Mega selalu percaya bahwa belajar adalah usaha paling keras yang harus ia lakukan untuk menggapai mimpi. Namun terkadang dia juga merasa lelah. Satu waktu ia juga ingin pergi hang out bersama temannya yang lain. Atau menikmati masa SMA sewajarnya yang orang katakan. Tapi prinsipnya tak mempersilakan.
Seperti sekarang teman-temannya tengah sibuk membahas tentang rencana refleshing ke hutan pinus yang jaraknya tidak terlalu jauh, pada hari sabtu. Mega hanya mendengarkan sesekali akan mengangguk, tidak dia tidak setuju untuk ikut. Hari sabtu dan minggu dia memiliki jadwal les tambahan mengingat kini sudah kelas 12.
"Ah mantep banget, udah lama gak jalan barengkan sama anak sekelas. Gila aja tiap hari makan materi gak penting, kalau bukan ortu males banget gua sekolah." Remaja pria itu berkata dengan menggebu-gebu membuat teman-temannya bersorak menyetujui.
"Bener banget anjir, otak gua rasanya udah berasap apalagi kalau belajar matematika."
Pria yang terlihat lebih tenang mengambil alih pembicaraan. "Sabar guys, kembali lagi ketopik awal. Inget hari sabtu kita ke hutan pinus buat refreshing jangan lupa bawa tikar buat yang udah ditugasin dan bawa makanan apa aja. Jangan ngaret juga jam delapan pagi kumpul di sekolah."
"Siap pak ketu."
"Oh iya, buat yang gak mau ikut tolong usahain buat ikut ya, soalnya kita udah kelas dua belas, bentar lagi pisah."
Mega menghela napas. "Maaf pak ketu, saya gak bisa ikut bukannya apa tapi saya ada les di hari sabtu dan minggu."
Perempuan dengan lipstik sedikit merah mendorong kepala Mega dari belakang, membuatnya mendelik marah. "Alesan aja, biasanya juga lo gak ikutkan?"
"Apa sih? Suka-suka gualah, kok lo yang nyolot?" Suara Mega sedikit melengking membuat gadis itu terkejut. Dia paling tidak suka kalau ada orang yang mendorong kepalanya, selain tidak sopan itu juga berbahaya.
Perempuan yang tengah dibedak itu menatap Mega dengan sinis. "Gak usah teriak, lebay banget. Lagi pula orang apatis kaya lo gak akan ngerti pentingnya acara seperti ini."
Mega menatap Ayu, gadis yang mengomentari sikapnya dengan sinis. "Terus masalah gitu kalau gua apatis? Tapi gua mikir kalau semua sikap gua itu realistis."
Suasana kelas menjadi tegang. Semua mata tertuju kepada mereka. "Ngaca, lihat sikap lo, realistis gak gitu juga."
"Gua emang gak peduli sama acara kelas, karena gua punya hal lebih penting yang harus dikerjakan. Seenggaknya gua berusaha untuk care dan menghormati, buktinya sekarang gua dengerin diskusi, mengikuti dengan khitmat walau gua tahu cuma buang-buang waktu."
Mega tahu sekarang tidak hanya Ayu, tapi hampir semua orang marah padanya. Tidak, dia tidak arogan, hanya sedikit emosi yang membuatnya hilang kendali akan kontrol diri.
"Lo kalau gak mau gak usah ngomong kaya gitu. Prioritas tiap orang beda." Sahrul yang sedari tadi mendengarkan, menurunkan ponselnya. "Lo pikir belajar akan membuat lo sukses? Yakin banget."
Mega berdiri dengan mengepalkan kedua tangannya. Dia tidak suka kalau ada orang yang berkata seperti itu. Belajar memang tidak menjadi jaminan kesuksesan, tapi dengan belajar setidaknya bisa membuatnya lebih percaya bahwa keberhasilan itu ada.
"Kalau belajar gak buat lo sukses ngapai lo sekolah? Sekolah untuk belajar, sia-sia aja lo datang tiap hari, dengerin guru, nyatet, menghafal, ngitung, ngerjain tugas. Kasian ya lihat orang pesimis." Wajah Mega sudah berubah warna menjadi merah matang ketidak berkata seperti itu, sebelum ia sempat mengeluarkan banyak kata Merry sudah lebih dulu menahannya. "Istigfar Mega."
"Lo!" Roni yang duduk di dekat Sahrul segera menahan pemuda itu supaya tidak beranjak.
"Apa gua salah?" Tantang Mega dengan ekspresi sinisnya.
Aziz, ketua kelas, yang melihat mereka saling melempar perkataan sinis, menghela napas berulang kali mencoba tidak terpancing emosi. Lalu menggebrak meja, membuat kelas kembali hening.
"Jangan berantem gara-gara hal seperti ini, kalian sudah dewasa malu-maluin aja. Perioritas setiap orang berbeda, jadi saling menghormati apa susahnya? Jangan malah saling melempar maki. Inget besok kumpul jam 8, jangan ngaret. Berangkat kalau mau berangkat, gak ada paksaan." Setelah berkata seperti itu Aziz menarik tasnya dan keluar kelas.