Kemudian David bertanya lagi, dengan berbisik, "Apa anda cemburu karena tidak bisa mengambil ciuman pertamanya?" dia semakin geram ingin memukulnya, "Untuk apa aku cemburu, bodoh?! Ya Tuhan, inilah kenapa aku tidak suka memiliki pelayan yang satu tahun lebih muda dan lebih tinggi dariku." Desahnya kesal.
**********
Saki membuka pintu rumah, lalu masuk, dan menutup pintu begitu sudah berada didalam. Kemudian, dia berjalan menuju rak sepatu dan sandal yang berada di dekat teras. Tiba-tiba seekor anak kucing mengengong keras berlari ke arah Saki yang baru saja pulang, dan dibelakang kucing tersebut, adik Saki- Sasha mengejarnya.
"LEN!! Kemari kau kucing nakal!!" bentak Sasha mengejar kucing oranye, "MIAAUU!! (GAK MAUU!!)" balas kucing tersebut.
Dan saat Saki berbalik, kucing tersebut melompat ke arahnya dengan senang, "MEOOWWW~ (Majikan muda tertua~~)" akan tetapi, dia justru jongkok menghindar, sampai kucingnya mengengong panik, menabrak pintu rumah, dan terjatuh pingsan.
"Dasar kucing bandel.... Oh, sudah pulang ternyata. Selamat datang, Raja Bodoh." Kata adiknya dengan nada sarkas. Namun, tidak dibalas olehnya sama sekali, dia langsung berjalan menuju ke atas tangga. Sasha melihatnya heran dengan muka mayun, setelah diabaikan begitu saja. Ada apa dengannya? –pikirnya heran.
Lalu berjalan menggendong kucingnya –Len, "Mama. Aku mau keatas dulu." Ucapnya keras dari teras, "Iya! Apa kakakmu sudah pulang? Kalau sudah, katakan padanya. Dua minggu lagi, dia harus pergi les privat." Balas mamanya dari dapur yang suaranya tidak kalah keras. "Ya! Akan kusampaikan padanya. Aku ada di atas." Cetusnya berjalan menaiki tangga menyusul kakaknya.
Kemudian, begitu sampai dilantai dua, ia melihat pintu kamar kakaknya yang tertutup rapat, dan berdecak lidah, "Apa yang membuatmu terpuruk begitu, kakak bodoh?" gumamnya berjalan cepat ke kamarnya sendiri, membuka pintu yang terhubung dengan kamar Saki.
Dilihatnya Saki tengah murung duduk dikursi meja belajar, dengan menelungkupkan kepala kedalam tumpukan tangan diatas meja. Ia mendengus kesal, dahinya berkerut, sangat kesal melihatnya murung, dilemparnya Len kearah Saki.
Len mengengong terkejut sampai jatuh di punggungnya, dengan cakar yang menancap di seragam yang masih dia pakai. Dia mendesis kesakitan, masih dalam posisi yang tetap tidak berubah sedikitpun. "Hei, katakan padaku apa yang menimpamu sampai murung." Tuturnya sambil duduk menyila di dekat pintu, namun tidak ada jawaban darinya, ia mendesah, "Kak, apa yang membuatmu murung? Apa kau tidak suka disana? Apa seseorang menyakitimu?... kak- .." menoleh melihat Saki, tidak ada reaksi apapun, ia membuang napas kasar sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, "Ayolah! Hei, kakak bodoh-" kekesalannya terhenti saat dia mulai bicara.
"Aku... sudah mengacaukannya, di hari pertama masuk. Aku sudah membuatnya marah." Gerutu Saki dengan posisi yang sama, "Len, turun. Cakarmu sangat menyakitkan." Lanjut Saki merengek, ketika mendongakkan kepala sedikit. Len langsung melompat turun dari punggungnya, dan tidur dikasur hewan, samping meja belajarnya.
Lalu dia menarik kedepan bagian belakang baju seragamnya, berkerut kening tidak senang, "Aish.. sobek deh. Besok juga dipake lagi. Udahlah, sana balik ke kamarmu sendiri." Ketusnya acuh mengusir Sasha. "Ya, aku tahu. Setidaknya, kau sudah mau cerita sedikit." Sahut Sasha berdiri dari tempatnya, dan beranjak pergi sembari menutup pintu.
Setelah adiknya pergi, dia beranjak dari kursi, berjalan menuju almari kayu coklat tua mengkilap yang pintu sebelah kirinya terpasang cermin di bagian luar, lalu dibukanya pintu almari sebelah kiri, kemudian mengambil jaket hoodie putih dengan warna hitam pada bagian ujung lengan, batas badan bawah, tudung dalam, serta tali di tepi kasur. Dilepasnya seragam sekolah, lalu dilempar ke tepi kasur, bersebelahan dengan hoodie yang baru saja diambilnya. Lalu, setelah melepas seragamnya, dia menghempaskan diri ke belakang sampai jatuh ke kasur –masih dalam keadaan setengah telanjang. Dada bidang yang lebar, otot perut yang rapi alias sispack, kalau para kaum hawa melihat mereka pasti akan mengincarnya, ditambah lagi dia tampan nan manis.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara dari kamar Sasha yang mengetuk pintu sambung, "Oi, apa kau masih belum pakai baju?" dia menghela napas sambil bangkit dengan duduk di tepi kasur, "Ya. Kenapa? Mau liat body sispackku, ya?" Sasha tak bergeming, lalu diapun melirik jendela dengan korden yang berkibar ditiup angin dari luar, dan berbalik bertanya, "Apa yang ingin kau bicarakan?" Sasha menjawab, "Dua minggu lagi, kau harus pergi les privat. Itu pesan dari ibu, tadi aku lupa mengatakannya padamu. Kalau sudah selesai, cepat turun. Ada cemilan yang banyak hari ini."
Dia segera memakai hoodie, dan menggantung seragamnya ke dalam almari, "Ya, aku akan segera turun menyusul nanti. Katakan itu pada ibu." Tuturnya datar, "Akan kukatakan nanti." Balas adiknya yang langsung pergi turun ke bawah melalui tangga.
Dan ketika dia sudah turun menuju ruang makan, ibunya tersenyum sembari berjalan mengambil sekotak kardus yang cukup besar dari dapur, akan tetapi karena terlalu berat, dia menghela napas berjalan menghampirinya, ibunya cengengesan begitu dihampiri olehnya, "Bagus, bawa kotak ini." Titah ibunya, dia mengangkat dan membawa kotak itu seperti titah ibunya, lalu bertanya, "Jadi, kenapa aku perlu membawa ini?"
Ibunya mendesah, "Sudahlah, bawa saja dan antar ke rumah tetangga kita yang dekat di persimpangan jalan. Oh ya,... rumahnya bersebelahan dengan rumah kita. Begitu kau sampai, bersikaplah sopan dan ramah padanya." Saki terperanjat kaget saat mendengar letak rumah yang harus dikunjungi, melihat dia yang panik, ibunya yang tengah menata cemilan di atas meja ruang makan terheran-heran, "Saki, apa kamu tidak bisa mengantarnya? Kenapa kamu kelihatan panik begitu?"
"Ti-tidak ada. Aku bisa mengantarnya kesana. Akan kuantar sekarang, aku pergi dulu." Sanggahnya gelagapan beranjak pergi dari sana dengan langkah yang terburu-buru. "Hati-hati saat membawanya." Teriak ibunya.
BLAM
Setelah Saki keluar dari rumah, kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan dan rutukan pada dirinya sendiri, bagaimana ini? Dia pasti sangat membenciku. Bukankah waktu itu aku tidak langsung melakukannya? Kalau memang iya, dia pasti tidak akan membenciku, dan menganggapnya biasa saja.Tapi, apa dia akan menganggapnya seperti hal yang biasa saja? Astaga, memikirkan hal ini bisa membuatku makin pusing.
Tanpa disadari, dia sudah berdiri di depan rumah Kahime. Seketika keringat dingin bercucuran membasahi wajahnya, "Sial. Aku beneran kesini." Umpatnya.
"Ada perlu apa kau kesini?" tanya seseorang dari belakang, membuat dia kaget. Napasnya tertahan, matanya membeliak menatap orang yang tepat berada di belakangnya. Itu adalah Kahime yang baru saja selesai berbelanja dengan membawa dua kantong plastik besar.
"Oi, cowok aneh. Kalau kau tidak ada perlu, menyingkirlah." Desah Kahime melototinya dengan kesal.