Usianya baru 11 bulan kala itu. Tinggal sebulan lagi, ia akan menginjak tahun pertamanya hadir di duniaku. Seharusnya aku menyambut hari itu penuh kebahagiaan karena si mungil nan manis ini telah berhasil merebut seluruh kasih sayangku. Aku ingin memberinya sebuah kado terbaik yang bisia kupersembahkan sebagai hadiah pertamanya andai saja malam kelam itu tidak pernah ada. Aku benar-benar mengutuk malam itu selama hidupku.
Bagaimana aku bisa lupa dengan darah yang bersimbah di lantai malam itu? Saat itu seharusnya aku tidak meninggalkannya sendirian. Jika aku lebih berhati-hati, ia pasti tidak akan terjatuh dari tangga. Darah itu juga tidak akan menghantui pikiranku hingga detik ini. Aku masih ingat betul saat tubuh kakunya berubah memucat, bahkan nafas yang berhenti berhembus seakan menjadi tali tambang yang menggerogoti leherku dan membuat nafasku tercekat setiap waktu. Hal itu membuat tubuhku bergetar hebat. Rasa takut akan kehilangannya membuat akal sehatku tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Buktinya aku memilih terpaku di sanan daripada membawanya ke rumah sakit. Lihatlah betapa bodoh dan tak bergunanaya aku saat ini.
SATU METER...
Aku takut melangkah lebih dekat lagi. Kakak macam apa yang membiarkan adiknya tak sadarkan diri tanpa mengambil tindakan apapun? Tubuhku hanya membeku hingga aku merutuki diriku sendiri kala itu.
Melindungi?
Menjaga?
Persetan dengan semua janji yang pernah kuucapkan karena nyatanya aku gagal melindunginya. Aku malah membiarkannya meregang nyawa di depan mataku sendiri. Sekarang? TERLAMBAT.... Apapun yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya tak berguna sama sekali. Seharusnya aku meraih telepon, menghubungi ambulance lalu menghubungi ayah dan bunda. Apalagi gunanya semua itu ketika nafasnya yang semula terengah mendadak hilang.
Aku terlalu pengecut untuk menyelematkan gadis kecilku hingga ia akhirnya kehabisan darah dan meninggalkan kami dengan kesedihan yang tak mampu kuungkapkan. Semua perandaian menelusup masuk ke dalam benakku.
"Andai aku tak meninggalkannya"
"Andai aku terus di sampingnya"
"Andai aku tidak ceroboh"
"Andai akal sehatku dapat bekerja kala itu"
Namun apa gunanya perandaian itu saat ini? Ketika akhirnya aku hanya mampu menghadap sebuah pusara dengan nisan bertuliskan namanya.
"Vana, maafin kakak yah. Kakak nggak bisa jaga kamu dengan baik. Kakak nggak bisa jadi kakak terbaik buat kamu. Maafin kakak. Kalau aja kakak nggak ninggalin kamu sendirian. Kalau aja kakak bisa lebih berani dan bisa selamatin kamu waktu itu. Kakak jahat sama kamu Vana. Kakak yang salah. Maafin kakak, Vana."
Air mataku tak mampu lagi kubendung. Entah apa yang kutangisi saat ini. Ketidakbecusanku, ketidakberdayaanku, sikap pengecutku, atau hal yang tak bisa kuubah di balik pusara itu. Yang pasti aku menyadari bahwa melindungi seseorang bukan perkara mudah sehingga aku pun tak mampu melakukannya.
Bahkan kali ini, ketika sekali lagi seorang peri kecil menginjakkan kakinya di rumah yang telah lama bernuansa kelam ini, aku masih terlalu khawatir jika luka yang lama kubenam akan kembali merangkul jiwaku.
Aku memilih menjauh dari si kecil itu. Aku tak ingin ia bergantung padaku yang sudah jelas tidak akan bisa menjaganya. Lebih baik jika aku tidak pernah memberinya kesempatan untuk berada di dekat pembunuh sepertiku. Bukan tidak mungkin jika kelak, aku akan melukainya dan kembali menelan pil pahit kehilangan.
Berulang kali mata lentik itu mengulik perasaanku. Rasanya dia sedang menyapaku lalu bermain di pangkuanku. Namun, saat akan kalah, aku memaksa diriku mengingat kesalahan besar di dalam hidupku itu. Aku memaksa diriku untuk mengingat malam kelam itu. Malam yang telah mati-matian kukutuk sepanjang hidup. Malam yang telah membuat hidupku dihantui rasa bersalah.
Hanya sebuah nama yang mampu kuberikan padanya sebagai hadiah pertama dan terakhirku.
"Fatimah Azzahra Ramadhani, itu namanya. Selain nama ini, jangan mengharapkan hal lain sama aku. Itu adalah hal termewah yang bisa kamu dapat dari kakak kamu. Setelah ini nggak akan ada lagi yang bisa aku kasih ke kamu."
"Fur, bunda tau kamu masih merasa bersalah atas meninggalnya Vana. Tapi apa Fatimah pantas menjadi korban dari luka hati kamu? Fatimah juga adik kamu kan? Dia juga butuh kasih sayang dari kakaknya."
Entahlah. Mungkin bunda marah dan kecewa melihat tingkahku yang terkesan mengorbankan Fatimah untuk menutupi lukaku terhadap kepergian Vana. Namun semua ini demi kebaikan Fatimah. Aku tidak ingin dia nantinya akan bergantung padaku yang bahkan tidak becus untuk dianggap sebagai kakak.
"Ini bukan tentang aku bunda. Ini demi kebaikannya sendiri. Lebih baik dia benci sama kakaknya dan nganggap kakaknya nggak pernah ada daripada dia tau kalau kakaknya itu Cuma laki-laki lemah yang nggak bertanggungjawab. Vana meninggal karena Furqan, siapa yang bisa lupa itu bunda?"
"Bukan salah kamu Fur. Berhenti menyalahkan diri kamu sendiri. Vana meninggal, itu semua sudah ketetapan Allah. Allah lebih sayang sama Vana. Sekarang Allah mempercayakan Fatimah agar kamu tidak mengulangi kesalahan yang sama. Agar kamu bisa menebus rasa bersalah kamu ke Vana dengan menyayangi dan melindungi Fatimah."
Aku masih betah dalam diamku. Pikiranku berkecamuk melihat malaikat kecil di pangkuan bunda. Cantik, lucu, imut, dan menggemaskan. Aku sangat ingin membawanya dalam gendonganku. Apaliagi dengan tatapan memujanya yang seolah ingin bermain di atas pangkuanku. Belum lagi senyuman manisnya seraya menatapku lengkap dengan kedua tangan terulur. Namun saat hendak menyambut kedua tangan mungkil itu, tragedi malam itu terukir kembali lalu menjadi semakin jelas. Darah, suara tangisnya, wajah bekunya, tubuh kakunya. Semua hadir bagaikan cuplikan film dan membuat seluruh tubuhku meremang dan bergetar hebat. Aku menarik kembali lenganku yang telah terulur, lalu melangkahkan kakiku menjauhinya. Jangan bertanya padaku bagaimana aku menahan diri untuk tidak menghentikan langkahku saat mendengar tangisnya.
Sore itu aku berkutat dengan beberapa buku catatan. Sebentar lagi tes masuk SMA akan dilaksanakan. Aku harus belajar dengan baik jika ingin masuk ke SMA impianku. Mataku tiba-tiba terarah ke salah satu sudut kolam renang yang tepat berada di depan jendela kamarku. Mataku melebar kala kusadari Fatimah merangkak menuju kolam renang tanpa pengawasan. Bola yang dia gunakan bermain ternyata mengapung di sana dan ia berusaha mengejar.
Saat itu juga aku berlari menuju arah Fatimah tanpa pertimbangan apapun. Yang ada di kepalaku saat itu adalah aku tidak ingin yang terjadi pada Vana juga akan menimpa Fatimah. Aku tidak boleh kehilangan peri kecil ini. Apapun yang terjadi, Fatimah tidak boleh pergi dariku. Aku bahkan berjanji pada diriku sendiri, jika aku bisa meraihnya, menyelamatkannya, maka aku akan menjaganya dengan seluruh hidupku. Tidak akan kubiarkan ia menangis atau terluka. Semua itu yang selalu berputar di kepalaku saat ini.
"Jangan! Jangan merenggut apapun dariku lagi. Beri aku kesempatan untuk menghujani peri kecil itu dengan kasih sayang. Beri aku waktu lebih lama untuk kuhabiskan dengannya."
Tanganku berusaha meraihnya secepat mungkin hingga....
To be continued