Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Spring Snow

🇮🇩Chrysantium99
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.2k
Views
Synopsis
Natsuki Asami, gadis SMU penyuka baseball. Suatu hari ia tiba-tiba memutuskan untuk berhenti dan menutup diri dari olahraga yang selama ini menjadi dunianya. Orang-orang terdekatnya berusaha untuk membuatnya kembali bermain, namun gadis itu telah membulatkan tekadnya. Ia tak akan bermain lagi. Tak akan pernah. Namun kehadiran orang itu, Yozora Hoshi, sedikit demi sedikit membuka hatinya untuk kembali ke dunianya. "Aku tak bisa, rasa bersalah ini begitu menyiksaku." "Lupakan rasa bersalahmu dan kembalilah bermain baseball!"

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Bagian Satu

Sejak kapan aku mulai menyukaimu? Ah…, kurasa sejak hari itu, kau mulai memenuhi memoriku. Aku sendiri tak tahu apa sebenarnya yang kulihat dari dirimu. Perasaan ini tiba – tiba saja hadir. Beritahu aku apa yang harus kulakukan, karena aku lelah memendam perasaan ini. Mungkin jika aku mencoba membencimu perasaan ini akan sirna. Namun ternyata semuanya sia-sia aku semakin terjebak dalam perasaanku sendiri. Semakin aku ingin membencimu, rasa suka terhadapmu semakin tumbuh dengan kuat di dalam hatiku.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Namaku Natsuki Asami, dan ini adalah tahun pertamaku di masa SMA. Tak banyak yang berubah dengan kehidupanku selama di SMA semuanya sama saja seperti sebelumnya. Hanya saja ada satu hal, perasaan bodoh ini. Aku tak tahu sejak kapan aku merasakannya, namun yang jelas kehadirannya membuat hari – hariku terasa sedikit berbeda. Yozora Hoshi, pemuda itu satu–satunya orang yang membuatku merasa seperti orang lain. Ia selalu membuatku terasa berbeda ketika berada di dekatnya.

Wajahnya yang tersenyum, wajahnya yang marah entah kenapa aku ingin selalu melihatnya. Tapi aku tahu, kami sangat bertolak belakang. Pemuda itu memiliki banyak orang di sampingnya (sahabat) sementara aku adalah orang yang paling dijauhi di sekolah. Orang bilang aku hanya mementingkan diriku sendiri, mungkin itu sebabnya mereka menjauhiku. Tapi aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu.

Satu-satunya orang yang dekat denganku sampai sekarang adalah Hana, temanku sejak SMP. "Selamat pagi, Natsuki-chan!" sapa Hana dengan ramah dari belakangku. Aku menoleh kearahnya.

"Pagi," balasku.

Gadis itu tersenyum seraya berjalan menuju loker sepatunya. Selesai mengganti sepatu, kami berjalan menaiki tangga menuju kelas. Sepanjang koridor Hana mengajakku bercanda. Namun aku hanya memasang wajah datar sambil sesekali berkata ooh…, menanggapinya.

Sampai di depan pintu kelas kami berpisah, Hana berjalan menuju kelasnya yang berada di samping kelasku. Gadis itu melambaikan tangan kearahku sambil tersenyum. Aku membalas lambaian tangannya seraya mencoba untuk tersenyum. Karena pandanganku masih terfokus dengan Hana aku tak menyadari seseorang berada di depanku. Tampaknya orang itu juga tak menyadari kehadiranku karena pandangannya dihalangi oleh banyaknya tumpukan buku yang dibawanya.

Tiba – tiba, brukk! Badan kami bertabrakan. Tak ayal buku-buku yang dibawa pemuda itu jatuh berserakan dan menimpaku. Aku mengaduh pelan. "Natsuki-chan!" pekik Hana kaget. Ia urung memasuki kelasnya dan berlari menghampiriku, "Kau tak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir. Aku menggeleng mengusir rasa pusing di kepalaku.

"Gomene, kau tidak terluka kan?"

Kuangkat wajahku menatap wajah pemuda itu, di matanya tampak rasa maaf karena telah menabrakku. Aku kembali menggeleng seraya mencoba berdiri. "Kau tak terluka kan?" ulangnya.

"Aku baik–baik saja," balasku.

"Syukurlah, maaf gara-gara aku," lanjutnya.

"Tak perlu meminta maaf, lagipula itu bukan salahmu sepenuhnya. Aku juga tak memperhatikan jalan," ucapku.

Pemuda itu tampaknya akan mengatakan sesuatu kembali, namun keburu dipanggil oleh seseorang. Mungkin itu temannya kurasa. "Hoshi!"

"Ya, aku akan segera ke sana!" balas pemuda bernama Hoshi itu.

Ia menyusun buku-buku yang tadi ikut terjatuh dan segera berlari menyusul temannya. "Ja, sampai nanti," ujarnya seraya berjalan menjauh.

Aku baru saja hendak memasuki ruang kelas, sebelum tangan Hana menarikku. Aku menoleh, "Ada apa?"

"Ayo ke UKS, lututmu tergores," ujarnya sambil menunjuk lututku.

Mataku mengikuti arah telunjuk Hana. Benar saja, lutut kananku sedikit tergores karena jatuh. Pantas saja terasa sedikit perih.

Pintu UKS terbuka namun tak ada orang di dalam. Yamashina Sensei yang biasa bertugas nampaknya sedang keluar. Hana akhirnya berinisiatif mengobati lukaku. Ia membersihkan area yang terluka dengan hati-hati sebelum akhirnya mengoleskannya dengan obat merah. "Yosh, selesai," ucap Hana sambil menempel plester di lututku.

"Arigatou, padahal ini hanya luka kecil. Tak perlu sampai berlebihan seperti ini," ujarku geli.

"Luka sekecil apapun harus tetap diobati, kau tidak ingin infeksi, kan?" sergahnya.

Setelah merapikan kembali peralatan tadi, Hana mengajakku kembali ke kelas. "Natsuki-chan, aku duluan ya," pamitnya ketika sampai di depan kelasnya.

Kelasku berubah menjadi hening sesaat setelah aku membuka pintu. Mereka menatapku sekilas sebelum akhirnya kembali melanjutkan obrolan mereka dengan acuh. Terbiasa dengan sambutan dingin seperti itu tiap pagi, aku berjalan menuju tempat dudukku yang berada di deretan paling belakang dekat jendela. Benar-benar tempat duduk yang sempurna untuk seorang penyendiri bukan?

Kuarahkan pandanganku ke lapangan baseball, ada sedikit kenangan yang muncul ketika pandanganku mengarah ke sana. Aku ingat ketika pertama kali bergabung dengan klub baseball bersama Hana ketika SMP. Waktu itu para senpai menertawakanku karena memiliki fisik yang paling kecil diantara semuanya. Bel masuk berdentang dengan nyaring memutuskan lamunanku. Tak lama kemudian jam pertama di kelasku dimulai dengan kehadiran Sakurai-Sensei.

Jam istirahat Hana memanggilku dari luar kelas, tidak biasanya gadis ini datang ke kelasku. Dengan langkah sedikit malas aku beranjak menghampirinya.

"Ada apa?" tanyaku begitu tiba di depannya. Ia menarik tanganku keluar kelas.

"Temani aku ke kantin," jawabnya sambil tersenyum.

"Aku tidak mau," tolakku dengan tegas. Sejak kecil aku tidak menyukai tempat yang ramai dan Hana tahu itu. Namun bukan Tsukiko Hana namanya jika menyerah begitu saja.

"Ayolah Natsuki-chan, onegai…," rajuknya. Ia menatapku dengan tampang memelas akupun mengalah dan berjalan menemani gadis itu ke kantin. Sampai di kantin Hana segera memesan semangkuk udon. Aku yang awalnya tak berselera makan akhirnya ikut memesan juga. "Wah, rasanya hampir mirip dengan udon yang dulu biasa kita makan setiap selesai latihan baseball," ujar Hana setelah mencicipi kuah udonnya. Aku tak menanggapi dan menikmati udonku dalam diam.

"Natsuki-chan, sepulang sekolah nanti bagaimana kalau melihatku latihan?" ajak Hana bersemangat.

"Maaf, tak bisa. Ada hal lain yang harus kulakukan," tolakku berbohong.

Hana tahu aku berbohong, karena itu ia tak mengatakan apa-apa lagi. Sejak hari pertama masuk sekolah hingga tiga bulan terakhir, Hana selalu mengajakku melihat latihan klub yang diikutinya, klub baseball. Namun selalu kutolak dengan berbagai alasan. Aku tahu kenapa Hana begitu gencar melakukannya. Tujuannya hanya satu, untuk membuatku kembali bermain baseball. Semasa SMP seperti halnya Hana, aku adalah pemain baseball. Namun sejak kejadian hari itu, aku merasa tak punya alasan untuk bermain baseball lagi.

"Sampai kapan kau akan terus menyalahkan diri, Natsuki-chan?"

Ingatanku kembali memutar percakapanku dengan Hana saat gadis itu mengajakku kembali bergabung dengan klub baseball SMA di malam sebelum upacara penerimaan siswa baru dimulai.

"Hana-

"Kau tahu, kejadian hari itu tak ada hubungannya denganmu. Aku yakin, bahkan Senpai tak ingin kau terus menyalahkan dirimu sendiri seperti ini," ujar Hana.

Aku tak menjawab. Sementara aku memandang langit malam tanpa bintang dengan pandangan kosong. Kubiarkan Hana terus menerus berbicara dengan kalimat-kalimatnya untuk menghiburku.

"Natsuki-chan, kau baik-baik saja?"

Hana menyentuh punggung tanganku, membuatku kembali tersadar dari lamunanku. Kami masih di kantin ternyata. "Kau baik-baik saja?" tanya Hana ulang. Aku mengangguk singkat.

"Aku mau ke kelas duluan," ujarku beranjak berdiri dari tempat dudukku. Sebelum Hana sempat menjawab, aku sudah berjalan menjauhi kantin.

Sampai di depan pintu kelas, bukannya masuk aku malah terus berjalan menaiki tangga menuju atap sekolah. Ini adalah tempat favoritku setiap kali ingin menghabiskan waktu sendirian. Angin bertiup semilir, mengacak rambut pendekku begitu aku tiba di atap. Kubawa kedua kakiku melangkah lebih dekat dengan tembok pembatas agar bisa melihat area sekolah dengan lebih jelas.

"Oh, kita bertemu lagi."

Sebuah suara tiba-tiba terdengar, mengagetkanku. Aku menoleh, beberapa langkah dariku seorang pemuda yang tadi pagi menabrakku berjalan menghampiriku.

"Natsuki-san, kau suka menghabiskan waktu di sini, ya," ujar pemuda itu.

"Bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku.

Pemuda itu menggaruk tengkuknya dengan kikuk. "Bagaimana? Wajar saja aku tahu, kita di kelas yang sama sudah hampir tiga bulan tahu," balasnya. "Lagipula kenapa kau bertanya seperti itu?" Ia balas bertanya.

Selama ini di sekolah tak ada yang benar-benar memanggilku dengan namaku. Kecuali para guru dan Hana. Teman-teman sekelasku biasa memanggilku dengan sebutan "si itu" atau "gadis es". Tapi pemuda ini, ia memanggilku dengan namaku. Meskipun bukan dengan nama depanku.

"Natsuki-san?"

Pemuda itu menggoyangkan tangannya di depanku. Aku tersentak. Entah mengapa akhir-akhir ini aku sering melamun.

"Kenapa?" balasku.

"Seorang gadis tak boleh melamun tahu, apalagi di tempat seperti ini. Nanti kau kerasukan," ujarnya.

Sesaat wajahku ingin tersenyum, namun hatiku menahannya. "Tak akan," balasku dengan nada datar.

Bel masuk berdentang nyaring tak lama kemudian. Pemuda itu mengajakku untuk kembali ke kelas bersamanya. "Bel masuk, ya. Ayo Natsuki-san kita kembali," ajaknya.

"Yozora-san, kau duluan saja," tolakku.

Pemuda itu menatapku heran, "Eh, kita kan di kelas yang sama. Ayo!" ajaknya lagi.

Aku menggeleng, "Aku hanya tak ingin, orang-orang melihatku berjalan bersama dengan idola sekolah. Bisa-bisa aku nanti berurusan dengan para penggemarnya," pikirku.

Seakan mengerti apa yang kupikirkan, Yozora Hoshi tertawa kecil, "Kau tak perlu khawatir, aku tidak sepopuler itu kok! Lagi pula mereka tidak akan mencari masalah denganmu," ujarnya.

Ia menggandeng tanganku dan tanpa dikomando jantungku berdetak kencang. Tanganku yang berada dalam genggamannya terasa begitu hangat. Iris coklatku menatap sosok Yozora Hoshi dari belakang. Punggung pemuda begitu lebar dan terlihat begitu hangat. Samar-samar aroma sitrus tercium saat ia berjalan.

Ketika sampai di ujung tangga, suara ramai para siswa yang hendak ke kelas membuatku refleks menarik tanganku yang masih digandeng oleh pemuda itu. Sebelum yang lain menyadari kami berjalan bersama, cepat-cepat aku berjalan mendahuluinya menuju ruang kelas.

Begitu sampai di ruang kelas, aku bergegas menuju tempat dudukku. Jantungku masih berdetak kencang, bahkan tak ada tanda-tanda bahwa ia akan melambat. "Ada apa denganku? Apa aku sakit parah?" batinku.

"Hoshi!"

Aku tersentak begitu mendengar nama pemuda itu dipanggil. Diam-diam aku mencuri pandang kearahnya yang kini sekarang tengah menghampiri siswa yang memanggilnya. Sayup-sayup percakapan mereka tertangkap oleh indera pendengarku. "Kei tadi mencarimu. Dia bilang sepulang sekolah ia menunggumu untuk latihan."

Yozora Hoshi tersenyum. "Arigatou, Araki," balasnya.

Tiga puluh menit berlalu namun Miyamoto Sensei yang seharusnya mengajar tak kunjung datang. Sebagai gantinya masuk Kariya Sensei yang mengabarkan bahwa jam kelima ditiadakan karena guru-guru sedang rapat dengan dewan pengawas sekolah. Meskipun begitu kami diminta untuk tetap berada di dalam kelas dan tak membuat keributan. Begitu Kariya Sensei keluar, teman-teman di kelasku langsung bergerombol dengan circle mereka masing-masing. Hampir semua orang di kelasku memiliki circle-nya masing-masing. Terkecuali aku tentu saja. Sadar tak akan ada yang mengajakku berbicara seperti biasanya aku melanjutkan kebiasaanku setiap jam kosong, memandang keluar jendela. Tanpa menyadari jika sedari tadi sepasang iris obsidian tengah menatap ke arahku.

28d33560a0c8d696ff4c73bdbae900f0 I'm serializing this work on Webnovel. Head over to Webnovel for the other chapter updates! https://www.webnovel.com