Bekerja sebagai seorang pengacara dengan puluhan kasus yang selalu menanti setiap harinya membuat seluruh waktuku terpakai hanya untuk mencari bukti-bukti kasus yang sedang ku kerjakan sehingga aku tidak mempunyai waktu untuk mencari seorang pendamping hidup.
Mungkin lebih tepatnya aku tidak mau mempunyai pendamping hidup.
Tahun ini usiaku tiga puluh tahun, usia yang terbilang sudah cukup mapan untuk menikah dan memberikan Bunda seorang cucu. Tapi bagaimana aku akan memberikan Bunda seorang cucu jika pacar saja aku gak punya.
Kemarin aku bertemu Mario, temanku saat SMA. Dia menggendong seorang anak perempuan yang usianya sekitar dua tahun dan tangan yang satunya menggandeng seorang anak laki-laki usianya sekitar enam tahun. Di belakangnya berdiri seorang wanita yang bisa di tebak dia adalah istrinya, satu tangan wanita itu mengusap perutnya yang sedikit membuncit dengan lembut yang kemungkinan besar sedang tumbuh jabang bayi di dalam rahim istri Mario ini. Aku merasa insecure saat dia menyapaku dengan bertanya "Woy bro, sendirian aja nih mana pasangan lo?"
Memalukan, datang ke acara resepsi seorang teman malah datang sendiri tanpa di temani seorang wanita. Padahal dulu saat SMA banyak yang antri hanya untuk meminta foto bersamaku, tapi sekarang aku malah mirip om-om yang gak laku.
Meskipun masih ada beberapa temanku yang belum menikah di usia yang sama denganku tapi setidaknya mereka mempunyai calon yang siap di ajak kemana-mana untuk sekedar menemani, tidak sepertiku ini yang kemana-mana hanya sendiri. Miris.
Di resepsi temanku kemarin aku juga bertemu dengan Rena—salah satu teman sekelasku dulu. Dia sedang hamil besar dan datang bersama suaminya. Setelah berbasa-basi sebentar denganku, dia merogoh tasnya dan mengeluarkan kertas berwarna pink dengan motif bunga mawar timbul di sampulnya yang di ikat dengan pita berwarna senada. Aku mangambilnya lalu membaca dengan seksama kartu undangan bertuliskan 'Our Wedding' yang tertera dengan sangat jelas nama si empunya acara.
Rena berkata "Titipan buat lo. Dateng ya Go, udah lama juga kan gak ketemu temen lama."
Aku hanya menatap nanar kartu undangan di tanganku tanpa menjawab atau bahkan mengangguk.
Salah satu sudut bibirku terangkat, tersenyum miris melihat nama si empunya acara, dengan membaca namanya saja hatiku rasanya tercubit. Rasa bersalah hinggap begitu saja dan menghimpit dadaku sehingga aku kesusahan untuk bernapas. Jantungku bagaikan tertusuk oleh paku bumi sehingga sakitnya menembus rongga dadaku. Tanpa berpamitan pada tuan rumah aku langsung keluar dari gedung sebuah hotel mewah di Jakarta Pusat, membawa serta kartu undangan yang masih tersegel rapi di genggaman tanganku.
Seorang teman yang mungkin melihatku keluar gedung memanggil meneriakkan namaku "Rigo, Go. Mau kemana lo? Acara baru mulai nih." Namun aku menulikan pendengaran, aku tetap berjalan menuju parkiran yang letaknya di sisi kanan hotel untuk mengambil mobilku.
Aku melajukan mobil keluar area hotel, berhamburan bersama mobil lain di jalanan ibukota yang akan membawaku pada tempat ternyaman — rumah.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke dalam ruang kerja, tempat persembunyian paling aman bagiku.
Sejak kemarin hingga hari ini aku masih duduk di ruangan kerjaku tanpa berganti baju ataupun melepas sepatu, mau tidurpun aku tak mampu. Netraku menatap nanar pada kartu undangan yang ku letakkan diatas meja kerja di hadapanku.
Aku menghela napas pelan saat sekelebat ingatan-ingatan masalalu tiba-tiba terlintas bagai film yang di putar ulang di otakku. Ternyata otak merupakan memori card paling besar kapasitasnya yang dapat menampung video kejadian-kejadian dari bertahun-tahun lalu. Namun ingatanku terpaku pada seorang gadis saat jaman SMA tiga belas tahun yang lalu.
***
Flashback...
Aku berlarian di lorong sekolah dengan membawa sebuah buku diary berwarna biru langit, tawa yang keluar dari mulutku membuat perempuan yang mengejarku sangat geram lalu memekikkan namaku nyaring sehingga murid lain yang berada di koridor melihat kami bingung.
"Kejar gue dong." Teriakku saat dia berhenti mengejar dan berdiri di depan lab kimia dengan napas ngos-ngosan, kedua tangannya berkacak pinggang. Lalu dia meniup kasar poni yang menutupi dahinya sehingga rambut poninya beterbangan ke atas.
Kelopak matanya melebar lalu kembali memekik "Rigo awas ya lo! Gue cincang muka lo kalo lo berani buka diary gue!" Ancamnya membuat aku semakin gencar mengerjainya.
"Bodo," ledekku kemudian kembali berlarian karena dia yang sudah mulai mengejar.
"Rigo balikin gak!" Teriak dia lagi seraya mengejarku, aku hanya tertawa lebih keras.
Tiba-tiba ia berhenti kemudian berbalik menjauhiku, masih dengan tertawa aku juga berbalik kemudian mengejarnya.
Aku menyejajarkan langkahku dengannya, tangan kiriku menyembunyikan buku diarynya di belakang punggung "Ih, gitu aja marah. Gak asik lo Tha." Gerutuku.
Gadis yang sedang menekuk wajahnya kesal karena tingkahku bernama Sasmitha Anindya, seorang teman yang ku kenal tanpa sengaja saat masa orientasi siswa dulu yang ternyata menjadi teman sekelasku hingga kini aku duduk di kelas dua belas SMA.
"Mitha." Panggilku dengan nada menggoda karena dia masih marah dan masih memberengut.
Mitha menepis tanganku yang hendak menjawil pipinya.
"Dih, marah beneran neng. Tambah jelek tuh muka."
Mitha hanya melirikku nyalang kemudian masuk ke dalam kelas kami di XI IPS 1. Aku masih mengikutinya sampai dia duduk di bangkunya bersama Adil. Di deretan meja paling kanan ini, hanya Mitha satu-satunya yang berjenis kelamin perempuan karena semua meja di huni oleh laki-laki.
"Adil, temen lo tuh bilangin jangan ganggu gue. Atau gue pindah tempat duduk sama Ani." Adunya pada Adil.
Sebenarnya akulah yang menahan Mitha agar duduk di deretan meja ini bersamaku dan dua temanku — Adil dan Haris. Mitha itu orangnya asik, asik banget buat di kerjain.
"Lo apain lagi si Mitha, Go?" Tanya Adil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, netranya sibuk mematut layar ponsel bermain game yang entah itu game apa.
Aku mengembalikan buku diary Mitha yang tadi ku colong saat dia tanpa sengaja menjatuhkannya ke lantai saat hendak mengambil bolpennya.
Mitha menarik kasar buku diarynya kemudian menyimpannya kembali di dalam tasnya lalu menelungkupkan kepala di atas meja dengan headset menyumpal kedua lubang telinganya.
Aku menghampiri Adil yang duduk di bangku sebelah Mitha, sebenarnya itu bangkuku entah mengapa Adil selalu berpindah tempat duduk setiap jam istirahat.
Aku menendang-nendang kursi yang Adil duduki "Minggir Dil, pindah ke bangku lo sono." Usirku.
Meski dengan decakan keras Adil bangkit kemudian keluar dari kursiku yang letaknya berada di barisan paling belakang dan berpindah ke tempat duduknya sendiri yang letaknya di depan mejaku. Aku segera duduk menyamping menghadap ke arah Mitha dengan menyenderkan punggung ke dinding.
Aku suka melihat Mikha yang kesal akibat tingkahku dan hal itu mendorongku untuk kembali menjahilinya. Biasanya dia adalah orang yang gak mudah marah tapi entah kenapa hanya karena diary itu di menunjukkan taringnya padaku.
●●●
TBC
Hai Hai Hai
Selamat datang di ceritaku ON YOUR WEDDING DAY
Jangan lupa vote dan komentarnya ya guys.. 😊😊