Chereads / You're My Salvatore / Chapter 1 - Our First Meeting

You're My Salvatore

🇮🇩kalanadine
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Our First Meeting

"Ellie Dyandra!"

"Ellie!"

"El, sadar. Lo udah ngelamun terlalu lama.."

Suara Devan membuyarkan lamunan Ellie. "Ugh, gue capek banget. Jam berapa sekarang?" tanyanya sambil mengucek mata.

"Jam lima sore. Nanti malam mau ke Beer Garden? Atau Hito Sushi?"

Ellie menggeleng sambil merapikan barang-barangnya, "Kayaknya gue skip dulu hari ini. Capek banget abis ngelilingin Thamrin City kemarin."

Devan melengos kesal dan menarik tangan Ellie. "Ayo, dong, Darling. 'Kan Shefa mau nikah. Kok lu skip, sih?"

"Lu tahu kan kemarin gue dari Thamrin City demi nyari batik pesanan Joe Demian yang super duper sulit itu? Kaki gue udah mau patah hari ini."

"Malam ini aja. Di taping acara besok, kita nggak usah makan malam bareng lagi." pinta Devan sambil mengeluarkan jurus mautnya.

Melihat wajah Devan yang mengedip genit ke arahnya, Ellie terpaksa mengiyakan karena dia lebih baik menerima daripada ngeliatin muka Devan yang sok imut.

"Ugh, iya, deh. Inget, habis taping acara besok, gue langsung pulang, ya." ujar Ellie.

"Siap, Darling. By the way, siapa, sih, klien yang mau styling-in besok? Kok lu diajak ke taping acara dia?"

Ellie kembali menggeleng, "Gue bahkan nggak tahu dia siapa. Katanya, sih, CEO muda sukses. Gue bayanginnya kayak CEO di novel murahan itu, makanya dia semena-mena maksa gue ikutan taping."

"Untuk?" lanjut Devan.

"I wish I know, Van. Baru kali ini klien bukan artis yang minta gue untuk ikutan taping acara mereka."

Ellie Dyandra sudah menjadi stylist profesional selama 10 tahun. Di usianya yang menginjak 30 tahun pada tahun ini, dia sudah dikenal oleh banyak orang di dunia entertainment. Tak tanggung-tanggung, dia bahkan menjadi stylist artis Hollywood yang berkunjung ke Indonesia. Jam terbangnya yang banyak membuatnya menjadi salah satu stylist kenamaan di Indonesia.

Selain dari kalangan artis, Ellie juga terkadang menerima tawaran menjadi stylist untuk politikus atau para menteri untuk suatu acara penting. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah menata gaya Menteri Sosial, Ibu Diana Rahmawati. Dalam dunia ibu-ibu menteri, Ibu Diana Rahmawati selalu dikenal berpakaian dengan modis. Ketika Ibu Diana mengepos foto outfit tataan Ellie, namanya seolah ter-boost dengan bantuan Ibu Diana.

Namun, baru kali ini Ellie menerima klien dari kalangan pengusaha. Sebelum-sebelumnya, dia selalu menolak karena memiliki pengalaman buruk dengan klien dari kalangan tersebut.

Yup, benar. Mantan Ellie adalah seorang pengusaha bernama Beau, dan mereka putus dengan tidak baik-baik hanya karena Ellie sibuk sebagai stylist. Dia dan mantannya dulu juga bertemu lewat hubungan klien dan profesional seperti ini. Itu sebabnya Ellie selalu ogah-ogahan untuk menerima tawaran. Tapi, entah kenapa, saat Adha, sang CEO muda memintanya menjadi stylist, dia merasa ingin menerimanya. Mungkin dengan begitu, dia bisa melupakan traumanya dengan Beau.

"Mau sampai kapan lu nolakin klien pengusaha?" tanya Devan, asistennya, sambil menaruh baju-baju pinjaman ke dalam mobil.

"Van, pengusaha di Indo, tuh, ruangnya sempit. Mungkin aja salah satu dari mereka kenal sama Beau, and I don't know what's gonna happen later."

"Lu-nya yang terlalu pede."

Ellie menempeleng kepala Devan, "Berisik, deh. Yuk, mau makan ke mana? Kalo nggak jadi, gue pulang, nih."

"Siap, Nyah. Gue setirin, ya."

Setelah menyetir dari Jakarta Pusat menuju Jakarta Selatan yang ditempuh dalam waktu 30 menit, kini akhirnya mereka tiba di Sushi Matsu, Senopati.

"Katanya Sushi Hito?" dumel Ellie seraya turun dari mobil.

"Berisik, deh. Shefa dadakan pindah ke sana soalnya di sana ramai."

Makan malam ini ditraktir oleh Shefa, salah satu sahabatnya, yang akan menikah dalam sepekan. Katanya, makan malam kali ini akan sangat memorable karena di makan malam berikutnya, mereka akan kembali bertemu dalam keadaan Shefa menjadi istri seseorang. Ketika Ellie mendengar alasannya, dia tak habis pikir, memang sehebat apa, sih, jadi istri orang? Lagian ujung-ujungnya juga stuck di rumah.

Dari kejauhan, terlihat Shefa yang sangat senang melihat Ellie dan Devan.

"Ellie Darling!!!" teriak Shefa.

"Halo!" balas Ellie sambil memeluk teman-temannya satu persatu.

"Gue kangen banget sama lu. Yuk, duduk."

Setelah pelayan datang dan menerima pesanan, mereka asyik mengobrol untuk saling berbagi kabar. Sudah sebulan sejak mereka terakhir bertemu karena pandemi sialan. Saat mengobrol, tiba-tiba Shefa menyeletuk suatu fakta yang membuat Ellie kaget setengah mati.

"Adha itu temen gue, lho. Dia tadi tanya-tanya soal lu karena besok kalian mau ketemu." ujar Shefa.

"Adha yang CEO muda itu, 'kan?" tanya Devan tak percaya.

"Iya."

"Shef, dia kenal sama Beau nggak, ya?" tanya Ellie hati-hati.

Shefa meringis pelan sambil menahan tawa, "Ellie Darling, nggak semua CEO itu saling kenal. Lu-nya aja yang paranoid."

Gimana nggak paranoid? Beau adalah salah satu mantan Ellie yang paling manipulatif. Wajah tampan dan dompet tebal nggak menjamin seorang pria bakal jadi baik. Malahan, dua faktor itu yang sering menipu para wanita tak berdosa, salah satunya si Ellie. Kalau diingat lagi, semua kenangan itu membuat Ellie bergidik ngeri.

"Shefa, Sayang, siapa tau aja Adha kenal sama Beau." ujar Ellie khawatir.

"Nggak, kok. Tenang aja. Omong-omong, si Adha ini cakep banget, lho. Orangnya juga pendiam. Nggak banyak yang tahu soal kehidupan pribadinya." jelas Shefa.

"Ih, jangan-jangan kayak Christian Grey?" timpal Devan.

"Jangan ngaco, deh. Hans, tuh, beda. Dia emang tertutup karena nggak suka cerita soal kehidupan pribadi. Soal lain-lainnya, I don't know, sih, ya."

Ellie memijit kepalanya pelan. Dari penjelasan Shefa barusan, tampaknya klien barunya ini akan sulit untuk dihadapi. Benar juga. Seharusnya dia mengikuti kata hatinya untuk tidak menerima tawaran pekerjaan dari CEO.

Ellie Dyandra, what are you thinking?!

Keesokan harinya, Ellie datang ke lokasi syuting bersama Devan 30 menit lebih awal. Rencananya, mereka akan menyetrika uap suit yang akan dikenakan oleh Adha dan menyiapkan alat jahit siapa tahu ada yang harus di-alter. Saat masuk ke studio, terlihat sekerumunan orang yang saling mengobrol di dekat coffee table.

"Halo, Kak Ellie. Gue Dinar, tim produksi acara." sapa Dinar.

"Hai, Dinar. Gue harus ke ruang tunggu, ya?"

"Iya, Mbak. Pak Adha sudah menunggu."

Devan tiba-tiba nimbrung dari balik punggung Ellie.

"Sudah datang?" tanyanya tak percaya.

"Iya, sudah satu jam yang lalu. Gue bahkan telat juga."

Astaga, tampaknya kliennya hari ini sangat kaku sampai-sampai datang satu jam lebih awal. Biasanya, kalau klien orang besar seperti dia, kedatangan mereka dipenuhi adegan sibuk dengan keterlambatan 15 menit. Klien ini benar-benar kasus baru untuknya.

Setelah mengobrol sebentar, Dinar mengantar Ellie dan Devan ke dalam ruang tunggu. Di depan meja rias, terlihat Adha dan sekretarisnya yang sibuk membaca skrip.

"Selamat pagi, saya Ellie Dyandra, stylist Bapak." sapa Ellie.

Adha hanya mengangguk sekenanya, lalu kembali membaca skrip. Devan buru-buru berbisik ke telinga Ellie, "Jangan dibawa hati."

Benar, Ellie harus kembali fokus. Setelah pertemuan pertama nggak mengenakkan itu, ia pun mengambil tempat di ujung ruangan untuk menata suit. Outfit Adha untuk taping malam ini adalah dari brand Ferragamo, salah satu brand kesukaan Ellie. Dengan konsep semi-formal, Ellie memadumadankan suit velvet hitam Ferragamo dengan sepatu Converse Run Star Hike. Untuk kemeja dalam, ia memakai dari Gucci dengan corak vintage khasnya.

"Permisi, Mbak, saya Mira, sekretaris Bapak Adha. Outfit hari ini bisa di-fitting dulu? Soalnya ukuran Pak Adha agak sulit."

"Saya Ellie. Boleh dicoba sekarang. Sudah saya setrika uap."

Dari kejauhan, terlihat Adha berdiri dengan wajah menunduk. Ellie tak menduga bahwa Adha akan setinggi ini. Kira-kira tingginya 185 cm, dan lebih cocok jadi pemain basket daripada CEO. Proporsi tubuhnya lumayan bagus. Pembagian antara torso dan bagian kaki cukup rata. Badan seperti dia cocok dipakaikan berbagai model pakaian. Bisa dibilang, tubuh impian para stylist karena tak perlu bekerja ekstra. Untuk wajah, ia juga lumayan. Rahangnya tajam, berhidung bangir, dan punya tulang pipi yang besar. Matanya juga agak sipit dengan bulu mata yang panjang.

Tipikal wajah CEO muda yang mungkin hobinya main cewek.

"Ini kemeja dan celananya. Bisa dipakai dulu. Nanti saya bantu memaskan blazernya." suruh Ellie sambil menutup ruang ganti.

Sepuluh menit kemudian, Adha keluar sambil mengangkat kedua tangannya. "Bagian ketiaknya agak kebesaran." ujarnya sambil tetap memandang lantai.

"Bisa diperbaiki. Coba sekalian jasnya."

Kini Ellie ada di depannya. Hatinya berdesir sebentar, tapi buru-buru kembali fokus karena masih ada banyak PR untuknya. Jas velvet hitam yang dia pasangkan ternyata sangat pas di tubuh bidang Adha.

"Okay, Pak. Kayaknya tinggal meng-alter kemeja aja. Tolong dilepas lagi."

Tak lama, Adha keluar dari ruang ganti dalam keadaan topless dan hanya ditutupi dengan jas. Kemeja yang perlu diperbaiki tergantung di ruang ganti.

"Maaf, Pak, apa nggak panas pakai jas? Saya bawa robe..." tawar Devan kepada Adha.

"Oh... Ternyata ada robe. Saya kira harus dipakai begini. Pinjam, ya." jawabnya sambil mengambil robe dari tangan Devan.

Ellie hanya bisa tercengang seolah mengalami culture shock. Baru kali ini ada klien yang benar-benar clueless soal syuting. Devan menyentil mulut Ellie. "Tutup mulut lu. Klien hari ini bakal bikin lu shock berkali-kali. Adanya kering mulut lu."

"Van, ini gak normal. Ini aneh!" bisik Ellie.

"Iya, gue tahu. Santai. Lu udah 10 tahun jadi stylist. Chill."

"Okay...?" jawab Ellie tak yakin.

Adha pun keluar dengan robe dan berjalan cepat ke meja rias. Tampaknya dia malu dengan kebodohannya barusan. Ellie dan Devan buru-buru mengambil kemeja yang agak lembap karena keringat dan memperbaikinya. Selama bekerja, Ellie terus-terusan memandang bentuk pinggang Adha yang terlihat dari robe yang ketat. Dia bodohnya lupa mengukur ukuran pinggang karena terlalu syok. Mau tak mau ia harus terus mengira-ngira dengan ukuran pinggang.

"Van, tolong ukur ukuran pinggang dia, dong." bisik Ellie.

"Ogah. Gue malu."

"Gue juga, tapi kalo salah ukuran gimana?"

"Lu aja." timpal Devan.

"Van!" bentak Ellie sambil lanjut berbisik.

"Okay, okay!"

Devan pun bangkit dan mengukur pinggang Adha. Lelaki itu tetap diam dan berdiri dari canggung sambil menatap lantai. Matanya tak bisa lepas dari lantai. Memang ada apa, sih, di sana? Semut? Kecoa?

"Maaf, Pak, kalau bisa tubuhnya ditegakkan, ya, biar ukurannya tepat." ujar Ellie hati-hati.

Adha tetap diam tak bergeming. Mira pun akhirnya membantu dengan menegakkan tubuh dan mengangkat wajah Adha. Kini pandangannya sibuk menatap ruang ganti yang berada di belakang Devan. Orang ini alergi sama manusia atau gimana, sih? Ellie tidak bisa habis pikir dengan makhluk di depannya.

Setelah sesi mengukur yang penuh kecanggungan, akhirnya Devan dan Ellie bisa bekerja dengan fokus.

Dua puluh menit kemudian, Dinar masuk ke dalam ruangan untuk memberi aba-aba. "Semuanya, taping live dimulai 10 menit lagi, ya. Get ready!"

Ellie pun buru-buru menyelesaikan jahitan dan memberikan kemeja itu pada Adha. "Silakan coba lagi, Pak. Kalau masih kebesaran, terpaksa pakai penjepit." ujar Ellie.

Adha hanya mengangguk diam, lalu masuk ke ruang ganti. Tak lama, ia keluar dan kembali mengangkat tangannya. Meskipun masih agak kebesaran sedikit, jika dipakaikan jas, tidak akan terlihat. Akhirnya Ellie bisa bernafas lega. Setelah merapikan outfit dan touch-up riasan, Adha akhirnya mulai taping di studio.

Acara hari ini membahas tentang kisah sukses tiga CEO muda, salah satunya adalah Adha, yang ternyata seorang CEO perusahaan game terbesar di Indonesia. Beberapa game-nya bahkan sempat hits di pasar barat. Meskipun usianya baru 28 tahun, perusahaannya sudah bisa membuka kantor cabang di Amerika. Ketika Devan mendengar bahwa Adha kreator dari game favoritnya, ia berubah menjadi mode fanboy.

"El, dia ternyata yang bikin game Assistant, dong! Astaga, gue harus sungkem. Harus!" teriak Devan kegirangan.

"Nggak usah lebay. Tenang. Lu asisten gue. Harus classy."

"Ah, nggak asik lu!"

"Bodo!" cibir Ellie.

Ternyata taping acara ini sangat lama, sekitar lima jam. Ya, lebih baik, sih, daripada pemotretan yang biasanya menghabiskan seharian. Tapi, menunggu taping lebih membosankan daripada mengikuti jadwal pemotretan. Saat break, Adha masuk ke ruang tunggu dan berbisik pada Mira. Setelah mengangguk paham, Mira pun menghampiri Ellie.

"Mbak Ellie, kata Pak Adha, sampai bertemu di taping selanjutnya." ujar Mira.

"Um? Memang masih ada taping lagi?"

"Masih, Mbak. Tiga lagi."

Astaga, inilah pentingnya membaca kontrak sebelum mengiyakan. Ellie baru tahu kalau taping acara ini empat kali. Walaupun agak malas mendandani Adha yang kelewat pendiam, ia pun terpaksa menjawab iya.

"Okay, Mir. Siap." jawab Ellie.

"Okay, Mbak. Saya laporkan ke Pak Adha."

Mira kembali ke meja rias dan membisiki Adha soal jawaban Ellie. Lagi, Adha hanya mengangguk sekenanya sambil mengintip Ellie lewat kaca meja rias. Saat tatapan mereka bertemu, ia kembali menundukkan pandangannya ke lantai. Hah? Ada masalah apa sebenarnya si Adha ini? Alergi sama cewek?

Syuting baru selesai pukul 20.00. Setelah merapikan outfit dan bersiap pulang, Mira kembali menghampiri Ellie.

"Mbak, diajak Pak Adha makan di restoran untuk tanda terima kasih." ujar Mira.

"Saya skip karena harus menyiapkan outfit besok."

"Yah, padahal Pak Adha sudah memberanikan diri ngajak orang lain."

"Maksudnya?" tanya Ellie bingung.

"Pak Adha bukan tipe yang extrovert. Mengajak Mbak dan Mas ke dinner, berarti dia mulai perhatian."

Devan pun mengangkat tangannya, "Gue bisa datang. Ya, kan, El? Gue aja yang ngewakilin."

Adha pun bangkit dari kursi meja rias dan menghampiri Ellie. "Saya tahu... restoran lezat di dekat sini." ujarnya sambil menatap lantai.

"Maaf, saya sibuk." balas Ellie.

"Oh..."

Suasana yang mendadak hening membuat Ellie dengan cepat mengubah jawabannya. "Okay, saya bisa, tapi nggak lama."

"Okay...."

Mira memberikan gestur minta maaf dari balik punggung Adha. Tampaknya dia tahu betapa sulit bosnya untuk bertemu orang.

Dalam perjalanan keluar, Ellie berbisik kepada Devan. "Van, please tulis ini di buku sejarah: Ellie Dyandra mengiyakan ajakan dinner seorang CEO."

"Sarkas banget? Ingat, masih ada tiga taping lagi."

"Ah, sialan!!!"