Chereads / NISAKA / Chapter 2 - 4. Luka dan Darah

Chapter 2 - 4. Luka dan Darah

"NISAKA!!" teriak Aksan dibelakang sana, tetapi sang empu tak menoleh sama sekali. Bahkan, dia tidak merespon apapun yang dilontarkan Aksan dibelakang sana.

"NISAKA!!" Aksan malah semakin meneriaki namanya keras dan dia masih berlari kecil untuk menyusulnya.

Nisaka noleh kebelakang, langkahnya terhenti sesaat. Tatapan Nisaka menajam kearah lelaki itu.

Aksan juga ikut berhenti, dia sedikit membungkuk dengan kedua tangan yang  bertumpu di lututnya. Aksan membuang napas berat, dia capek sedari tadi berteriak-teriak. Untung saja jalanan ini sepi. Jika tidak, mungkin dia sudah dikira orang gila.

Selepas napasnya teratur, Aksan kembali berdiri tegap. Dia kaget melihat Nisaka yang sudah berdiri di hadapannya.

"Lo kalau mau lari-larian pake baju olahraga, bukan malah baju dansa kayak gini." tuturnya sembari melihat dress putih yang dikenakan cewek itu. Apalagi, dress yang Nisaka kenakan hanya sebatas lutut.

Arah pandangnya kini berhenti di lengan puntung dari dress itu. Ditatapnya leher jenjang Nisaka yang putih bersih, dan sangat indah di mata Aksan. Beruntung, bagian dadanya itu tidak ikut terekspos. "Pakaian lo juga sedikit terbuka." Aksan berkata jujur.

Nisaka berdeham, "nggak usah lihat-lihat!" sentaknya, lalu tangannya memindahkan rambut panjangnya kedepan guna menutupi bagian tubuh yang terpampang jelas di mata Aksan tadi.

Aksan yang melihat tingkah cewek itu hanya tersenyum gemas. "Oh iya, lo masih inget gue nggak? tanyanya. Sebenarnya pertanyaan itu sudah ada dipikirannya sejak tadi pagi di sekolah. Namun mengingat terakhir kali mereka berbicara, seolah cewek itu menyuruh Aksan diam, bahkan untuk menjabat tangan Aksan disekolah saja dia tidak mau, atau mungkin belum mau.

Nisaka sempat berfikir sejenak."Apa dia mengenaliku?" batinnya.

Aksan yang melihat cewek di hadapannya bengong, lalu tangannya berpindah di bahu mulus gadis itu. Dengan lancang ibu jarinya mengelus pelan bahu Nisaka. "Nisaka, lo kenapa?" katanya, masih menggerak-gerakkan ibu jarinya.

Nisaka sedikit tersentak karena sentuhan kecil yang Aksan berikan. Dia menangkis tangan Aksan yang tadi sempat menempel di bahunya. Semburat merah dimatanya terlihat jelas, matanya sedikit memanas. "NAMAKU ARA!" teriaknya lantang serta kedua tangannya menjambak rambutnya kasar, dan terus mengucapkan kata Ara dengan penuh emosi.

Aksan hampir saja jantungan, dia kaget dengan suara kerasnya. "Nisaka, istighfar!" Aksan berucap, takut-takut kalo cewek itu kemasukan hal yang tidak diinginkan.

"Kamu, jangan pernah panggil aku dengan nama itu lagi." ingatnya dengan jari telunjuknya. Lalu membelakangi tubuh cowok tampan itu dan dia melangkah menjauh. Nisaka pergi dengan langkah tergesa-gesa dan meninggalkan Aksan disana sendirian.

Aksan menatap kepergian cewek itu dengan tatapan sedih, "gue makin yakin kalau lo adalah Nisaka yang pernah gue kenal tiga tahun lalu."

"Apa yang udah dilakuin om-om itu sampe bikin lo jadi kayak gini," Aksan bertanya-tanya dalam hatinya.

⚪⚪⚪

Oh Tuhan, kucinta dia

Kusayang dia, rindu dia, inginkan dia

Utuhkanlah rasa cinta di hatiku

Hanya padanya

Untuk dia

Syu du-du-du-du-du-du-du

Suasana kelas jadi ramai pagi ini karena ulah seorang lelaki berbibir tebal dengan rambut sedikit berjambul serta dasi yang ia ikat sembarang di kepalanya.

Guruh Arif Ramadhan, atau sebut saja Guruh. Lelaki itu tengah bernyanyi seolah dirinya tengah berada di tempat karaoke. Nadanya yang sumbang serta suara yang menggelegar bagaikan petir terus memenuhi ruangan putih yang sudah diisi beberapa manusia yang duduk sembari menutup telinga mereka rapat-rapat.

Lelaki itu tak acuh, masa bodoh sama orang sekitarnya. Sek penting nyanyi, masalah apik lan ora pikir mburi. Seperti itulah dia.

"Wo...wo, ada konser apanih?" Galen Alsaki, cowok berambut klimis yang sudah dibalut gesby itu baru saja tiba. Dia memandangi Guruh dan bertanya-tanya.

"Penyakit lu kambuh lagi, Ruh?" tanyanya memastikan, seraya telapak tangannya ia tempelkan ke dahi sohibnya itu.

"Panas," Galen berujar dibarengi tangan Guruh yang sudah mengepal. Dikepalan tangannya itu ada sebuah buku yang dilinting yang sedari tadi dijadikan mic olehnya. Tak butuh waktu lama, lelaki itu melayangkan satu pukulan keras di kepala sahabatnya itu.

"Gimana hah, enak, pukulan gue?" tanya Guruh setelah berhasil memukul kepala Galen dengan satu kali pukul. Meski tidak begitu keras, tapi tetap saja Galen mengaduh.

"Jingan!" maki Galen.

Tangannya sibuk membenarkan rambut yang sudah mosak-masik akibat ulah Guruh barusan. "Gue nata nih rambut berjam-jam, dan seketika dirusak sama ruh gentayangan." cibirnya.

"biadap!" kesal, Galen.

"Lu laki apa women?" tanya Guruh memastikan. "Nata rambut ampe berjam-jam," cicitnya.

"Jangan bilang, lo nata rambut dari sehelai?" timpal Guruh, raut wajahnya seperti orang mengiterogasi, dan sudut bibirnya terangkat sebelah.

"Sekata-kata lo deh," balas Galen, sekenanya. Lalu ia mendudukkan pantatnya di kursi.

Guruh hanya berdecih kesal.

"Eh, pagi Setan!" sapa Guruh begitu arah pandangnya menemukan Seta yang baru saja tiba. Seta hanya tersenyum tipis dan melenggang melewati Guruh.

"Lu tau nggak?" Guruh berucap setelah Seta duduk di kursinya, dulu. Lebih tepatnya kursi yang sekarang di duduki anak baru.

"Nggak." balas Seta cepat. Nama lengkapnya Seta Levian, tapi teman-temannya memanggilnya Seta atau kadang Setan. Seta memiliki kulit putih yang pucat serta bibir yang juga terlihat pucat pasi. Karena itulah nama Setan lebih melekat padanya. Sampai-sampai Aksan pernah memintanya menggunakan lip gloss agar bibirnya tidak terlihat pucat.

"Gue lagi suka sama cewek." Guruh tetap melanjutkan kalimat meski Seta tidak tertarik dengan obrolannya.

Galen ikut membalikkan badan, dia ikut nimbrung. "Alah, paling lo doang yang baper, dianya enggak." sinisnya.

"Jaga mulut lo, mana ada!" bela Guruh. "Dia juga suka sama gue." ungkapnya pede.

"Mana buktinya?" selidik Galen.

Guruh terkesiap, bola matanya sedikit berpikir. "Kepo lu,"

"Gue jamin seratus persen tuh cewek cuma mau manfaatin lo,"

"Sotoy lu, Galon"

"Jangan mau dibodohi sama cewek, mereka tuh iblis berkedok bidadari." Galen berkata pelan hampir berbisik di telinga Guruh.

"Fuck! lo juga iblis monyet!" maki Guruh kesal.

Galen malah melebarkan senyum dan tetawa keras. Dia baru tersadar bahwa kelakuannya juga tak jauh berbeda dengan kata devil. Tidak-tidak, dia hanya cowok yang suka mengumbar kata-kata manis, bukan berarti kelakuannya kayak iblis, kan.

"Gue ganteng gini malah lo kata iblis." ucap Galen, sambil terkekeh kecil.

"Ganteng apaan?" Guruh tak terima dengan ocehan Galen barusan. "Ganteng doang, jemput cewek dipanggang." sarkasnya.

"Mending, dari pada elu, jemput cewek di...eh, lu kan gapunya cewek." Galen berucap nyindir.

"Lu kalo ngomong ati-ati, gue lagi pdkt, bentar lagi juga gue kasih pj lo-lo pada." Guruh berucap bangga. Galen dan Seta malah menatap iba kearah Guruh yang sok kepedean itu.

"Pdkt belum tentu jadian, mending lo sadar diri sebelum hati lo membelah diri, terus lo mati." celoteh Galen, dibarengi tawa yang cukup lantang, dan Seta yang sedari tadi diam hanya menahan tawanya. Guruh membatin, "lu berdua liat aja, gue bakal taken sama orang yang nggak kalian duga."

Lalu lelaki itu melirik Seta, "Setan kalo nahan tawa lebih serem ketimbang naik roller coaster  ye?"

"Apanih serem-serem?" Aksan, lelaki itu baru saja tiba dengan menenteng hoodie berwarna putih, andalannya. Setelah berjabat ala pria, lelaki itu duduk di kursinya dengan menaruh jaket tadi diatas meja.

Seperti biasa, pakaian Aksan terlalu rapi untuk anak remaja seusianya. Tidak seperti Guruh yang bajunya selalu keluar setiap saat, ataupun Galen yang sering lupa mengancingkan kancing dikemejanya, bahkan dia pernah lupa resleting celananya terbuka, mungkin dia sengaja.

"Kenapa setiap kali lu dateng baunya jadi sedep ya?" Guruh berkata dengan hidung yang menghirup dalam-dalam aroma citrus yang keluar dari tubuh lelaki itu. Aroma segar dari mint yang sangat wangi, dan terlihat maskulin, membuat siapa saja betah berlama-lama di dekatnya. Apalagi kaum hawa.

"Aksan mah wangi terus, nggak kayak elu," cibir Galen, "rambut aja jarang lo cuci, apalagi itu,"  Galen berucap dengan menatap lurus ke bawah, tepatnya ia membicarakan juniornya Guruh dibawah sana.

Otak Guruh langsung nyambung, dia reflek menutupi bagian itu menggunakan kedua tangannya. Sontak ketiga temannya itu tertawa renyah dengan sikapnya yang terbilang lucu.

"Hai, lagi ngetawain apa nih, ikut dong!" sapa cewek berambut coklat madu yang sudah berdiri di dekat meja Aksan. Matanya terlihat antusias. Bahkan dia sudah menyambar kursi untuk di dudukinya.

"Eh Ayla, si cantik jelita se-jagad raya," ucap Galen menirukan kata-kata Guruh dengan logat khas lelaki itu.

Guruh mendelik, "kata andalan gue tuh," ujarnya.

"Pada bahas apasih, kayaknya seru."

Guruh kicep, dia malu.

Aksan melirik kearah Guruh yang tiba-tiba diam tak bergeming, "bahas burung." ucapnya enteng.

Ayla yang sudah paham, hanya ber oh ria.

"lo kesini pasti ada maunya kan?" selidik Guruh.

Ayla tersenyum tipis, lalu berbisik pelan di telinga Aksan. "Seperti biasa,"ucapnya lembut, membuat Aksan begidik geli.

Kemudian Ayla menjauhkan bibirnya dari telinga Aksan. Aksan terlihat merogoh tasnya lalu dikeluarkan nya beberapa buku.

"Nih," Aksan berujar sembari meletakkan buku-buku itu di atas meja.

"Thankyou, Sa." Ayla melebarkan senyum dan meraih buku-buku itu. "Lo selalu baik, seperti biasa." imbuhnya.

"Bener ya, anak ips kalo nyari anak ipa kalo lagi butuh doang," curhat Guruh.

"Sirik aja lo," balas Ayla tak terima.

"Bukan sirik, tapi itu fakta." jelas Guruh dengan menekankan kata terakhir. Ayla berdecih pelan.

Setelah cukup beradu mulut dengan Guruh, pandangan Ayla tertuju kepada seorang cewek yang baru saja masuk di kelas itu. Bola matanya menatap dari ujung kepala sampai ujung kaki, Nisaka. Surai hitam yang terlihat lembut itu tergerai indah dibelakang sana. Kulit putihnya yang bersih kini terbalut sweater rajut berwarna pink, sangat feminim dan pas di tubuhnya. Nisaka berhenti sejenak, dia masih berdiri dan menatap sekitar.

Rata-rata semua makhluk yang mengisi kelas ini melayangkan tatapan aneh, baginya. Mereka kagum, bahkan sampai melongo melihatnya. Ralat, kecuali kaum hawa, tak sedikit dari mereka berbisik entah apa yang mereka bicarakan. Toh, Nisaka juga tidak kepo sama apa yang mereka bicarakan.

Nisaka menatap Seta sejenak, hanya menatap tanpa berkata-kata. Seta reflek berdiri, dan berpindah di kursinya.

Nisaka mendudukkan pantatnya di kursi, dan bola matanya menatap bergantian kearah, Galen, Guruh, Aksan, dan cewek di sampingnya. Dia sedikit bingung, kenapa semua orang menatapnya. Apa ada sesuatu di wajahnya, batinnya.

"Hai, lo anak baru, kan?" Ayla mengulurkan tangannya. "Gue Ayla, sorry kemaren belom sempet kenalan." tuturnya.

Ah, ya, Nisaka ingat. Dia cewek yang kemarin mengajaknya ke ruang guru bersama. Cewek dengan baju yang sedikit keluar, juga lengan baju yang sedikit terlipat membuat Ayla semakin terlihat nakal, bahkan ia mengenakan rok ketat. Dia sedikit bar-bar anaknya.

"Ni...em, Ara." balasnya menerima uluran tangan itu.

Lalu mereka sama-sama melemparkan senyum tipis, dan melepaskan uluran tangannya.

"Wait!" Ayla mengerutkan kening baru tersadar setelah beberapa saat.

"Lo duduk sama Aksan?" tanyanya, oh Ayla lo dari mana aja dari tadi.

Nisaka hanya mengangguk seadanya.

"Disuruh Pak Malik." terang Aksan, lesu. Sebenarnya Aksan tidak nyaman duduk sama cewek. Dan ini pertama kalinya dia duduk sama cewek dengan kadar kecantikan bak bidadari. Jujur, Aksan selalu gugup saat Nisaka duduk disampingnya.

"Semoga betah ya, duduk sama Aksan," katanya. "Gue pergi dulu, ada urusan negara." ucapnya, lalu melesat pergi keluar kelas.

Nisaka melongo."Aneh," batinnya.

***

Seluruh murid kelas 12 ipa satu kini berada di ruangan ber-cat putih yang didominasi dengan miniatur anatomi tubuh manusia. Kali ini mereka berada di laboratorium biologi. Banyak peralatan seperti mikroskop, kaca pembesar, dan tetek bengek peralatan khas tempat ini.

Mereka tengah melakukan penelitian tentang struktur anatomi apa saja yang terdapat pada sebuah daun. Dimulai dari kutikula, jaringan epidermis, dan masih banyak lagi. Sialnya Nisaka, ia harus berkelompok dengan Aksan dan teman-temannya. Mau gimana lagi, dia juga tidak punya teman selain mereka.

Nisaka melirik Aksan yang tengah berkutik dengan bolpen dan selembar kertas putih diatas sana, dia asik mencorat-coret dan menghiasi kertas putih itu dengan tinta hitam. Nisaka sedikit kagum dan ia juga menyutujui bahwa tulisan Aksan sangat rapi.

Berbeda dengan beberapa temannya, Galen sibuk berkeliling menggoda beberapa cewek disana. Dan Guruh yang bersikap kekanak-kanakan dengan terus menggoda wajah Seta menggunakan lup, atau kaca pembesar. 

Kini tatapan Nisaka kembali tertuju kepada Aksan yang masih menunduk, masih sibuk dengan aktifitasnya tadi. Satu detik kemudian, Aksan mendongak lalu menoleh kesamping. Seolah ada yang sedang menatapnya, dan memang benar bahwa gadis itu tengah menatapnya. Mata mereka bertubrukan, Aksan tersenyum manis kepadanya. Namun sebaliknya, cewek itu malah memalingkan muka segera.

"Ni- emm, Ra?!" ucap Aksan.

Nisaka menoleh, "kenapa?" ketusnya.

"Bisa bantu gue kerjain tugas, soalnya temen-temen gue gak pada becus." jelasnya.

Nisaka pun paham, karena sejak tadi memang hanya Aksan yang rajin. Kemudian, Dia mengangguk singkat dan membantu sebisanya.

"Aku bantu apa?" ujar Nisaka lembut, membuat Aksan tersenyum senang. Lelaki itu mendekatkan kursinya di dekat Nisaka. Aksan sedikit gugup karena badannya hampir menempel dengan baju Nisaka.

"Lo bisa masak kan?" tanya Aksan.

Alis Nisaka hampir menyatu, dia bingung. Apa maksudnya.

"Kalo lo bisa masak, otomatis bisa dong pegang benda ginian," tuturnya lagi. Cowok itu meletakkan cutter di tangannya.

"Nih, tugas lo sekarang iris daun ini setipis mungkin."

Kenapa ujung cutter itu tajam banget, batinnya. Tangan Nisaka sedikit gemetar, bagaimana bisa, dia mengiris daun-daun itu. Di dapur saja tidak pernah, apalagi memegang benda tajam seperti pisau dan para temannya itu. Tangan kirinya menyentuh leher sebentar. Lalu dia mulai dengan hati-hati agar daun itu bisa terkelupas sempurna.

Sepersekian detik kemudian, cutter tajam itu meleset dan mengenai telapak tangan kirinya. Darah segar seketika mengalir deras dari sana. Aroma darah mulai tercium dan semakin menyebar di ruangan tersebut. Warnanya merah menyala layaknya saos yang tumpah ke atas meja putih diruangan itu.

Tangan kanannya mencekal lehernya, perasaan itu kembali muncul saat ia melihat cairan merah pekat itu.

Aksan meraih pergelangan tangannya, "tahan sebentar," katanya.

Nisaka memalingkan muka, dia tidak mau melihat darah. Terlebih lagi itu darahnya sendiri. Dia sempat merasakan tangannya itu dibungkus sesuatu oleh cowok tadi. Rupanya Aksan membalut luka tadi dengan dasinya.

Aksan berbisik ditelinganya,"jangan panik, tutup mata lo kalau lo takut." katanya. Nisaka menuruti perkataannya, dia langsung menutup kedua matanya.

Tanpa aba-aba, Aksan mengangkat tubuh Nisaka ala bridal style dan membawa gadis itu keluar, reflek Nisaka mengalungkan satu tangannya ke leher lelaki itu. Aksan sempat berpamitan dengan guru disana, lalu melesat pergi entah membawa Nisaka kemana.