Agnostik ..., atheis?" ulang Haura.
Ayana menghembuskan napas panjang lagi. "Hmm, dia memang seorang agnostik, tapi sekarang ... entah, mungkin pula dia sudah menjadi seorang atheis," sahutnya.
Haura masih bergeming tegun. Ia menjadi mengingat percakapan mereka di Yeouido Hangang Park yang dirinya menyinggung tentang Tuhan, Hyun Jae tersenyum masam. Dan ternyata, inilah jawabannya?
"Hey, ada apa denganmu? Kau terkejut jika dia seorang agnostik atau malah atheis, Dik?" selidik Ayana mendapati raut Haura yang seperti bergeming pikir dan terlihat lesu keheranan.
Haura menggigit bibir bawahnya. Menggeleng pelan dengan ragu.
"Biar kuberitahu, 46 persen, hampir separuhnya orang Korsel tidak beragama, Dik," ungkap Ayana.
"Jadi, kau tak perlu keheranan seperti itu," lanjutnya seraya beringsut ke luar dari kamar Haura.
Haura menggembungkan pipinya saat Ayana beringsut keluar. Sungguh, ia hanya belum habis sangka jika Hyun Jae ternyata tidak menganut agama apa pun. Sosok agnostik atau bahkan malah atheis.
Hmm, secara etimologi, agnostik berasal dari bahasa Yunani, yakni gnostik yang berarti mengetahui atau pengetahuan dan a yang berarti tidak. Jadi secara harfiah, agnostik memiliki arti tidak mengetahui. Namun secara definisi, agnostik adalah suatu pandangan atau kepercayaan bahwa ada atau tidaknya Tuhan merupakan sesuatu yang tidak diketahui. Butuh alasan ilmiah yang jelas bagi mereka untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Penganut agnostik percaya bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar dari Tuhan yang bisa dibuktikan secara ilmiah, yakni alam semesta.
Sedangkan atheis adalah pandangan yang tidak memercayai adanya Tuhan atau menolak keberadaan Tuhan. Terdapat dua jenis atheis, yaitu atheis gnostik dan atheis agnostik. Atheis gnostik adalah pandangan yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan mereka bisa membuktikannya. Sementara atheis agnostik adalah pandangan yang tidak memercayai adanya Tuhan tapi tidak dapat membuktikannya. Para atheis bahkan beranggapan, Tuhan hanyalah alat pemersatu manusia.
Bagi mereka yang menganut atheis, keberadaan manusia di bumi tidaklah terjadi begitu saja. Manusia ada di bumi karena proses metafisika dan alamiah yang terjadi secara berkesinambungan dan merupakan bagian dari alam semesta. Mereka yang menganut atheis tidak percaya adanya kehidupan setelah kematian. Sebab, bagi mereka, setelah manusia mati, berarti proses metafisika dan alamiah mereka telah selesai.
Agnostik dan atheis jelaslah berbeda. Agnostik masih memercayai adanya Tuhan jika mereka bisa membuktikan keberadaan Tuhan secara ilmiah. Jika pun ada Tuhan, para penganut agnostik percaya Tuhan hanya satu dan tidak ada agama yang membedakannya.
Sementara itu, penganut atheis berpandangan bahwa tidak ada Tuhan dan menolak keberadaan Tuhan. Karena bagi mereka, alam semesta--termasuk manusia di dalamnya--merupakan proses alamiah yang terjadi dalam waktu yang sangat panjang.
"Wis, ora usah dipikir, Dik!" tandas Ayana dengan bahasa ngapak sebelum berhasil benar keluar dari kamar Haura yang masih saja geming memikirkan.
Haura melengok ke arah Ayana, menukik dahinya samar. Mengalih heran karena Ayana mengatakan bahasa ngapaknya dengan logat super medok melebihinya.
Hmm, tapi benar pula tentang Ayana, sosok Hyun Jae yang ternyata kaum agnostik atau bahkan malah atheis, itu bukan urusan Haura. Toh, untuk apa dipikirkan.
***
Paman Zubair adalah adik bungsu dari ayah Haura, Anwar Zubair. Menikah dengan Jang Nara, seorang mualaf Korsel, juniornya di Yonsei University. Mempunyai tiga orang anak, Ayana Zubair, Jasim Zubair, dan Fatma Zubair. Dan memilih menetap di Itaewon.
Jasim, umurnya masih tujuh belas tahun, enam tahun di bawah Ayana, empat tahun di bawah Haura. Ia sekarang tengah mengenyam ilmu formal dan non formal di Jawa, tepatnya di sebuah pondok pesantren di Purworejo. Begitu pula Ayana, ia dulu juga mengenyam ilmu di Jawa layaknya Jasim selama tujuh tahun di Cilacap, itulah mengapa dirinya selain memang berdarah Cilacap, bahasa ngapaknya atau bahasa penginyongannya pun tidak diragukan lagi. Medok tidak kentara.
Haura, ia baru saja merampungkan belajarnya di pondok pesantren di Yogyakarta yang sudah mencapai sembilan tahun. Dan sebagai hadiah tersebut, Paman Zubair dan Bibi Nara memberikannya trip untuk liburan ke Korsel selama dua minggu. Dan menjadi momen perdananya ke Korsel.
"Nanti setelah kita istrihat untuk shalat isha, kita makan samgyetang. Kau belum pernah mencicipinya, 'kan?" ucap Ayana seraya kedua tangannya cekatan menata makanan pembuka di restoran halal milik ayahnya, air mineral, lalu kimchi, salad, dan semacam kering ikan teri dalam mangkuk kecil di tata dalam satu nampan kayu.
Ayana Restoran milik Paman Zubair ini adalah salah satu restoran halal Korea yang berada di Itaewon yang memiliki empat menu masakan Korea seperti samgyetang, bulgogi, jjim dak, dan kimchi jjigae. Restoran ini pula sangat diminati oleh para muslim Itaewon ataupun turis. Dan waktu malam adalah puncak ramainya.
"Oh, pasti, aku akan melibas habis semuanya." Haura terkekeh.
"Yang penting jangan sama mangkuknya, Dik. Itu keras dan akan menyakitkan. Seperti dia," sahut Ayana. Ikut terkekeh. Membuat lelucon gombalan.
"Jangan terlalu keras tertawanya," nasehat Bibi Nara kepada mereka berdua. Langsung terdiam sekejep seraya saling lirik.
"Kau mau mengantarkannya, Dik?" Ayana menawari Haura untuk mengantarkan menu pembuka pelanggan.
"Siap, Kak!" timpal Haura yang sedari tadi hanya melihat-lihat dan memang bertugas menyajikan pesanan sedari awal jika disuruh. Menjadi waiter dadakan.
Ayana menanyakan kepada salah satu waiter yang lalu menunjukkan letak meja pesanannya. Persis di pojok kiri restoran. Sosok pria mengenakan coat warna cream. Menunduk khidmat dengan jemarinya berselancar di layar ponsel.
Setelah ditunjukkan letaknya oleh Jiyeon, seorang waiter asli restoran Paman Zubair, Haura langsung bergegas meraih nampan kayu berisi menu pembuka itu dan berlalu menyajikannya.
"Ini makanan pembuka Anda, Tuan. Silakan dinikmati sambil menunggu menu utamanya ...," ucap Haura dengan senyum, lalu cekatan menaruh menu pembuka di meja pelanggan itu yang abai, masih sibuk menunduk khidmat dengan ponselnya yang kini sebalah tangannya tengah ia gunakan untuk menopang sebelah kepalanya. Terlihat tengah berpikir keras. Soal pekerjaan. By the way.
"Gomawo, Haura-ya. Ternyata instingku benar, kau akan mengantarkan makanan pesananku," timpal sosok itu setelah berhasil meletakkan ponselnya ke meja, lalu melepas kaca mata browline sunglasses-nya.
Haura mengalihkan perhatian setelah sempurna menyajikan menu pembuka itu. Menatap sosok dengan suara serak berat yang tidak lagi asing baginya. Menjadi ngeh siapa gerangan pemesan di hadapannya. Park Hyun Jae.
"Kau?" cicit Haura. Menekuk samar dahinya.
Hyun Jae tersenyum. Menatap senang mendapati wajah Haura yang kini kepalanya terbakul kain berwarna navy.
Haura mendesah lemah. Sungguh tidak menyangka akan mendapati sosok Hyun Jae lagi sebelum usai 24 jam.
Hyun Jae tersenyum lebih lebar hingga memamerkan lekuk kecil di sebelah pipinya. "Jangan melihatku seperti itu, Haura-ya. Apa kau tidak senang berjumpa denganku lagi, hmm?" sahutnya. Malah meledek Haura.
Haura memdengkus, lalu mengidik seraya menimpal, "Entahlah ...."
Hyun Jae tambah tersenyum. "Jangan seperti itu. Kau tahu, itu membuatku sedih," sahutnya.
Haura menukik alisnya. "Apa urusanku?" cicitnya, lalu mengangkat badannya yang sedari tadi masih membungkuk.
"Karena aku merindukanmu, Haura-ya. Jadi kau tak boleh seperti itu," sangkal Hyun Jae membuat Haura tertegun.
"Mwo?"
___________________
Translate:
Wis, ora usah dipikir: sudah, jangan dipikirkan (Bhs. Jawa ngapak)