"Cinta, satu kata beribu makna"
.
.
Apa pendapatmu tentang cinta?
Sebagian orang pasti akan berpikir bahwa cinta adalah suatu keharusan. Cinta itu seperti aliran air yang dibutukan dan diam-diam menghanyutkan. Cinta mengajarkan seseorang untuk jujur dan berkorban, memberi dan mempertahankan, juga seperti bunga yang tak layu dan selalu menebar harum manisnya rasa. Cinta adalah hal yang menyenangkan sekaligus menakutkan secara bersamaan. Cinta. Satu kata beribu makna. Tidak ada yang benar-benar dapat mendefinisikannya. Banyak yang telah berusaha untuk menggambarkan hal itu didasarkan pada perasaan yang mereka alami, tetapi kita dapat mengatakan bahwa: Cinta bukanlah perasaan. Cinta adalah suatu keputusan yang kita buat berdasarkan keyakinan.
"Kamu percaya akan adanya cinta?"
Pertanyaan itu kembali terngiang dalam pikiran gadis berkacamata yang tengah duduk di atas balkon. Nadila mengacak rambutnya gemas saat kembali mengingat pertanyaan yang kemarin dilontarkan oleh sahabatnya sukses membuatnya berpikir keras. Sebenarnya apa itu cinta?
Baginya, cinta hanyalah suatu permainan hati dan dia berpikir untuk tidak perlu melibatkan emosi di dalamnya karena hal itu hanya akan membuang-buang tenaga secara percuma saja. Cinta hanya sebuah tipu muslihat, itulah yang ia tekankan dalam pikirannya setiap kali mendengar kata 'cinta.'
"Cinta? Tentu saja itu hanyalah perasaan yang munafik. Hanya orang-orang bodohlah yang percaya akan cinta dan mereka hanya akan diperdaya oleh kata-kata manis itu, " tuturnya dengan tegas saat kemarin mendapatkan pertanyaan dari sahabatnya.
Nadila semakin menenggelamkan kepalanya dibalik bantal. Ia sudah mulai dibuat pusing dengan pertanyaan sederhana itu. Apakah perasaan itu benar-benar munafik seperti yang ia rasakan atau semanis yang dibicarakan oleh orang-orang. Yang pasti adalah jika sudah jatuh cinta maka ia juga harus siap menerima pahitnya patah hati karena cinta tidak melulu tentang kebahagiaan saja.
"Huh.. Menyebalkan. "
Nadila menyibak bantalnya dengan kasar karena frustasi, lantas turun dari balkon dan berjalan ke dalam menuju wastafel untuk membasuh mukanya sembari berharap penatnya pun ikut menghilang darinya seperti air yang mengalir ke saluran pembuangan. Ia kemudian mengambil ponselnya diatas meja dan menekan nomor. Terdengar bunyi berdering lalu suara orang yang terhubung dari seberang. "Halo.. ?"
"Kamu ada waktu gak? ," tanyanya basa-basi dan dijawab cepat oleh si penerima telpon dengan deheman panjang. "Ada, kan? "
"Iya, ada. Emangnya kenapa? "
Nadila berkaca, tangannya meraih bedak di meja rias lalu mulai menaburkan itu ke wajahnya. "Sepertinya aku butuh refereshing. Gimana kalau kita keluar? "
"Oke. Tunggulah 15 menit, nantu aku susul kamu di rumah, " ucap si penerima telepon yang langsung memutuskan kontaknya dengan Nadila.
*****
Ting tong
Bel rumah berbunyi keras. Aku segera menuruni tangga, berjalan menuju pintu lalu membukannya. Seorang perempuan terlihat memasuki ruangan dengan santainya lantas duduk di sofa ruang tamu seolah ini rumahnya sendiri. "Tante dimana, Nad? "
"Pergi kerja, " jawabku singkat.
Dia hanya mangut-mangut saja mendengarnya. kami lalu mulai bergegas menuju Mall yang tengah menjadi tujuan utamaku untuk membeli novel. Namun, ketika sampai disana harapanku mulai sirna ketika Rika menarikku kearah toko baju dan sepatu. Ya, dia kalap memilih barang yang ada disana. Entah berapa banyak yang dia beli karena setelah keluar dari toko tersebut, karena kulihat Rika membawa banyak paper bag ditangan kanan dan kirinya. Aku menggelengkan kepala. "Ayo, cepat. "
Kami kembali turun dan memasuki toko buku novel, entah ini hanya perasaanku saja atau bagaimana, namun aku merasa seperti ada yang mengikutiku tapi saat memutar kepala kebelakang, aku tidak menemukan siapapun disana.
"Kamu mau beli apaan? ," celetuk Rika padaku. "Maksudku, kamu kan udah punya banyak buku novel di rumah. "
Aku menggelengkan kepala. "Yang ini belum. Seriesnya baru terbit kemarin dan aku harus beli. "
"Dasar fantatik. Yasudah aku mau duduk dulu disana, " ujarnya sambil menunjuk bangku dibagian pinggir rak-rak an. Aku hanya membiarkannya saja.
Kurasa aku terlalu fokus memilih sampai tak sadar jika ada seseorang yang juga ingin mengambil novel, namun terhalang olehku. "Permisi. "
Aku kaget dan spontan menggeserkan kaki kiriku, "iy... "
Belum juga aku selesai menjawab, aku melihat wajah orang yang sangat ingin ku hindari. Reynald. Tiba-tiba moodku langsung berubah dan senyum yang menghiasi bibirku langsung luntur seketika. Aku segera berjalan hendak melewatinya namun tanganku langsung ditahan dengan cengkraman yang kuat. Aku melotot garang. "Apa sih. Lepasin!"
"Tunggu dulu, Nad. Dengerin dulu penjelasanku, " ujarnya dengan memasang wajah memelas.
Aku menempisnya kasar. "Gak. "
"Dengerin dulu. Aku juga udah capek-capek buat ngikutin kamu sampai sini tau gak, " katanya dengan wajah merah padam.
"Ohh.. jadi kamu yang ngikutin aku daritadi? Ngeri tau gak si! " cercaku lalu langsung berlari dan menyeret tangan Rika dengan cepat untuk meninggalkan toko buku itu. Lupakan novel yang hendak aku beli, sekarang yang kupikirkan hanya satu: lari.
"Eh eh tunggu dulu, kamu kenapa?, " tanya Rika ngos-ngosan karena tadi berlari secara mendadak.
"Reynald."
"H-hah? Maksudmu ada Reynald disini? "
"Iya. Dia mengikuti kita sedari tadi, " jawabku enahan amarah.
Rika yang mengerti akan masalahku langsung mengangguk dan mengajakku untuk pulang secepatnya. Rasanya aku ingin segera menghilang dari sini.