Malam itu mereka tidak ada acara khusus. Di Villa hanya mereka saja, karena selepas makan malam tadi Bi Entin sudah pamit pulang.
Edo dan Tama memilih bermain game sepak bola. Sementara Mimi dan Sisi asyik berselancar di Medsos dengan ponsel masing-masing. Sedangkan Irfan, sedang memindahkan hasil foto mereka beberapa hari ini ke Laptopnya.
"Tam, disini ada printer ngga?" tanya Irfan.
"Ada. Kamu ke kamar yang ujung Fan, " jawab Tama. sambil tetap fokus bermain.
Irfan menuju kamar yang tadi ditunjuk Tama sambil membawa Laptop dan kertas Foto yang memang sengaja dia bawa dari Jakarta. Sampai disana, dia langsung menuju ke meja kerja. Rupanya kamar itu adalah kamar kerja sekaligus perpustakaan mini, karena disana ada tersedia seperangkat komputer dan rak yang penuh buku.
Irfan menyeting Laptopnya agar terkoneksi dengan printer. Setelah itu dia mulai mengeprint foto-foto yang sudah dia pilih tadi. Sambil menunggu, iseng-iseng dia membuka medsos miliknya. Begitu dibuka, ternyata matanya tertuju pada unggahan foto liburan mereka dari akun Mimi. Kemarin Mimi sempat meminta foto-foto itu dikirimkan kepadanya.
Ada 7 foto yang diunggah Mimi. Foto berlima saat di kebun teh, beberapa Foto saat barbeque, ada foto dirinya dan Mimi serta dua foto Mimi bersama Tama. Dua foto bersama Tama adalah yang diambil Sisi saat dikebun Teh dan satu lagi foto selfie mereka, tak tahu saat dimana. Irfan menatap foto itu lama. "Mungkin itu foto saat mereka sempat menghilang berdua kemarin,' batinnya. Unggahan Mimi itu sudah banyak dikomentari oleh teman-temannya. Sebagian besar memuji pemandangan latar foto-foto tersebut. Namun yang menarik perhatiannya adalah komentar di foto Mimi dan Tama. Tampaknya Tama sempat meninggalkan komentar di sana satu jam yang lalu. .
Tama : Bagus kan senjanya?
Mimi : Iya bagus. Makasih ya ☺.
Tama : Sama-sama, terima kasih juga atas cerita menariknya.
Irfan menyandarkan punggungnya ke kursi. Ada sedikit perasaan tak rela melihat keakraban Tama dan Mimi. Iri karena Mimi sudah menceritakan sesuatu pada Tama yang dia tidak tahu apa itu. Sepertinya dia memang harus berani menyatakan perasaannya. Dia akan nekat mengambil resiko ditolak, setidaknya dia sudah mencoba.
Dia kembali ke ruang keluarga sambil membawa foto yang sudah selesai diprint. Dilihatnya Sisi masih asyik dengan ponselnya, sementara Mimi tak terlihat. Irfan menuju ke teras depan, dilihatnya Mimi sedang duduk membelakangi nya di kursi taman. Didekatinya Mimi, samar terdengar suara Mimi sedang berbicara, rupanya Mimi sedang menelpon seseorang. Irfan menunggu Mimi selesai berbicara, sambil terus menatapnua dari belakang. Merasa ada yang sedang memperhatikan, Mimi menoleh ke belakang. Melihat Irfan, dia melambaikan tangannya mengajak. Irfan duduk disamping Mimi.
Mimi sudah menutup pembicaraannya ditelepon.
"Maaf ya tadi abang telepon," kata Mimi. "Lo ngapain tadi dibelakang gue?" sambungnya lagi.
"Mau ngasih ini," jawab Irfan sambil memberikan foto yang sudah dicetaknya tadi.
"Waah, kapan nyetaknya? Makasih lho!"
"Tadi ngeprint disini, kertas fotonya emang udah disiapin dari Jakarta kemarin,"
Mimi memandang foto-foto itu dengan ekspresi senang.
"Mi, gue boleh ngomong serius ngga?" kata Irfan gugup.
Mimi menoleh kearah Irfan, lalu bertanya, "soal apa Fan?"
Irfan tampak bingung memulai dari mana, beberapa kali dia harus menenangkan degup jantungnya. Udara saat ini dingin, tapi dia merasa kepanasan. Sebelumnya dia paling gampang kalau urusan mengatakan cinta. Namun saat mau mengutarakannya pada Mimi, dia merasa seperti anak-anak yang baru pertama kali jatuh cinta. Gugup sekali.
"Fan?" tegur Mimi melihat Irfan terdiam. "Katanya mau bicara serius, kok diam aja?" tanya Mimi.
Irfan memejamkan mata, mengumpulkan keberaniannya, akhirnya, "Mi, sebelumnya gue minta maaf kalau yang mau gue sampaikan ini akan membuat lo ngga nyaman. Tapi gue merasa harus jujur. Supaya gue juga lega,"
Mimi tak berkata sepatah katapun, dia hanya diam menunggu Irfan melanjutkan bicaranya.
"Mi, gue suka sama elo. Lebih dari sekedar teman," kata Irfan akhirnya, sambil menghembuskan nafas lega. Irfan menatap Mimi disebelahnya dengan cemas. Dia khawatir dengan reaksi Mimi setelah mendengar pengakuannya. "Lo ngga harus jawab sekarang kok. Pikirin aja dulu," kata Irfan sambil berdiri bersiap masuk kedalam.
"Fan!" kata Mimi, membuat Irfan kembali menoleh kearah Mimi. "Gue jawab sekarang. Lo duduk lagi ya!"
Irfan akhirnya kembali duduk disamping Mimi.
"Sebelumnya gue makasih banget ya Fan, karena lo punya perasaan itu ke gue. Tapi semoga setelah ini pertemanan kita ngga berubah ya?" kata Mimi.
Mendengar ucapan Mimi, Irfan langsung paham kalau Mimi akan menolaknya. Jadi, dia langsung memotong ucapan Mimi,
"Gue ngerti, lo pasti nolak gue. Gue udah duga sih. Tapi gue nya aja yang nekat."
Mimi menatap Irfan dengan perasaan tak enak.
"Lo suka sama Tama ya Mi?" tanya Irfan tanpa basa basi.
"Hah? Kata siapa?"
"Karena kalian belakangan dekat sekali. Gue pikir ada yang istimewa diantara lo dan Tama."
"Ngga kok, gue dan Tama berteman saja. Dan saat ini memang gue ngga punya keinginan untuk punya hubungan lebih dari teman Fan," jelas Mimi.
Irfan mengangguk mengerti. "Tapi kita tetap berteman kan Mi?".
" Iya dong, kita tetap berteman," jawab Mimi yakin, sambil mengulurkan tangannya mengajak Irfan berjabat tangan. Lalu mereka bersalaman sambil tertawa.
Tawa Irfan memang terdengar sumbang. Sebagai manusia dia kecewa karena ditolak perasaannya. Tapi setidaknya dia sudah jujur pada Mimi. Dan kini, dia hanya butuh waktu untuk memulihkan hatinya. Dia juga lega karena Mimi bisa bersikap dewasa, tidak menjauhinya meski tahu isi hatinya. Padahal hal yang paling ditakutkan jika cinta tak terbalas adalah, hubungan baiknya dengan seseorang akan merenggang.
---
"Lesu banget Fan?" tanya Edo yang melihat Irfan masuk kamar dengan langkah sedikit lunglai.
Irfan langsung berbaring di ranjang dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Gue ditolak bro!" kata Irfan dari balik selimut.
Tama dan Edo kaget mendengarnya.
"Lo udah nembak Mimi? Kapan?" tanya Edo.
"Barusan, tapi langsung ditolak," kata Irfan lesu.
Bukannya iba, Edo malah bersorak gembira, lalu berkata, "hebat Mimi, dia nolak seorang Irfan," gue harus kasih hadiah buat dia."
"Kampret lo!!!" kata Irfan sambil melempar bantal ke arah Edo.
Edo hanya tertawa puas melihat penderitaan Irfan.
"Tapi kami janji tetap berteman kok. Artinya gue masih punya peluang untuk deketin Mimi lagi. Mungkin pendekatan gue kurang lama," kata Irfan.
"Dih, dia PeDe habis." kata Edo.
Sementara Tama tak berkomentar apapun. Entah apa yang ada dipikirannya. Irfan menatap Tama dengan pandangan menyielidik. Dia mencari ekspresi lega di wajah Tama, tapi tak ditemukannya.
"Sebenarya sedekat apa Tama dan Mimi?" batin Irfan.