Mereka sampai di klub yang dikatakan Zac pada pukul sebelas. Bukan waktu buka untuk klub malam, setahu Reina.
"Kamu jangan jauh-jauh," kata Zac di dekat telinga Reina. Gadis itu mengangguk kecil lalu perhatiannya segera beralih pada dua pintu terbuka di depan mereka.
"Tuan Red Rabbit! Selamat datang!" Sambut seorang pria yang lebih pendek dari Zac. Pria itu membungkuk kecil. "Anda bersama siapa ini?" Tanya pria itu.
"Reina. Lady-ku." Jawab Zac sambil mendekap pinggang Reina dan berjalan maju, masuk ke dalam gedung itu. Reina terus menatap pria botak yang tersenyum padanya itu. Kelihatan seperti penjilat, pikir Reina. Tapi gadis itu kembali ditarik oleh Zac untuk berbelok di ujung koridor.
"Apa kamu pernah ke klub malam sebelumnya?" Tanya Zac sambil berjalan menuju destinasinya. Reina menggeleng.
Gadis itu melihat-lihat sekelilingnya yang terasa sangat asing. Dinding kedap suara yang dilapisi kain karpet merah, tempat duduk melingkat yang di mejanya ada tiang besi. Di beberapa tempat ada sangkar emas yang sepertinya cukup untuk dimasuki dua orang dewasa dengan sebuah tiang besi juga berada di tengahnya. Sebuah DJ booth di ujung lain. Tempat itu membuatnya takjub.
"Apa aku perlu masuk, tuan?"
"Panggil aku dengan nama yang kamu berikan, Reina." Bisik Zac sambil meremas pantat Reina. Gadis itu terhenyak kaget, refleks mendorong tangan Zac menjauh. "Maaf, Zac." Koreksi Reina.
"Kalau kamu mau melihat-lihat aku tak masalah. Tapi bawa Leni bersamamu." Reina menoleh kepada pria botak dengan badan jauh lebih besar dari mereka yang berjalan mengikut di belakang mereka. Ia kembali menoleh kedepan sambil mengaitkan dua tangannya.
"Um, ok." Kata Reina. Zac tersenyum simpul lalu melepaskan dekapannya di pinggang Reina. "Leni, jaga bunny-ku." Kata Zac. Leni mengangguk lalu menoleh kepada Reina. Menunggu perintah atau pergerakan atau apa saja dari gadis itu.
"Um, halo. Aku Reina." Kata gadis itu sambil menjulurkan tangannya, bermaksud menjabat tangan Leni. Pria itu menjawab jabatan tangan Reina. Yang mengejutkan bagi Reina, tangan Leni tidak mencengkeram tangannya, malahan pria itu menjabat tangan Reina dengan lembut. "Leni Marshall." Kata pria itu.
"Jangan jauh-jauh." Pesan Zac sebelum ia masuk ke ruangan di ujung koridor bersama pria yang menyambut mereka di pintu tadi. Julian mengikut bersama beberapa penjaga.
Reina berdiri diam sambil menatap kakinya sejenak. Gadis itu memainkan tangannya lalu merentangkan lehernya keatas untuk melihat Leni yang menjulang tinggi. "Jadi, um Leni. Apa kamu lapar?" Tanya Reina.
Gadis itu membawa Leni keluar klub itu menuju sebuah restoran kecil di ujung jalan. Reina mengenal lingkungan ini. Ketika ia masih kecil ia pernah punya teman yang tinggal di lingkungan ini dan Reina sering datang mampir ke rumah temannya itu dulu. Jadi ia tahu kalau di lingkungan itu ada sebuah restoran yang sangat enak.
Leni sebenarnya sejak tadi mengingatkan Reina kalau mereka tidak bisa pergi terlalu lama dan terlalu jauh. Tapi Reina terus berkata kalau ia perlu makan. Ia lapar. Reina perlu makan.
"Kamu mau sesuatu Leni?" Tanya Reina, menoleh kepada Leni yang menatapnya tak menyangka gadis itu tidak takut padanya. "Y-Ya aku mau fish and chips dan lemon tea." Katanya.
Leni membawakan nampan berisi makanan mereka ke tempat duduk yang Reina pilih. Gadis itu memesan cheeseburger, kentang goreng dan soda. Ia segera duduk dan membuka bungkusan burgernya dan mulai memakannya.
"Kamu sedang ngapain?" Tanya Leni yang melongo padanya. "Makan milikmu." Katanya sambil mengunyah burgernya.
Leni menggelengkan kepalanya sambil menoleh kepada makanan di hadapannya. "Aku hanya sedikit kaget." Gumamnya.
"Hm? Kaget karena apa?"
"Kau."
"Aku?"
"Ya."
"Kenapa aku?"
Leni hanya menggeleng kecil sambil menyuapkan sepotong kentang ke mulutnya. "Kau berbeda dari yang sebelum-sebelumnya."
"Sebelumnya?"
"Ya. Tuan Red Rabbit tidak pernah melakukan escort lady-nya seistimewa ini." Yah Reina tidak merasa ia diperlakukan istimewa juga. Apalagi kalau Zac sedang ingin menyetubuhinya. Pria itu tidak akan memperlihatkan rasa pengampunan apapun.
"Apa dia kasar pada gadis sebelum aku?"
"Kadang gadis-gadis itu akan muncul dengan sedikit darah di ujung bibir atau dari hidungnya. Kadang lebam. Kayak kejutan." Kata Leni sambil menggedikkan bahunya. Reina merinding ngeri membayangkannya. Ia bisa saja mengalaminya setelah ini. Mungkin ia perlu berhati-hati dengan sikapnya di hadapan tuannya itu.
"Kenapa mereka berhenti?"
Leni terlihat berpikir. "Mereka tidak minta berhenti. Kalau Tuan RB bosan pada mereka, pria itu akan menyingkirkan mereka."
"Menyingkirkan seperti..-"
"Ya dibunuh."
Reina melongo mendengar Leni mengatakan kata itu dengan wajah datar. Seakan ia sudah sering mendengar atau bahkan melihatnya.
"Kenapa dia harus melakukan..nya?"
"Aku tidak pernah bertanya." Kata Leni.
Reina kembali diam dan makan dengan tenang. Ia bergelut dengan pikirannya tentang Zac dan sifatnya. Apa pekerjaannya dan bagaiman hidupnya sebelum ia bertemu Reina.
"Apa dia punya sifat baik sama sekali?" Tanya Reina ketika mereka berjalan kembali menuju gedung klub malam milik Zac itu. "Aku tak begitu dekat dengannya. Tapi setahuku dia akan memperlakukan wanitanha dengan baik kalau wanitanya patuh dan mendengarkan."
Zac sudah berdiri dengan kedua tangannya di dalam kantung celananya. Ia menunggu di depan, berbincang bersama Julian. Reina mengaitkan kedua tangannya di depan tubuhnya lalu berdiri di sebelah Zac.
"Saya sangat berterimakasih Anda mau mempertimbangkan tawaran saya Tuan Red Rabbit." Kata pria botak tadi itu. Zac mengangguk kecil sambil mendekap pinggang Reina dan berjalan menuju pintu mobilnya yang sudah terparkir di jalan depan mereka.
"Apa pertemuannya berjalan dengan baik?" Tanya Reina ketika hanya mereka berdua yang sudah berada di dalam. Zac menggedikkan bahunya.
"Ya. Berjalan dengan baik karena moodku sedang baik hari ini."
"Oh, baguslah." Kata Reina sambil tersenyum simpul. Zac menoleh kepadanya lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Reina. "Moodku baik karena milikmu terasa nikmat tadi pagi."
Reina terhenyak dan menoleh kepada Zac dengan dahinya yang mengernyit. Wajah gadis itu memerah, ia tersipu malu. Sangat menggemaskan. Sepertinya mulai sekarang Zac akan semakin sering melakukan itu. Membuat Reina tersipu malu.
"Aku serius, sayang. Saat kita pulang aku akan menghujam milikmu lagi dengan milikku dan membuatmu meneriakkan namaku."
"Zac, berhenti," cicit Reina.
"Kau tahu kau menyukainya, sayang. Ketika kau mendesah dan menjulurkan lidahmu. Kau harus lihat wajahmu ketika kau mencapai klimaksmu yang ketiga."
"Zac, aku malu. Jangan begitu." Kata Reina sambil mendorong tubuh Zac dengan pelan. Pria itu tertawa lalu kembali duduk tegak ketika Julian dan supirnya masuk ke dalam mobil.
"Kita pulang dulu." Kata Zac. Supirnya mengangguk kecil lalu menghidupkan mobilnya.
***
Reina berjalan menjauh, hendak menuju paviliunnya. Tapi tubuh ya ditahan oleh Zac yang menatapnya dari balik topeng pria itu. "Temui aku nanti malam. Aku akan berada di " Kata Zac. Reina mengangguk kecil lalu kembali berjalan menuju paviliunnya.
"Tuan." Panggil Julian. "Ada yang perlu saya bicarakan." Zac menoleh kepadanya lalu mengangguk.
Mereka berdua masuk ke rumah besar Zac dan pergi ke ruang kerja Zac yang berada di lantai dua. "Kau sudah menemukannya?" Tanya Zac.
Julian mengangguk lalu mengeluarkan sesuatu dari kantung dalam jas yang dikenakannya. "Nama gadis itu sama dengan nama yabg dicantumkannya. Ia memang tinggal sendirian dan tidak pernah memiliki hubungan dekat dengan pria lain."
"Apa dia punya keluarga?"
"Ibunya. Yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Witherspoon."
"Ayah?"
Julian menggeleng. "Saya tidak bisa menemukan dokumen kematiannya. Pria itu seperti menghilang begitu saja."
"Saudara?"
"Dia pernah punya adik perempuan. Tujuh tahun lebih muda."
"Hm, lalu?"
"Bukan cerita yang menyenangkan. Ia meninggal dua tahun yang lalu. Ayahnya sepertinya berhubungan dengan Vatyr. Adiknya diculik lalu kembali kepada mereka tak bernyawa."
Zac menghela napasnya sejenak. Lalu mengangguk. "Baiklah. Terimakasih, Julian." Katanya.
Zac bangkit berdiri lalu berjalan keluar kamarnya. Ia berjalan menuju lanyao satu dan pergi keluar. Ia tidak bisa menunggu sampai malam datang. Ia ingin bertemu dengan Reina sekarang.
Pria itu berjalan menuju paviliun Reina yang terang benderang. Ia mendapati Reina sedang berjalan mondar-mandir sambil membaca buku di kamarnya yang ada di lantai dua. Piza, anjing Reina, kelihatan mengikutinya mondar-mandir dengan senyum di wajahnya.
Zac mengetuk pintu depan Reina. Ia tak butuh menunggu lama sampai Reina kelihatan berlari turun dengan wajah kagetnya.
"Zac." Katanya dengan sedikit kaget di wajahnya. "Tapi katanya nanti malam?"
Zac mendekap tubuh Reina dan menutup pintu di belakangnya. "Aku tidak bisa menunggu sampai nanti malam." Kata Zac yang segera mendaratkan ciuman di bibir Reina. Ia segera menggendong gadis itu dan mengaitkan kedua kaki Reina di punggungnya.
Mereka terus berciuman sampai Zac naik ke tangga. Ia sesekali menahan tubuh Reina di senderan tangan selagi ia naik ke lantai dua.
"Ahh.. Zac ada apa?" Tanya Reina ketika kecupan Zac turun ke lehernya.
Zac hanya berdehem sambil menekan tengkuk Reina kearahnya supaya gadis itu tak menghindar. Reina bisa merasakan tekanan di setiap kecupan Zac. Seakan pria itu dipenuhi dengan hasrat.
"Zac."
"Hm?"
"Ada apa?" Zac tidak bergeming. Ia tidak ada maksud untuk menjawab pertanyaan Reina.
"Zac," panggil Reina lagi. Zac berhenti mengecup leher Reina dan menoleh kepada gadis itu, "Berhentilah memanggilku dan jadilah gadis yang patuh." Katanya.
Reina merinding ketika mendengar suara rendah Zac. Pria itu menatap wajah Reina yang memucat. Lalu tangannya menyapu helaian rambut yang turun menyapa pipi pucat Reina. "Aku tidak ingin menyakitimu, bunny. Jadi ikuti saja perintahku."
Reina menelan ludahnya, kembali teringat ucapan Leni tadi siang. Ia tidak tahu di posisi apa Reina di pikir Zac sekarang. Tapi ia berharap setidaknya ia tidak di posisi berbahaya.
***