Chapter 4 - Kaisar (4)

Mengangguk, Nandi memutuskan untuk mengetahui isi amplopnya. Dia mengambil secarik kertas, bulu angsa untuk menulis, serta tinta cair untuk berjaga-jaga kalau isinya sangat penting dan perlu Nandi salin. Setelah semua persiapannya selesai, Nandi mengambil amplopnya, melepaskan segel lilin di amplopnya, dan mengeluarkan isinya.

Isinya adalah sebundel dokumen. Nandi menjilat jari tangannya dan mulai membuka bundelan halaman itu, dan kebingungan ketika melihat ... jadwal. Jam 7 pagi, sarapan, jam 12, makan siang, dan jam 15, pulang kantor. Yang menarik adalah, ini jadwal dari wali kota.

Halaman-halaman selanjutnya mulai merinci tentang kebiasan, pola, dan jalan yang sering pak wali Kota, tuan Karshendi, lewati.

Di tengah bundelan halaman mulai menjelaskan makanan favoritnya, makanan yang dia makan selama seminggu terakhir, beserta makanan yang dia benci. Potensi makanan yang akan dia sukai, dan hal lainnya.

Nandri mulai membaca tiap halamannya, matanya bergerak dari kiri ke kanan dengan cepat, berusaha melahap informasi ini secepat mungkin, dan sampai ke halaman terakhir. Isinya pendek, cuman satu kalimat, tiga kata.

"Ini tes terakhirmu."

Tes apa yang dimaksud? Pikir Nandi. Nandi menjilat bibirnya, otaknya berputar dengan cepat, dan sebuah kesimpulan tercipta. Kesimpulan yang mengerikan.

"Mungkinkah ini seperti yang kupikirkan?"

Jantungnya mulai berdegup kencang, namun tangannya bergerak. Dengan cekatan Nandi memasukkan kembali bundelan kertas ini ke dalam amplop dan menyegel amplopnya kembali, menggunakan korek kecil untuk mencarikan lilinnya dan menempelkannya lagi. Setelah selesai, dia menaruh amplopnya di tengah meja dan mulai mengetuk-ngetukan jari telunjuknya.

Nandri ada niat untuk membuang amplop ini, pergi dari sini secepatanya, dan bersembunyi beberapa hari. Amplop ini berbahaya soalnya, namun dia tidak mau pulang sebelum mendapatkan buku Kaisar. Nandri menggigit bibirnya, menimbang-nimbang pilihannya, dan berpikir kalau kemungkinan terburuk ini bisa saja salah, bisa saja Nandri salah, bisa saja kalau jadwal ini cuman jadwal harian pak wali kota, tidak ada artinya, jadi Nandi memutuskan untuk menunggu, walaupun dia tahu kalau itu bohong.

Suara langkah kaki terdengar, dan secepat kilat Nandi mengarahkan pandangannya ke pintu masuk. Tangannya mengepal, konsentrasinya memuncak, dan dia bersiap memunculkan ring di 9 jarinya.

Dinalan masuk ke perpustakaan sambil membawa tumpukan buku di depan dadanya, menahannya dengan kedua tangannya. Nandi melemaskan badannya dan mengeluarkan napas yang dia tahan. Alarm palsu. Nandi pikir orang berjubah itu akan kembali. Nandi memerhatikan tiap langkah Dinalan, dan Dinalan menjatuhkan semua buku itu ke atas meja, lalu duduk berseberangan dengan Nandi.

Nandi berusaha menenangkan dirinya, matanya melirik ke amplop yang berada di bawah tumpukan buku Dinalan, amplop yang baru saja dia segel, lalu tersenyum ke Dinalan. "Banyak sekali, yang kubuthkan cuman satu saja."

Nandi melirik ke tumpukan buku ini, ada 7 buku, dan di tengah-tengah Nandi melihat sebuah buku yang kertasnya menguning. Satu-satunya buku yang tua, Nandi tersenyum dari lubuk hatinya, itu Kaisar.

"Ada satu dan dua hal yang terjadi, jadi aku harus meminjam semua buku ini agar bisa kembali ke sini."

"Satu atau dua hal yang mereptokan?" ucap Nandi. Dinalan pasti membuat alasan agar dia bisa meminjam buku Kaisar, dan alasan itu memaksanya membawa buku lain.

Dinalan mendengus, dan menyinglangkan kedua tangannya. "Ini bukumu." Dia menarik buku Kaisar dari tengah tumpukan buku itu, menyodorkannya ke Nandi, "tutup mulutmu."

Nandi tersenyum dan mengangguk, "aku bakalan tutup mulut kok."

Nandi berusaha melupakan amplop cokelat itu dan meraih buku Kaisar. "Apa buku ini bisa kubawa pulang?"

"Gak kuperbolehkan," ucap Dinalan.

"Kenapa?"

"Aku jadi repot, lagian, aku cuman bakalan datang ke perpustakaan ini hari ini doang, gak bakal datang lagi di kesempatan lain."

Yang artinya Nandi dan Dinalan tidak akan bertemu lagi. "Oke kalau begitu."

Nandi melirik keluar jendela, langitnya oranye, namun butuh beberapa jam lagi sebelum matahari benar-benar tenggalam dan perpustakaan ini tutup. Jadi Nandi harus menyalin buku ini dengan cepat. Beruntungnya buku ini tidak terlalu tebal.

"Hey, Dinalan," ucap Nandi, "apa kamu Perajut Bayangan?"

Dinalan diam, Nandi mengasumsikan kalau dia benar.

"Aku Penari Benang," ucap Nandi.

Dinalan mendengus, "cocok denganmu berarti, Penari Benang gak butuh banyak ring."

"Semua orang menganggak Penari Benang itu lemah," ucap Nandi, "dan aku akui itu, mereka benar. Benang gak bisa dipakai untuk menyerang dan bertahan, tentu, benang yang dibuat dari Fana itu kuat, tapi gak sekuat itu, benangku juga bisa tajam, tapi gak bakalan bisa setajam silet."

Penari Benang, menurut masyarakat, adalah keberadaan yang tidak dibutuhkan. Perajut Bayangan yang terkuat, mereka bisa mengendalikan bayangan dan membuat sesuatu dari bayangan mereka, Pendorong Angin, yang Nandi pikir lebih tepat disebut Pendorong Gravitasi, bisa digunakan untuk menyerang dan bertahan dengan cara kreatif. Penari Benang cuman bisa membuat benang DAN tidak bisa menggunakan sintesis.

"Apa yang ingin kamu katakan?" ucap Dinalan.

"Karena ini kali terakhir kita bertemu, aku ingin minta maaf padamu. Maaf karena merepotkanmu," Nandi tersenyum, "dan aku berterima kasih padamu. Sebagai gantinya, aku akan memberimu sebuah hiburan."

Nandi mengambil 3 boneka kecil dari tasnya, masing-masing boneka ini menggenggam sebuah pulpen bulu dengan kedua tangannya.

Nandi menyiapkan ring di tangannya, dan dengan dorongan kecil mengeluarkan benang dari kelima jarinya. Benang itu menempel pada 3 boneka di atas meja, dan dengan tarikan kecil, mereka bertiga berdiri, masing-masing berdiri tegap dengan sehelai bulu angsa di tangannya.

Dua boneka menyalin buku Kaisar, sedangkan yang satu mulai menari, meloncat-loncat dan bertindak sesuai dengan gerakan jari tangan Nandi.

"Ini ... tarian boneka yang terkenal itu kan?" tanya Dinalan, matanya berkilau.

Nandi tersenyum, boneka ini peninggalan dari ayah dan ibunya, "tarian ini original, dan kamu, Dinalan, adalah orang pertama yang melihat tarian ini."

Nandi menggerakkan 3 boneka itu, membagi pikirannya untuk menyalin buku Kaisar dan untuk membuat bonekanya menari. Ini hal yang sulit, tentu, namun ini membuat pikiran Nandi fokus, membuat Nandi melupakan amplop cokelat di bawah tumpukan buku itu.

Di dalam hatinya, Nandi curiga kalau ini bukan kali terakhir dia akan bertemu dengan Dinalan.

Nandi sudah berada di tengah pusaran konspirasi, kemungkinan besar melibatkan Akademi Tarian Matahari, pak wali kota, dan anaknya yang sudah meninggal.

Ketika tariannya selesai, Nandi juga selesai menyalin buku Kaisar.

Dia berpamitan dengan Dinalan, dan mengatakan kalau yang dia tunggu adalah amplop cokelat itu, dan pergi tanpa menoleh ketika Dinalan memanggilnya.

Amplop cokelat itu masalah, dan Nandi pikir, dia tidak akan berurusan dengan semua hal ini. Dia sibuk soalnya, dia harus menganalisa buku Kaisar ini, dan mencari kota Shiromaru.

Nandi menggigit bibirnya, dia memutuskan mengabaikan rencana pembunuhan ini.