Sekolah yang besar, tinggi, dan megah berdiri dengan kokoh di pusat kota. Sekolah itu bernama, SMA Sima Bangsa.
Fasilitasnya sungguh menakjubkan. Kelengkapan dan peralatan pengaya pelajarannya selalu mengikuti perkembangan zaman. Hidup dalam kemewahan sekolah tanpa perlu mengeluarkan biaya sepeser-pun, karena siswanya diberi beasiswa 100% oleh negara. Berisi siswa se Indonesia terbaik dalam bidang spesialisasinya. Popularitas sekolah yang tinggi dengan berbagai pemberitaan positif di media massa. Satu kelas hanya terdiri dari beberapa siswa, membuat setiap detail materi pelajaran efektif dipahami. Para pengajarnya pandai dalam mengembangkan potensi siswanya hingga mencapai titik kemahiran maksimal mereka.
Ilmu akademis, pelatihan praktik, dan kegiatan pengasuhan diajarkan sebagai satu kesatuan membangun mental yang baik. Setiap lulusannya berhak mendapat jaminan istimewa dari negara berupa karir yang bergengsi dan penghasilan yang sangat besar. Semua itu diselenggarakan pemerintah dengan tujuan menjadikan sekolah ini sebagai tempat pendidikan siswa-siswi terbaik yang dipilih secara selektif dan disatukan pada lingkungan terbaik untuk menjadi lulusan SMA yang mampu menyejahterakan masyarakat negara di masa depan.
Seorang dokter spesialis saraf muda terkemuka yang telah melewati 6 operasi saraf, peneliti muda di bidang rekayasa genetika yang telah memiliki hak paten terhadap 6 hasil penemuannya, politisi muda yang telah 6 kali ikut dalam anggota tim pembentukan perundang-undangan negara, atlet dengan raihan 6 medali emas dalam penyelenggaraan berbagai event pekan olahraga dari tingkat daerah sampai ke tingkat dunia. Serta beberapa siswa lain yang telah membuat prestasi luar biasa hingga 6 kali dalam bidang spesialisasinya diberitakan media massa telah bergabung dengan SMA Sima Bangsa ini.
Kini aku sedang berada di depan gerbang utama SMA Sima Bangsa. Aku berdiri terdiam mengeras bagai patung, memerhatikan segala kemegahan yang selama ini hanya kudengarkan melalui pemberitaan media dan kabar burung semata. Kugenggam di tangan ini sebuah surat undangan mendaftar di SMA Sima Bangsa yang tertuliskan namaku sebagai calon siswa yang beruntung itu.
Padahal aku hanya seorang anak muda yang tinggal di desa kecil seberang jauh pusat kota ini. Aku juga tidak memiliki 6 prestasi luar biasa seperti mereka. Apa benar aku diterima di SMA seperti ini?
Kesimpulannya, sangat tidak masuk akal jika ternyata akulah orang yang terpilih dari seluruh siswa se Indonesia. Pastinya banyak dari mereka yang lebih berpotensi daripada aku.
Sebuah alasan konyol yang tertulis pada surat undangan pendaftaran yang dilayangkan pihak SMA Sima Bangsa adalah aku terpilih berdasarkan sebuah tes psikometri. Yaitu tes untuk mencari satu orang dari anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia. Jadi, saat namaku yang tersaring dalam tes itu dibacakan, maka esok harinya aku dikirimkan surat panggilan untuk mendaftar di SMA terhebat ini tanpa adanya ujian penyaringan sama sekali.
Konyolnya lagi aku langsung diberi julukan sebagai Ilmuwan Muda Terhebat. Sebuah julukan yang diberikan sesuai dengan bidangku sebagai seorang kader ilmuwan yang dituntut mampu mendukung pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. "Mereka" bersikeras memintaku untuk memajukan budaya ilmiah unggul, mendorong komunitas ilmuwan muda untuk terus berinovasi melalui karya-karya ilmiah, dan memberikan dedikasi yang sebesar-besarnya untuk peningkatan daya saing bangsa.
Untuk kata ilmuwan muda, aku sebagai seorang profesional memang setuju. Namun, dengan menyandang julukan terhebat itu aku merasa sangat malu, karena memang aku tidak memiliki kelebihan untuk mendapatkan julukan tersebut. Aku malu jika suatu saat aku hanya menjadi bahan olokan masyarakat dunia jika aku tidak bisa bekerja dengan kapasitas seperti status terhebat itu.
Yah, seperti itulah keterpilihanku di SMA ini yang hanya sebuah ketidaksengajaan dari tes psikometri bodoh. Meskipun demikian, "Huuh." Kulepaskan napas panjang.
"Baiklah, kalau begitu." Kuucapkan kata itu perlahan, lalu kulangkahkan kaki ini langkah demi langkah melewati gerbang utama menuju ke gedung utama sekolah.
Tiba-tiba terdengar nyanyian sayu suara pria bernyanyi seriosa di telingaku. Sebuah suara yang membuat merinding bulu roma seluruh tubuh. Nyanyian yang diperdengarkan perlahan hingga sampai pada tingkatan tenor tertingginya. Tapi itu pasti hanya nyanyian semu saja. Aku tetap berjalan lurus ke arah pintu sekolah.
Kehidupan baru sebagai siswa baru SMA Sima Bangsa pun dimulai. Langkah pertamaku seharusnya berjalan sesuai harapan. Namun, kondisi ini justru menjerumuskan aku ke situasi yang gelap, suram, dan mencekam. Penderitaan.... Disitulah justru semuanya kuawali. Di mana kehidupan damaiku telah berakhir sudah. Kini dimulailah hari-hari dalam masa kesulitan terbesar di dunia ini.
Penerangan redup, penerangan korsleting. Lagi-lagi aku mendengar suara pria bernyanyi seriosa langsung pada tingkatan tenor tertingginya. Itu benar-benar memekikkan gendang telingaku. Semakin lama, semakin keras. Walaupun aku tidak melihat siapa pria atau apa pun di sekelilingku, kecuali kegelapan total yang hanya diterangi oleh bohlam lampu penerangan remang-remang yang telah korsleting di pinggir jalan yang tadi telah kulewati.
"Apa yang sedang kulakukan? Mengapa aku harus memilih jalan sekolah ini?"
Mungkin seharusnya aku sudah mengetahui kejanggalan ini sejak awal, bahwa aku bukanlah siswa si Ilmuwan Muda Terhebat yang selevel dengan siswa lain untuk mendapatkan tempaan pendidikan di SMA Sima Bangsa.
Aku.... Aku.... Aku hanyalah siswa si Ilmuwan Muda Terburuk yang tidak akan mampu menyelesaikan proses pendidikannya. Tidak akan pernah!
Lampu penerangan pecah. Cahaya tergantikan kegelapan. Dalam suasana kegelapan, aku terbangun dari kondisi tertidur dengan badan yang sedang duduk dan posisi kepala tertunduk lesu di atas meja. Kepalaku hanya beralaskan lipatan kedua tangan di atas sebuah meja kayu tua.
"Lutfi, apa kau baik-baik saja?"
Dia datang, dia datang lagi. Situasi yang menakutkan. Saat aku pura-pura tidur, gadis itu datang. Dia memaksaku untuk bangun ke kenyataan.
Di otakku, Symphony of Sorrowful Songs karya Henryk Gorecki sedang diputar. Lagu itu dengan sempurna menggambarkan keadaan sulitku saat ini: perasaan putus asa sama seperti orang-orang yang mendekam dipenjara dan saat akhir dunia dengan cepat mendekat. Hampir mirip seperti inspirasi Henryk Gorecki di balik lagu itu: tulisan seorang gadis berusia 8 tahun di dinding penjara Gestapo. Lagu itu membuatku teringat peristiwa holokaus selama Perang Dunia II.
Bahkan dengan mataku yang terpejam, aku tahu. Aku bisa merasakan kehadiran gadis yang memprihatinkan di sampingku saat ia menunggu budak ini terbangun. Sekarang, sebagai budak, bagaimana aku bisa lolos dari situasi ini?
Untuk menghindari bahaya, kugunakan komputer di otakku untuk segera menemukan jawabannya. Kesimpulan: berpura-pura tidak mendengar apa pun. Aku menamakannya sebagai strategi "berpura-pura tidur". Kesulitanku akan di atasi dengan strategi ini.
Jika gadis yang berbicara itu baik hati, dia akan mengabaikannya setelah mengatakan, "Yah, mau bagaimana lagi. Aku akan memaafkanmu karena kau menyedihkan." Bahkan pola seperti, "Aku akan menciummu jika kau tidak bangun, oke? Chuuu," juga tidak masalah.
"Jika kau tidak bangun dalam 3 detik, kau akan kucium."
Dalam waktu kurang dari satu detik strategi berpura-pura tidur kugagalkan, dan aku menyerah pada ancaman tersebut. Meski begitu, aku menolak untuk mengangkat kepala dan terus menolak.
"Lihat, seperti yang kuharapkan. Kau sudah bangun."
"Aku sudah tahu kelainanmu jika aku membuatmu marah."
"Itu bagus. Lalu apa kau punya waktu?"
".... dan jika aku bilang tidak?"
"Yah, aku tidak bisa memaksamu. Tapi aku akan marah jika kau tidak mau."
Dia kemudian melanjutkan.
"Dan jika aku marah, aku akan menjadi hambatan utama bagi kehidupan normalmu."
"Hooaamm...."
Kubuka perlahan kedua mata ini. Kedua tanganku juga melenggang ke samping untuk meregangkan setiap persendian di badanku hingga semua urat sarafku ikut terbangun. Badan yang terasa begitu pegal ini rasanya seperti aku baru saja terbangun dari proses tidur yang sangat lelap, sangat lama, dan.... Eh, tunggu!
Kulihat sekeliling ruangan dari tengokan kepala paling kiri hingga tengokan kepala ke arah paling kanan. Kuamati semua benda yang tersusun rapi dan terstruktur seperti kamar tidur pada umumnya.
Seorang gadis dengan rambut hitam panjang dan tajam, mata yang indah menunduk menatapku dari samping. Namanya adalah Putri Amaliya. Kelas 1-E SMA, teman sekelasku.
"Jangan terlalu takut. Itu hanya lelucon."
"Huuhh...."
Dengan setengah heran aku mencoba untuk mengingat-ingat kronologi waktu yang sekiranya terakhir kulakukan sebelum aku tertidur pulas di kamar ini. Hingga aku teringat sesuatu yang sangat jelas dari dalam alam sadarku.
Bukankah baru pagi ini aku datang ke SMA Sima Bangsa sebagai siswa yang beruntung itu?
Walaupun aku sama sekali tidak ingat alasan mengapa aku tidur di kamar ini, tetapi aku tidak mau terlalu memforsir mengingatnya, karena kondisi otakku rasanya sedang sangat rentan sakit kepala pascaterbangun dari lelapnya tidur ini. Keherananku itu membuatku hanya bisa menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa? Apa lenganmu masih terasa sakit?"
"Yah, kau masih bisa melihat di mana aku ditikam. Bagaimana kau akan bertanggung jawab jika ini menjadi bekas luka seumur hidup?"
Aku menggulung lengan kananku, dan menunjukkan lengan atasku kepada Putri.
"Di mana buktinya?"
"Hah?"
"Di mana buktinya? Apa kau mengatakan bahwa aku adalah pelakunya tanpa bukti?"
Tentu saja, tidak ada bukti. Meskipun satu-satunya orang yang cukup dekat untuk menikamku adalah Putri, sulit untuk mengatakannya secara pasti. Bagaimanapun, ada sesuatu yang penting untuk aku konfirmasikan.
"Apa aku benar-benar harus membantu? Aku akan memikirkannya lagi. Tapi bagaimanpun juga...."
"Hei, Lutfi. Menyesali keputusan saat kau putus asa atau saat kau sedang menderita.... Yang mana yang kau lebih sukai?"
Putri hanya menawarkan dua pilihan yang konyol dan ekstrem. Sepertinya dia tidak akan memberikan kompromi. Suatu kesalahan karena telah membuat kontrak dengan gadis nakal. Aku memutuskan untuk menyerah dan patuh.
"Jadi, apa yang harus kulakukan?" tanyaku sambil gemetar ketakutan. Aku tidak akan terkejut saat mendengar apa yang dia minta dariku. Aku tidak tahu bagaimana keadaannya menjadi seperti ini, tapi aku ingat kapan semua ini dimulai. Aku bertemu dengan gadis ini tepat dua minggu yang lalu.
Apakah itu pada hari upacara masuk?