Rina berjalan pelan mengikuti langkah Eza dan Intan yang berada di depannya. Tergambar di depan matanya. Pemandangan itu begitu menyakitkan, Rina berusaha biasa saja di atas pemeranaan dan rasa hampa.
'Tahan. Menangis itu memalukan. Jangan menangis lagi. Api ini terus membara dalam hati. Kecemburuan harusnya memang sirna. Redamlah,' tutur Rina dalam hati.
Rina terus mengembungkan pipinya berusaha mengusir kejenuhan di dalam hati. Tiba-tiba pemuda itu merangkulkan tangan kanannya di atas bahu Rina.
'Pemuda ini selalu membuat aku mati hidup. Huh,' umpatnya dalam hati. Rina terus membuang wajah ke arah kiri, sembari berjalan.
"Kamu pasti masih sakit hati. Bagaimana kalau kita kerja sama? Bagaimana kalau kita tukar jodoh. Lagian aku tidak suka sama kamu, kamu terlalu tertutup, tidak seksi, tidak menggoda, dan tidak mau memakai make up. Mungkin jika kamu makai make up. Kakakku itu pasti akan suka. Bukankah dia cinta pertama mu? Apa kamu mau atur strategi agar kamu menikah dengan dia? Dan aku menikah dengan Intan. Apa kamu setuju?" Pertanyaan Dirga membuat Rina menghentikan langkah dan menatap Dirga.
"Jika tidak mau menikah denganku lebih baik kamu kabur saja. Jangan mengajak aku untuk merencanakan sesuatu yang bodoh." Rina sangat tegas menghenpaskan tangan Dirga begitu saja, Rina segera berjalan cepat. Meninggalkan Dirga dengan senyum jahatnya.
"Jangan munafik deh kamu. Kamu dari dulu tetap suka, kan. Sama Mas ku? Kalau kamu setuju aku siap merencanakan sesuatu," ujar Dirga terus mengejar Rina.
Sret! Dirga menarik tangan Rina, sampai Rina jatuh di dalam pelukannya.
"Ayolah sayang, calon istriku, jangan lagi menghindar." Dirga semakin memojokkan Rina. Cengkraman tangan dan tatapan horor itu sangat membuat Rina tidak dapat berkutik.
"Lepas!" Rina terus memberontak, namun Dirga tidak mudah melepaskannya dia semakin erat dan mendorong Rina sampai ke siku tembok dan memojok.
Ruang begitu sempit dan kekuatan pemuda itu sudah di keluarkan.
Dirga mengusap bibir Rina dengan ibu jari. Tidak bisa dipungkiri karena Rina memang sangat cantik. Cantik berseri juga sederhana. Tentang make up pun dia memang sangat jelita.
"Jika kamu tidak mau melakukan itu. Aku harus menjajal kesucianmu lebih dahulu," kata Dirga menelusuri pipi Rina dengan bibirnya. Rina terus bergerak ke arah lain menjauhkan bibir Dirga dari wajahnya.
Air mata menetes deru napas semakin cepat. "Lepaskan aku," pinta Rina berusaha mendorong Dirga.
Rina memejamkan mata ketakutan, usahanya terus menggerakkan tubuh, hingga dapat meloloskan diri.
Mengatur nafas dan strategi, dia menundukkan kepala ketika bibir itu akan sampai kepada bibirnya.
"Sangat halus pipimu," kata Dirga memuji di pipi kanan sang gadis. Rina berusaha mengambil kesempatan ketika Dirga mulai mengendurkan cengkramannya.
Rina segera menginjak kaki kanan Dirga dengan sekuat tenaga dan berhasil lepas dari jeratan Dirga. Dirga tersenyum bangga.
"Aku sudah menduga jika kamu tergoda oleh ku. Kamu itu murahan. Sok menolak tapi kamu menikmatinya. Katakan saja waktu yang tepat, aku akan melayanimu dengan sesuka hati. Aku yakin aku bisa memuaskanmu," kata Dirga sangat menyakitkan.
Rina harus benar-benar menguatkan hati menahan air matanya yang akan menetes. Dia berjalan cepat menuju butik. Di sana Intan sudah berpenampilan sangat anggun.
"Huh ... hadapi ini Rina." Mengepalkan tangan dan melangkah maju.
Setiap saat dadanya merasa sesak tidak ada terlintas senyuman sama sekali, sebagai calon pengantin. Baginya ini penderitaan yang akan terus berjalan. Dan dia pun harus siap menghadapi demi permintaan bundanya.
Rina mengatur nafas memberanikan diri menghampiri calon pasangan pengantin yang terlihat bahagia. Eza pergi setelah mengangkat telepon.
"Dari mana saja sih kamu. Jangan buang waktuku. Urusannya masih banyak, kamu dari tadi santai-santai! Aku masih akan membeli gaun belum lagi gedung hotel untuk resepsi. Foto prewedd Aku tidak sekampungan kamu ya." Intan berbicara dengan suara lembut namun menusuk hati setiap kalimatnya.
"Aku tidak akan membuang waktuku juga kok," kata Rina segera memilih gaun. Satu persatu dilihatnya, tidak ada gaun yang menarik hatinya. Diam-diam Rina masih mencuri kesempatan untuk memperhatikan calon kakak iparnya. Eza terlihat sibuk menelepon seseorang.
"Hai Rina," panggil Eza. Rina memperlihatkan diri. "Setelah kamu coba gaunnya. Ibu aku menyuruh foto. Untuk dilihat bagus tidaknya. Jadi cepat pilih dan coba," kata Eza dari jarak sepuluh langkah. Dengan gugup Rina mengangguk lalu mulai memilih.
Gaun itu sangat menarik bagi Rina. Gaun sederhana bernuansa putih dan hiasannya juga tidak glamore, Rina meraih gaun itu.
Khayalan datang ketika Rina melihat gaun. 'Andai bisa bersanding dengan orang baik dan bisa menghargaiku. Walaupun belum saling cinta tapi kalau sama-sama menghargaikan cinta bisa hadir. Heh ....' Dia segera menghapus air matanya, ketika sadar posisinya ada di mana.
Rina pun mengambil gaun itu, sedang Dirga asik berbincang dengan Intan. Dirga selalu memuji kecantikan Intan. Rina tidak peduli dengan itu. Intan datang menghampiri Rina yang masuk ke ruang ganti.
Di dalam ruangan itu hanya mereka berdua. Rina baru saja membuka tirai dan sudah mengenakan gaun itu. Gaun itu sangat pas untuk Rina, bahkan sangat cantik saat dikenakan.
Intan tertawa dengan tatapan menghina. "Jangan kamu kira kamu bisa memiliki Dirga. Dirga hanya milikku. Lebih baik kamu pergi di hari pernikahan. Apa kamu tidak tahu malu. Est ... Ibumu sudah menjualmu."
"Stop. Aku punya etika. Memang Ibuku di bayar berapa? Mana buktinya? Kamu sendiri tidak malu melakukan itu kepada Eza?! Aku memang rendahan dan miskin. Tapi jiwaku setia, tidak mengumbar asmara sana sini! Bahkan aku menjaga kesucianku. Jika kamu ingin memiliki Dirga silahkan. Lari saja bersamanya," sergah Rina sangat berani, hingga membuat Intan terpaku. Dan tidak bisa berkata-kata lagi untuk bertikai dengan Rina.
Entah apa yang ada di benak Intan. Rina berusaha tidak peduli. 'Mau marah, atau apa, aku sama sekali tidak peduli. Heh ... sakit rasanya kalau bahas bunda,' kemelut Rina dalam hati.
Rina melangkah keluar, dari pihak salon pun mulai merias wajahnya. Olehsan bedak secara tipis dan lipstik tipis berwarna pink sudah menghiasi bibir Rina. Pipinya pun sudah merona alami tanpa sentuhan make up.
"Sungguh cantiknya luar biasa. Kamu perawatan apa?" tanya wanita yang merias wajah Rina. Gadis cantik itu hanya tersipu malu. Setelah satu jam akhirnya dia bisa tersenyum.
"Hanya sering cuci muka dengan air cucian beras," jawab Rina dengan polosnya. Mendengar pujian dari wanita salon tersebut untuk Rina. Intan merasa kesal dan tidak suka sambil terus menggertakkan kakinya.
"Mbak siap di make up?" tanya perias.
"Ya iyalah," jawab Intan mendorong bahu Rina. Rina hanya menatap pasrah lalu segera berdiri.
Bersambung.