Chereads / Penyihir Terhebat Bumi / Chapter 37 - Musuh Abadi

Chapter 37 - Musuh Abadi

Mereka berlari semakin jauh, semakin dalam menuju hutan lebat. Cahaya keemasan bulan tertutup oleh dedaunan pohon, sehingga mereka hampir tidak bisa melihat apa-apa. Emery berlari di belakang Silva, dan mendengar lagi suara dentuman keras yang membuatnya jatuh tersandung.

Silva berbalik dan berusaha menarik Emery. "Apa kau mau mati di sini? Berdirilah!"

Pikiran Emery seakan menjadi kosong, ia sama sekali tidak bisa berpikir jernih, dan suara Silva seakan menjadi suara sosok asing yang menyuruhnya bangun dengan kata-kata yang nyaris tak terdengar. Namun, saat wajahnya menabrak tanah, perlahan-lahan pikirannya menjadi jernih. Ia mengingat apa yang terjadi, mulai dari sang pria berbaju zirah merah, para magi yang sedang bertarung melawan naga, apa yang terjadi dengan Fatty dan Topper… Dada Emery terasa sesak, sebelum akhirnya ia muntah.

Akhirnya, telinganya berhenti mendengung, dan Emery kembali menyadari apa yang tengah terjadi. Sembari mengusap matanya yang basah, ia berusaha duduk, namun tanah yang bergetar, cahaya kilat yang menyambar di langit, serta suara ledakan mengingatkannya bahwa mereka masih jauh dari keselamatan.

Emery menggeleng sembari berusaha mengatur nafasnya. Seluruh tubuhnya, mulai dari kedua lengan, dada, punggung, serta kaki terasa sakit seperti ada yang menusuknya dengan ribuan jarum panas, hingga ia merasa seperti sedang berada di kawah gunung berapi. Emery menggertakkan giginya, jantungnya berdegup kencang seperti mau meledak, dan berusaha untuk menenangkan diri. Dengan suara yang gemetar, Emery memandang Silva dan berkata. "Lari… Tinggalkan aku. Kau tidak memiliki alasan untuk menungguku di sini."

Silva menatap Emery dengan terkejut sebelum akhirnya menghela nafas. "Kau ini… Memang benar-benar bodoh."

Silva berjalan mendekat, berpaling, dan memeriksa denyut nadi Emery.

Emery kembali berkeringat karena takut, dan ia berusaha menarik kembali tangannya. "Apa yang kau lakukan?"

Setelah memeriksa denyut nadi Emery, Silva mengernyitkan alisnya dan berkata. "Berhenti. Biarkan saja, jangan ditahan."

Emery mengeryitkan alisnya karena bingung. Apa maksudnya? Biarkan saja walaupun tubuhnya terasa panas dan kulitnya terasa seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum? Emery hendak bertanya, namun terdengar kembali suara yang tidak asing dari kejauhan.

"Apa yang akan kau lakukan!"

Emery seketika melupakan apa yang akan ia tanyakan dan memaksakan diri untuk bangun walau kakinya terasa lemas. Ia berlari ke arah suara itu, tanpa memedulikan rasa sakit yang membakar tubuhnya dalam setiap langkahnya.

Silva mengikutinya, menghela nafas, dan menarik pedang. "Lebih baik kita tidak menghabiskan waktu di sini. Kalau kau sudah merasa lebih baik, mari kita pergi dari sini."

"Kau tidak perlu mengikutiku kalau kau tidak mau, aku tidak akan memaksamu untuk ikut. Aku bisa menjaga diriku sendiri." Emery berkata dan menggertakkan giginya.

"Kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri, mengapa kau khawatir sekali dengan orang lain? Tidak ada gunanya sok baik di tempat ini." Silva menjawab, jejak amarah mewarnai suara-nya.

Emery memutuskan untuk diam dan fokus. Setelah berjalan sekitar seratus langkah, ia mulai berlari lebih cepat. Akhirnya, ia melihat Mags dan Cole sedang memojokkan seorang pria berdarah yang jatuh terduduk di tanah.

Pakaian pria itu telah robek-robek, dan kain yang tersisa pun berlumuran darah. Sementara itu, rambutnya sangat berantakan layaknya orang yang baru saja dari medan pertarungan.

Pria itu mirip dengan pria berbaju zirah merah yang dilihat Emery beberapa waktu lalu, dan penampilannya menunjukkan pria itu bukanlah manusia seperti mereka. Kulit pria itu sangat pucat, matanya bersinar, dan telinganya dua kali lebih panjang dari telinga manusia pada umumnya.

"Cole… ada apa ini?" Emery bertanya.

Cole masih menunjuk tombak-nya ke arah pria itu, sementara Mags berdiri di belakang Cole dengan memegang erat-erat tongkatnya. Cole menoleh ke arah Emery, namun tidak terlihat keinginan untuk menjelaskan kelakuannya. "Mags, hentikan sihirmu."

"Elf ini sebentar lagi akan mati. Jika kita laporkan dia, mereka bisa menghukumnya." Mags berkata dan membuat tongkatnya bersinar lebih terang.

"Tapi, kalau kita bunuh dia, kita bisa mendapatkan isi cincin-nya. Biarkan aku membunuh kecoa ini." Cole berkata, keserakahan tersirat dalam tatapan matanya.

"Elf?" Emery bertanya tanpa sadar.

"Kau bahkan tidak tahu tentang elf? Kau lebih parah dari perkiraanku." Silva berkata dan menurunkan pedangnya. "Elf adalah musuh bebuyutan umat manusia. Mereka adalah salah satu alasan mengapa akademi ini dibangun."

Akhirnya, Emery memahami mengapa Cole memperlakukan pria itu dengan kejamnya, namun Emery masih tak bisa melupakan apa yang dilakukan oleh Cole kepadanya dan Silva. "Walaupun aku kesal kau meninggalkan-ku dan Silva untuk mati di sana, sebaiknya kita tidak membuang waktu dan pergi dari sini. Fatty dan Topper sudah dibunuh oleh seseorang yang mirip dengan pria itu. Aku yakin pria itu terlibat dengan apapun yang sedang terjadi sekarang."

Cole memandang pria itu dengan jijik dan bersiap untuk menusuk pria itu dengan seluruh kekuatannya. "Mags, kau dengar dia. Biarkan aku membunuh makhluk sialan ini."

Elf itu memuntahkan darah, membungkuk, dan membuka matanya. "Anak-anak manusia, sebaiknya kalian pergi sebelum mereka tahu apa yang terjadi padaku."

Cole berteriak dan menusukkan tombak-nya ke arah kepala elf itu. Namun, elf itu menggerakkan tangannya, dan tombak Cole bergerak ke samping.

"Terlalu lambat, nak." Elf itu berkata sebelum menghilang dan kembali muncul di belakang cole. Elf itu menyentuh pundak Cole dan mengangguk. "Tapi, hmm… Fisik-mu cukup bagus dan kau cukup bertalenta."

Tiba-tiba, cahaya bersinar tidak jauh dari mereka, menciptakan sebuah portal. Portal itu mirip dengan portal yang biasa mereka gunakan, namun mereka tidak mengenal siapa yang datang.