Fatwa ulama tentang mimpi allah swt.
Dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan :
"Apabila demikian, maka seorang manusia kadang melihat Rabbnya dalam mimpi dan berbicara kepada-Nya. Ini adalah Haqq dalam mimpi tetapi tidak boleh ia berkeyakinan dalam dirinya bahwa Allah adalah seperti yang ia lihat dalam mimpi, karena sesungguhnya seluruh yang dilihatnya dalam mimpi tidak harus sama. Akan tetapi shurah (bentuk) yang ia lihat harus ada kesesuaian dan kemiripan dengan keyakinannya tentang Rabbnya. Kalau keimanan dan keyakinannya cocok, maka didatangkan kepadanya dari shurah itu dan ia mendengar dari kalam yang mencocoki tersebut. Kalau tidak, maka yang terjadi adalah kebalikannya.
Berkata sebagian Masya'ikh (syaikh-syaikh) : 'Apabila seorang hamba melihat Rabbnya dalam suatu shurah maka shurah itu adalah tirai antara dia dan Allah'. Dan masih selalu ada dari kalangan orang-orang sholih dan selainnya yang melihat Rabb mereka dalam mimpi dan berbicara kepada-Nya. Dan saya tidak menyangka ada orang berakal yang mengingkari hal tersebut karena adanya hal ini merupakan perkara yang tidak mungkin ditolak sebab mimpi yang terjadi pada seorang bukanlah karena kehendak dan pilihannya. Dan ini adalah masalah yang sudah dipahami.
Telah disebutkan oleh para Ulama dari Ashhab (orang-orang hanbaliyah,-pent.) dan selainnya dalam Ushulud Diin (pokok-pokok agama). Mereka hikayatkan dari sekelompok kaum dari kalangan mu'tazilah dan selainnya tentang pengingkaran mereka terhadap melihat Allah, padahal penukilan tentang hal tersebut adalah mutawatir dari orang-orang yang melihat Rabbnya dalam tidur, kemudian barangkali mereka berkata : Tidak boleh dia meyakini bahwa ia melihat Rabbnya dalam tidur'. Maka mereka (kalangan mu'tazilah) telah menjadikan yang semisal ini termasuk mimpi-mimpi kosong dan berbuat ekstrim dalam meniadakan (menafikannya), yaitu menafikan melihat Allah dalam mimpi dari sebagian ru'yah (mimpi) yang benar sebagaimana segala yang dilihat dalam tidur. Ini termasuk pendapat Al-Mutajahmah (orang-orang Jahmiyah) yang batil (salah) yang menyelisihi kesepakatan para Salafus Ummah (orang-orang Salaf terdahulu dari umat) dan para imamnya. bahkan (menyelisihi) kesepakatan orang-orang yang berakal dari anak Adam. Bukanlah dengan melihat Allah dalam mimpi berarti terdapat suatu kekurangan atau aib yang berkaitan dengan-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Hal tersebut hanyalah sesuai dengan keadaan orang yang melihat, yaitu kekuatan imannya, rusak dan istiqomah keadaannya serta penyimpangannya.
Selesai ucapan beliau dari Bayan Talbis Al-Jahmiyah 1/73.
Beliau juga berkata: "Dan kadang seorang mukmin melihat Rabbnya dalam mimpi dalam shurah (bentuk) yang beraneka ragam sesuai dengan ukuran keimanan dan keyakinannya. Bilamana imannya benar maka dia tidak akan melihatnya selain dalam shurah (bentuk) yang baik, dan apabila pada imannya ada kekurangan maka ia akan melihat sesuai dengan keimanannya. Dan melihat dalam mimpi memiliki hukum lain yang berbeda dengan melihat secara hakiki (nyata) dalam keadaan terjaga. la (melihat dalam mimpi) mempunyai ta'bir dan takwil, karena yang terkandung di dalamnya berupa perumpamaan-perumpamaan yang dibuat untuk perkara-perkara yang hakiki (nyata)".
[ Majmu' Al-Fatawa 3/ 390, Minhajus Sunnah 5/384 dan Dar'ut Ta'arudh 5/237 ]
Semoga penjelasan singkat ini di pahami dan bermanfaat buat kita semua