat kearahnya.
"Kau ini memang seorang stalker Cassa." Balasnya. "Oh ya, daripada aku membuang waktu lagi, lebih baik langsung saja aku tanyakan padamu. Bagaimana kabar Paman Ardan?" Ucapnya membuatku sedikit tetsentak.
"Ka-kau mengenal Ayah?" Tanyaku sembari menautkan kedua alisku.
"Tepat 7 tahun lalu, adalah pertemuan terakhirku dengan Ayahmu." Ucapnya dengan tatapan sendu. "Aku tidak tahu kabar guru setelah perpisahan itu. Dan sekarang aku bertemu dengan putrinya, yang sangat dia sayangi dulu." Lanjutnya masih menerawang ke masa lalu.
"Dan tujuh tahun itu pula yang mengubah hidupku." Batinku.
"Dunia memang sesempit itu, tapi tidak tidak sekecil daun kelor." Ucapku dengan senyum terpaksa.
"Owh ya, aku juga turut berduka cita karena..." Davial menggantung ucapannya seraya menatap sendu kearahku.
"Ibuku meninggal tepat tujuh tahun yang lalu." Ucapku melanjutkan perkataan Davial.
Dia hanya menunjukkan sebelah senyumnya, dengan tatapan sedih yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ada apa dengan tujuh tahun lalu? mungkin untuk sekarang bukanlah waktu yang tepat menceritakan tragedi yang kulalui saat umurku genap sepuluh tahun.
"Itu masalalu kak Vial. Sekarang, masa depan kita didepan sana, banyak mimpi yang harus kita wujudkan, tanpa bayang bayang masa lalu lagi." Sambil menarik nafasku, aku tersenyum tulus padanya. Membuktikan pada pria yang awalnya kukira berumur 25 tahun ini, bahwa kehidupan seseorang bisa saja berubah, dan sangat berbanding terbalik dengan masalalunya.
Karena aku percaya, rencana tuhan lebih baik dan indah, dibanding rencana rencana yang masih menjadi wacana.