Chereads / Anindya / Chapter 2 - Kisah Kita ***

Chapter 2 - Kisah Kita ***

Follow me ya, komentar juga biar aq seneng...

***

Tik tok tik tok..

Kudengar denting jarum jam di tengah kesunyian. Mataku mengerjap-kerjap ketika pupil menyesuaikan diri dengan cahaya lampu. Sejenak kemudian kusadari dingin menusuk tengkuk. Kuusap-usap perlahan, ah rupanya aku tidur tanpa pakaian. Celana berikut celana dalamku turun sepaha, jorok sekali bak bayi.

Celanaku? Celana dalamku? Turun? Tunggu! Ini bukan kamarku.

Aku tersentak, bangkit, lalu terduduk keheranan. Kamar siapa ini? Mataku semakin terbelalak lebar saat melihat meja rias yang penuh dengan beberapa benda khas perempuan. Ada bandana biru tosca, jepit rambut dan.. Sebuah boneka beruang berwarna cokelat yang tak tertolong tergeletak di lantai begitu saja.

Glek! Aku menelan ludahku yang pekat. Seret. Rasanya leherku kaku saat menemukan kaki kecil menjulur keluar dari selimut di sampingku.

Aku menoleh dan.. DAMN! SIAL!!

Kamu gila Rama!! Gila!!

Kedua tanganku mulai meremas rambut frustasi. Entah serupa bentuk apa ekspresi terkejutku saat ini. Aku tertohok menyaksikan sosok kecil meringkuk pulas di sampingku. Sementara bibirku sendiri tak berhenti mengumpat, merutuki diri yang lepas kendali.

Mau tak mau harus segera kustabilkan nafas, mengurut semua kejadian sampai menemukan apa gerangan penyebab malapetaka ini?

Seingatku, semalam aku pergi ke pesta ulang tahun kawan, mencicipi beberapa teguk wine melepas kepenatan lalu pulang. Apa aku hilang kesadaran hingga memasuki pintu kamar ini dan meniduri Riri? Bukan. Dia bukan Riri! Dia.. Arghh! Shit!

Aku melihat beberapa bercak darah di selimut. Kulihat celana jeansku yang sudah melorot. Ya Tuhan.. Aku merusak anak gadis orang, anak ingusan yang baru akan lulus SMP??

Rama!? Kamu pedofil sialan! Kamu shit!!

Apa yang harus kulakukan?? Semua akan lebih mudah jika kami sama-sama dewasa, meskipun tetap saja tindakanku ini tergolong asusila. Namun cobalah bayangkan, apa yang harus kujelaskan pada anak SMP yang masih ingusan?

Dia mungkin masih lima belas atau enam belas tahun.

Harus bagaimana ini? Harus dengan apa aku menjelaskan semua? Mulai dari mana? Ini murni kecelakaan karena aku sama sekali tak sadar. Ya Tuhan.. Kenapa hal buruk selalu menimpaku akhir-akhir ini?

Bak seorang pengecut aku tak berani banyak bergerak. Kurapikan celanaku dengan gerakan sehalus mungkin. Jangan sampai dia terbangun lalu menjerit mendapati kenyataan pahit babwa kesuciannnya kurenggut begitu saja.

Ini benar-benar dosa besar yang tak boleh seorang pun tahu. Bagaimanapun caranya harus ditutup rapat-rapat, ditimbun, dikubur bersama sampah plastik yang tak terurai bertahun-tahun lamanya.

Namun, sisi kemanusiaanku ternyata dengan mudah mencuat ke permukaan. Semakin kulihat nafas yang teratur dari tubuh kecil itu, semakin kuselami wajahnya, semakin aku merasa licik pula. Aku layak disebut pengecut tak bertanggungjawab jika benar-benar akan meninggalkannya.

Kugigit bibirku sendiri kala berhasil mengintip beberapa bercak merah di leher dan dada dari tubuh yang kini membelakangiku itu. Getir rasanya telah melakukan hal segila itu pada gadis yang baru beranjak dewasa, yang mungkin baru masuk pubertas.

Ya Tuhan seberapa menyeramkan aku menggaulinya semalam? Tidurnya tampak begitu lelap, kurasa dia sangat kelelahan. Jelas dia buka lawan yang seimbang untuk meladeni nafsu biantangku. Dari selimut yang hanya menutup sebagian tubuhnya, aku yakin tak ada serat kain yang kusisakan untuk membalut tubuhnya.

Samar-samar kuingat perbuatanku semalam yang semakin lama rasanya semakin menajam. Rasa keperawanannya, rasa persetubuhan kami, aku ingat betapa semalam begitu menggilai gadis yang kusebut Riri ini.

Huh! Biarkan aku berpikir keras, apa yang harus kulakukan? Dia akan meraung-raung jika terbangun dan menyadari bahwa aku telah merenggut kesuciannya.

Brengsek kamu Rama! Dia masih puber! Shit! Lagi-lagi aku hanya bisa mengumpat sambil menekuk wajahku di sampingnya. Kemarahanku pada diri sendiri yang tak termaafkan masih mengobar.

"Akh!"

Refleksku menoleh saat mendengar rintihan kecilnya. Yang pertama ku perhatikan adalah wajahnya yang lemah. Matanya yang masih terpejam sembab, bengkak, bibirnya sedikit berdarah di ujung. Jangan bilang itu akibat gigitanku, meskipun kenyataan akan semakin menggiring demikian.

Perlahan matanya terbuka. Mendelik dengan susah payah ketika menemukan sosokku ada di dekatnya. Gadis kecil itu terus berusaha menjauh saat kuputar tubuh menghadapnya. Wajahnya mengerut menjatuhkan butir air mata saru per satu.

Dia semakin beringsut, meringkus selimut menutup dadanya saat aku mencoba mengulurkan tangan. Ketakutan tergambar pada seluruh anggota geraknya.

"Akh! Hiks.." Rintihnya kecil, sekecil tubuhnya. Ringkih. Lemah.

"Jangan banyak begerak, memang sakit saat pertama kali melakukannya, nanti akan membaik sendiri.."

Bodoh! Kalimat apa yang sudah kukatakan? Apa pantas kuberi dia penjelasan yang dmeikian? Dia bukan kekasih yang dengan sukarela mempersembahkan keperawanannya padaku. Ayolah man! Kamu memperkosanya dan tanpa berdosa menjelaskan nyeri di kewanitaan karena kegiatan belah durenmu itu? Kamu benar-benar bajingan yang harus diberi tepuk tangan Rama, bajingan gila!

Kembali kujambak rambutku frustasi. Mengumpulkan keberanian untuk memberi penjelasan. Meskipun susah, aku harus memulai sebelum semua semakin runyam.

"Nin.." Sapaku pelan sekali.

"Anin tidak mau hiks.. Anin tidak mau!" Pekiknya sambil menutup kedua telinga. Bahasa tubuhnya bekerja seakan aku kembali akan menyetubuhinya.

"Nin, tolong dengarkan dulu.."

Dia menggigil ketakutan saat mendengarku memanggil namanya. Terus menerus berlindung di balik selimut. Takut. "Anin takuuut.. Hiks.. Anin takuutt.."

"Nin.." Panggilku kembali, kali ni kubarengi dengan menyentuh lengannya yag bebas. Sebagaimana dugaanku, dia terjingkat dan berusaha melepas sentuhan. "Nin, dengarkan aku dulu.."

Dia terus menggeleng tak mau kusentuh. Berusaha semakin menjauh, bersembunyi dibalik selimut sambil meringis, susah payah menahan perih dan pedih. "Hiks.. Papa.. Mama.. Anin takuut.."

"Nin!" Entah kenapa aku kesal melihatnya. Aku lepas kontrol dan sedikit membentak, meremas lengannya dan miris menyadari betapa kecil lengan itu di kolong tanganku. Dia benar-benar masih belia. "Anindya, dengarkan aku. Tenanglah.." Imbuhku melunak.

Mulanya dia semakin beusaha melepaskan diri dariku, hingga kurengkuh tubuhnya agar mau berdamai. Setidaknya aku memberi pertanggungjawaban berupa pelukan yang menenangkan.

Lambat laun tangisnya memudar. Kurenggangkan pelukanku saat dia mulai menurut.

"Aku khilaf Nin.."

Ya Tuhan, pantaskah bahasa khilaf kupakai pada anak SMP ini? Entahlah, semalam aku benar-benar hilang akal dan telah menganggapnya Riri gadis yang kucintai. Aku mabuk dan menyetubuhinya sebagai Riri.

"Aku tidak sadar saat melakukannya.. Aku.. Aku mabuk.."

Dia terdiam meskipun masih terisak-isak tipis. Tak ada secuilpun kalimatnya membalas penjelasanku. Entah apa yang ada di pikirannya, atau mungkin diamnya mengiyakan kemabukan, kegilaan, dan kebrutalanku dalam merenggutnya semalam.

"Maaf Nin.. Ini akan jadi rahasia kita. Aku minta maaf.."

Sejenak tak ada jawaban. Aku pun turut terdiam. Sabar menanti jawaban yang pada akhirnya keluar juga.

"Hiks.. Anin akan laporkan ke Paa.. Hiks.. Anin akan laporkan ke polisi biar Kak Rama dipenjara! Hiks.. Anin benci kak Rama! Hiks.. Hiks.."

Terancam, aku terancam sudah. Papa, polisi, penjara. Baiklah, aku benar-benar akan membusuk di penjara jika bocah lugu ini benar-benar merealisasikan ucapannya. Sebagai jaksa, ayahnya terkenal tegas. Tak tanggung-tanggung saat memberi tuntutan.

"Ssuutt.. Jangan terlalu keras bicara. Bagaimana kalau ternyata aku tidak dipenjara? Bagaimana kalau kita justru dinikahkan?" Spontanitas pertanyaan itu muncul di usiaku yang sangat dewasa, ancaman pada bocah ingusan yang terdengar licik sekali.

Dia tercengang, sedikit melirikku lalu kembali menunduk. Kulihat matanya yang bergerak-gerak gamang. Respons yang bagus, artinya dia takut, artinya ancamanku manjur.

"Aku tidak masalah jika harus menikah denganmu, tapi kamu bagaimana? Kamu mau?" Pertanyaanku semakin menyudutkannya.

Tubuhnya semakin mengerut. Sepertinya bergidik ketakutan. Pertanda akan semakin mudah bagiku menekannya hingga takluk pada keputusanku.

"Anin msih mau sekolah Kak.." Jawabnya seraya menahan tangis.

"Maka dari itu kita jaga rahasia ini ya, jangan sampai siapapun tahu." Bujukan ini menunjukkan seberapa tinggi tingkat kebajinganku saat ini.

"Tapi Anin.."

"Kenapa?" Potongku saat dia berusaha menyanggah.

"Anin sudah tidak perawan ya Kak? Hiks hiks.."

Glek! Harus kujawab apa? Ya Nin, aku sudah memerawanimu Nin. Lalu harus kujawab 'Ya Nin, kamu sudah tidak perawan', begitu?

"Tidak perawan juga tidak apa, tiak ada yang tahu." Jawabku asal. Betapa pentingnya sebuah keperawanan bagi seorang gadis belia sepertinya dan aku mengatakan tidak apa? Seringan itu? Begitu saja..

Kulihat wajah imutnya meragu. Bibirnya bergetar takut. Belum ada keputusan tapi aku yakin dia mau berdamai.

"Ehh.." Anin terlihat tidak nyaman saat kakinya bergerak.

"Kenapa?" Pertanyaan pura-pura bodoh.

"Ini.." Kakinya terus bergerak tak nyaman. "Basah semua.. Lengket.."

Damn! Satu lagi kesialan yang baru kuingat. Aku mengeluarkannya di dalam. Bagus, tepuk tangan yang meriah untukmu Rama.

Mendadak aku lemas setelah mendapati kenyataan itu. Bayang-bayang bilamana gadis sekecil Anindya harus mengandung anakku. Oh tidak!

Kulihat wajahnya yang gelisah. Tangisnya kembali pecah.

"Sudah tenanglah Nin.." Aku berusaha memeluknya. Dia menurut.

Cup! Kukecup puncak kepalanya, memberikan kenyamanan yang semestinya. Dia semakin tersedu di dadaku.

"Hiks.. Anin takutt.. Anin sudah tidak pera..wan Hiks.. Anin tidak akan hamil kan Kak? Hiks.."

Entahlah Nin, mungkin.. Jika Tuhan menginginkan demikian, aku bisa apa? Meskipun kita sama-sama tahu tidak menginginkannya, jika Tuhan mau, kita bisa apa?

Mendadak aku kalut. Takut. Aku sendiri tidak bisa mengelak, hanya bisa berdoa semoga sel telurmu tak lepas dari ovarium Nin, atau sel spermaku lemah dalam berenang dan gagal membuahi.

Mendengarnya terus merengek bak anak kecil, telingaku terusik tapi batinku terus terkulik.

"Tenanglah, besok akan ku beri obat agar kamu tidak hamil.. Jangan menangis lagi, maafkan aku.." Sesalku seraya terus menenangkannya.

Anindya, kesalahan ini adalah awal dari segalanya. Tanpa sama-sama menyadari, kisah kita telah dimulai sejak penyatuan tubuh kita semalam..

***

Follow me ya, komentar2 gitu biar aku semangat up lagi 😁