"Tapi…" Bu Widya ingin mengatakan sesuatu, tapi Fariza tidak memberinya kesempatan lagi, "Bu, aku akan mengajak Wildan keluar untuk bermain, dan kami akan segera kembali."
"Hei! Tunggu dulu!" Melihat Fariza keluar sambil memegang tangan Wildan dengan erat, untuk sementara, Bu Widya tidak bisa menahannya. Dia sedikit heran. Bukankah Fariza selalu membenci Wildan sebelumnya. Dia selalu menganggap Wildan bodoh dan memalukan selama ini. Mengapa dia tiba-tiba berubah?
Secara alami, Fariza tidak mengetahui pikiran Bu Widya Saat ini. Dia sedang berjalan bersama Wildan di pinggir jalan desa. Pada 1980-an, tidak ada gedung tinggi dan lalu lintas yang ramai, terlebih di pedesaan seperti Desa Tutur ini. Tidak ada polusi di udara, tidak ada kemacetan. Yang ada hanya pemandangan dan udara segar dari alam yang hijau.
Fariza memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Sebelum dia bisa menikmatinya, dia tiba-tiba mendengar bisikan di sekitarnya.
"Hah? Bukankah itu Fariza? Bagaimana mungkin dia berani keluar sekarang?"
"Benar-benar tidak tahu malu! Dia bahkan berani merayu Pak Dadung!"
"Hei, bukan hanya melepas pakaiannya, dia juga memeluk Pak Dadung. Bukankah itu terlalu vulgar? Dia masih muda tapi kelakuannya sangat buruk."
"Diam, tutup mulut kalian. Aku dengan dari neneknya, dia berkata bahwa Fariza sangat gila. Tadi dia mengambil pisau untuk menikam neneknya sendiri!"
"Apa? Bahkan neneknya sendiri akan dibunuh olehnya?"
"Iya, benar! Dia memang tidak punya akal sehat. Jika dia putriku, aku pasti sudah memasukkannya ke rumah sakit jiwa dari dulu. Dia sangat gila!"
"Tapi bagaimana Pak Dadung mau menikahinya?"
"Aku tidak tahu lagi tentang itu. Fariza begitu tidak tahu malu. Dia tumbuh menjadi gadis yang begitu cantik, tapi kenapa sikapnya itu sangat tidak tahu malu?"
Saat mendengarkan para wanita berlidah lincah itu, Fariza hampir melepaskan tinjunya pada mereka. Dia dianggap sebagai gadis yang tidak tahu malu, apa yang lebih buruk dari itu? Mereka bahkan mengatakan bahwa dirinya memeluk Pak Dadung dan membuka bajunya di hadapan pria itu. Padahal, dia dijebak oleh Dewi.
Saat ini Dewi diterima di perguruan tinggi dan mengikuti kakaknya ke kota agar tenang. Dia meninggalkan Fariza sendirian di Desa Tutur untuk mendengarkan berita miring dari orang lain.
Ketika melihat kembali pemandangan di Desa Tutur, suasana hati Fariza sudah benar-benar hancur. Dia tidak bisa lagi melihat kesederhanaan dan keindahan alam di desa ini. Yang dia lihat kini adalah para petani yang hanya bertanggung jawab atas ladang yang telah mereka kerjakan. Saat ini mereka semua tampak menganggur.
Tidak ada hiburan di waktu senggang. TV dan hal-hal lain tidak ada di sini. Para perempuan pedesaan berkumpul dalam kelompok, dan para orangtua melewatkan waktu bersama sambil bersenda gurau.
Jika sesuatu terjadi pada seseorang di desa, seluruh desa bisa mendengarnya tanpa butuh waktu lama. Para wanita penyebar gosip itu akan memberitahu orang-orang di sini dalam waktu kurang dari satu jam. Kejadian yang dialami Fariza juga menjadi gosip saat ini. Fariza setengah mati karena rumor ini.
Karena Fariza menerima tubuh dari seorang gadis dengan nama yang sama dengannya, maka urusan gadis itu sekarang menjadi miliknya. Mereka yang berurusan dengan gadis itu dulu, kini akan terus mengejar Fariza satu per satu.
"Kakak, aku pukul?" Fariza masih melamun, dan Wildan di sampingnya sudah membungkuk dan mengambil batu untuk dilemparkan ke para wanita penyebar gosip itu.
"Wildan, tidak perlu melakukan apa pun dengan orang-orang itu." Fariza merasa hangat dan buru-buru menghentikan Wildan.
Orang-orang ini semua tidak tahu yang sebenarnya. Bahkan jika mereka tahu, mereka tidak akan percaya.
"Tapi mereka jahat, memarahi kakak." Wildan masih belum bisa berdamai. Dia masih memegang batu di tangannya dan tidak melepaskannya.
"Kalau begitu, apa kamu bisa membantu kakak?" Mata Fariza berkedip sedikit ketika dia melihat Pak Dadung berjalan ke arahnya dari kejauhan. Dia berbisik di telinga Wildan. Setelah menyampaikan kata-kata itu, mereka bergegas pulang.
____
Malam hari setelah Bu Widya dan Wildan tertidur, Fariza meracik ramuan yang ditemukan di desa. Dia memastikan bahwa tidak ada masalah. Dia dengan hati-hati membuka pintu dan keluar dari jendela belakang.
Menurut ingatannya, dia menemukan rumah Pak Dadung yang dikunjungi terakhir kali. Benar saja, Pak Dadung ada di sana. Rumah ini adalah rumah yang ditinggalkan oleh sebuah pabrik pengolahan daun tembakau. Karena berada di kaki gunung, sangat sedikit orang yang datang pada malam hari.
"Fariza, kamu akhirnya sampai di sini!" Saat dia melihat Fariza, Pak Dadung tiba-tiba menunjukkan mata yang siap menerkam.
Kecantikan Fariza diakui oleh seluruh desa Tutur, termasuk Pak Dadung. Saat tadi siang Fariza tersenyum padanya, dan dia memintanya untuk menunggu di sini, Pak Dadung merasa sangat bahagia.
"Ya, Pak Dadung, maaf aku membuatmu menunggu untuk waktu yang lama." Suara manis Fariza membuat Pak Dadung merasa bergairah.
Pak Dadung menyeringai dan berkata, "Tidak lama. Kamu tahu? Tidak ada yang akan mengganggu kita lagi malam ini. Fariza, jangan khawatir, aku pasti akan membuatmu bahagia." Setelah selesai berbicara, dia ingin menerkam Fariza. Meski tidak mudah baginya, masih banyak cara untuk membahagiakan wanita.
"Pak Dadung, jangan terlalu cepat." Fariza dengan cepat mengulurkan tangan untuk memblokir tangan Pak Dadung. Dia berkata dengan genit, "Orang-orang tidak akan datang ke sini dan tidak akan bisa. Malam ini aku adalah milikmu, tetapi sebelumnya, Pak Dadung dapat memberitahuku siapa yang memintamu menunggu di sini terakhir kali?"
Tanpa berpikir panjang, Pak Dadung langsung berkata, "Itu adalah saudaramu, Dewi. Aku pikir itu palsu pada saat itu. Aku tidak berharap kamu benar-benar datang, Fariza. Aku sangat menyukaimu, jadi aku sangat senang saat itu."
Benar-benar Dewi yang merencanakan ini semua. Mata Fariza menyipit, dan sebelum tangan Pak Dadung menyentuh dadanya, dia menekan sikunya dengan keras. Mati rasa menjalar ke seluruh tubuh Pak Dadung. Sebelum dia bisa bereaksi, ada benda seperti pil di yang masuk ke tenggorokannya.
Pil itu tampaknya diberikan oleh Fariza, dan masuk ke tenggorokannya. Rasa pahit langsung memenuhi mulutnya. "Kamu… apa yang kamu berikan padaku?" Pak Dadung tiba-tiba menjadi gugup dan bertanya dengan mata lebar.
"Tentu saja racun!" Fariza bertepuk tangan dan berbicara dengan keras.
"Kamu… jangan bohong padaku, aku… tidak percaya!" Bagi Pak Dadung, racun adalah hal semu di dalam novel, dan dia tidak percaya Fariza bisa memberikan itu padanya.
Fariza memeluk dadanya dengan kedua tangannya dan bertanya sambil tersenyum, "Apakah kamu merasakan dadamu sesak? Tulang rusuk sebelah kirimu sakit? Kakimu mati rasa?"
"Ya…" Pak Dadung memejamkan mata dan merasakannya.
"Itu hanya gejala awal keracunan. Jika kamu tidak meminum penawarnya secepat mungkin dalam lima hari, tubuhmu perlahan akan membengkak, membusuk, dan mengeluarkan nanah. Lalu, perlahan-lahan kulitmu akan terkelupas dari tubuhmu. Organ dalammu akan tampak. Kamu akhirnya akan membusuk sampai mati, dimakan oleh lalat dan tikus. Kamu akan menjadi mayat!" Setiap kali Fariza mengatakan sesuatu, wajah Pak Dadung terlihat sangat ketakutan.
Sampai kalimat terakhir Fariza selesai, wajah Pak Dadung hanya menunjukkan ekspresi penuh rasa ngeri, "Tidak. Aku tidak ingin mati seperti itu! Itu sangat menyakitkan. Cepat berikan penawarnya! Aku mohon."