Cuaca tak bersahabat, hujan reda. Hujan lagi, tambah membuat hati kacau dan gelisah tak menentu disore hari. Hati jungkir balik terasa, karna galau menabrak di bagian sisi hati.
Rina bosan dengan keadaan di Rumah Sakit.
"Ri, kamu pulang dan harus segera cari baju pengantin!" pemberitahuan Bundanya yang mengejutkan dan melukai hatinya.
"MasyaAllah ... Ayah belum sembuh Bun," jawab Rina sangat kesal, ia berbicara dengan nada tinggi karna marah dengan sikap sang bunda.
"Syut ... ini Rumah Sakit!" Eza menegur keduanya dari tengah pintu, Rina berlari dengan deraian air mata.
"Bunda macam apa dia, matrenya kelewat ambulan. Aneh dan nyata. Aku benci ... hek hek ... hiks ...." Rina masih berjalan cepat, dia di halaman Rumah sakit.
"Ternyata kau sangat cengeng." Asep datang dengan membawa obat-obatan yang baru datang dari box Surabaya. Rina mengapus air matanya.
"Maukah kamu kabur denganku?" Rina sangat emosional, entah bagaimana arti dari perkataannya. Ada suster lewat.
"Titip ini Nis," pinta Asep menyuruh Suster itu sambil menyodorkan kotak obat.
"Nggak mau, emang aku siapa kamu!" Suster itu mementahkan suruhan Asep, dan pergi begitu saja.
"Huh!" Asep emosi.
"Ada masalah apa? Kok sampai ingin kabur?" tanya Asep menghadap ke Rina, mereka berjarak satu meter setengah.
"Aku akan nikah sama Adiknya Kak Eza!" Rina membongkar rahasianya, Asep langsung memegang jantungnya.
"Kenapa? Apa sakit?" tanya Rina cemas.
"Ha ha ha, aku hanya syok, bagaimana bisa menikah dengan Adiknya? Orang yang selama ini kau cintai 'kan Kakanya. Kamu sih kurang aduhai," ledek Asep, Rina melempar daun yang ia petik, Asep menepis daun itu.
"Makanya itu, maukah kamu kabur denganku?" tanya Rina terlihat bersungguh-sungguh.
"Ya tidak bisa lah ... kecuali kalau kaya. Di sini aja aku masih magang, lagian di antara kita juga tidak ada cintrong-cintrongan," jawab pemuda tampan itu menolak, Rina merunduk dengan membuang nafas yang terdengar sangat sesak. "Kau boleh menganggapku temanmu, memang dari dulu teman. Lalu bagaimana pendapat Hafiz?" lanjutnya bertanya sambil menatap Rina.
"Sini duduk," pinta Asep. Rina duduk di kursi panjang yang terbuat dari besi, gadis berparas ayu itu menekuk wajahnya.
"Dengarkan aku, kali ini aku tidak bercanda," kata Asep menoleh, Rina masih merunduk dan terlihat air matanya jatuh. Asep memberi tisu yang ia bawa bersama obat-obatan.
"Dengar Rina. Terkadang kita harus melalui hal-hal yang tak diinginkan hati. Seperti niat Bundamu, yang tidak kamu ketahui isi hatinya, mungkin ... dia ingin yang terbaik untukmu, walaupun kamu akan sedikit tersiksa. Kau adik kelasku yang cerdas dan populer pada zaman itu, aku kagum, ya sebatas kagum jangan GR!" Asep sedikit bercanda, Rina masih dalam keadaan sedih.
"Yah ... tak mempan peluru candaanku," keluh pemuda humoris itu. Rina tersenyum dalam air matanya, ia mendorong lengan Asep, sampai Asep hampir terjatuh.
"Kasian kamu Ri, kalau aku jadi Eza aku tak akan menyampakanmu. Malang bener nasibmu, semoga saja suatu saat kau akan bahagia, Aamiin, Aku mengenal kalian selama delapan tahun dan tiada yang berubah dari kamu, walau 4 tahun tak bertemu. Kamu masih setia dengan Eza. Boleh cinta, tapi jangan cinta buta," ucapan positif dari Asep.
"Aku tau aku bodoh!" sahutnya kesal pada diri sendiri.
"Ais ... aku juga mengenal Eza walaupun kami tak pernah dekat, aku masih sangat di bawahnya, ya ... karna uang juga. Mungkin jika kamu menikah dengan Dirga, iya kan? Dirga anak ingusan itu?" tanya Asep memastikan dan mengingat-ingat adiknya Eza. Rina tertawa mendengar kata ingusan.
"Akhirnya ada senyum di wajahmu," kata Asep puas karena berhasil membuat beban Rina sedikit ringan. Rina menatapnya.
"Tatapanmu membuatku takut," ceplos Asep yang menutup kedua matanya dengan lengan tangan.
"Kenapa?" tanya Rina mengerutkan kening dan masih melihat Asep.
"Takut kamu jatuh cinta padaku," jawab Asep cepat. Kata itu membuat Rina tertawa. "Awas nanti jatuh cinta, cinta kepada diriku, jangan-jangan kau jodohku ...." Asep menyanyi dengan suara lumayan merdu.
"Kamu mengerikan!" Rina berdiri karena merinding, Asep tertawa sepuasnya. Lalu menyusul Rina mereka berjalan bersama dan berjarak hampir dua meter.
"Tenang saja, aku sudah punya pacar walau LDR, LDR itu sangat menyakitkan," kata Asep mulai terbuka, Rina menghentikan langkah lalu menoleh ke Asep.
"Siapa?" Rina sedikit penasaran.
"Andara, temanmu, dia ada di Bandung, aku setia, tapi ...." Asep menggantung kisah cintanya, Rina tersenyum mendengar kabar tetang teman sekolahnya.
"Tapi kenapa?" tanya Rina sangat penasaran.
"Cinta tak direstui karena pekerjaanku. Aku kurang mapan, dan kamu tau sendiri aku tulang punggung keluarga," jelasnya dengan raut wajah murung. Namun Asep segera menepis dengan senyuman tipis.
"Setiap orang memiliki cobaan. Sudah aku kerja," pamitnya melangkah cepat.
Rina berfikir, Asep menoleh ke belakang. "Eh dengar!" seru Asep.
Rina menatapnya.
"Belajarlah mencintai seseorang agar hatimu tidak patah, karena kalau patah butuh semen untuk merekatkan," kata Asep memberi saran dengan kata-kata aneh.
Rina membuang wajah dan terawa, Asep pergi dengan berjalan cepat.
"Kamu benar-benar aneh! tertawa sendiri!" kata Eza datang dari arah belakang, Rina menoleh ia kembali merasa malu.
"Rina ... kenapa selalu tinggah aneh yang terlihat. Ini sangat menyedihkan, bagaimana Dokter itu muncul dengan tiba-tiba, Ya Allah hentikan rasaku, jangan Engkau tumbuhkan setiap harinya perasaan itu. Ah," kata gadis itu dari dalam hati. Rina hendak pergi dengan merunduk, lalu mendengar pembicaraan Eza.
"Halo, iya cintaku. Terserah kamu, aku pasti setuju masalah gaun, make up. Masalah undangan, tamu dan lain-lain, aku santai, iya Sayang, terserah kamu, aku mencintaimu. Malam, muahc." Eza mengatakan itu ke telponya, Rina berjalan cepat dengan mata berkaca-kaca.
"Sepertinya aku harus mendengarkan masukan dari Kak Asep deh, aku harus membuka hati, agar tidak makan hati meluluk. Rasanya ini mencabik-cabik hati ku ... Ya Allah ... hiks, he heh hiks. Mudahkanlah hatiku untuk menerima takdir ini. Hentikan rasaku ini ya Allah, kenapa sangat menyakitkan mencintai seseorang tapi orang itu tak penah peduli. Memandang ku saja tidak pernah. Dan jika nanti aku menikah dengan Dirga dan selalu lihat kemesraan Kak Eza dengan istrinya. Ha ... aku tak bisa membayangkan, dan aku tak bisa bertahan. Terlukalah hatiku, sedalam-dalamnya, aku butuh suntikan penguat agar aku tak sakit semakin kritis. Semakin ngelantur bicaraku, Ya Allah sakit bertahan. Move on Rina. Kamu bisa!" katanya menyemangati diri sendiri.
Ia berjalan ke pantai, lalu menelpon Hafiz.
"Halo, Assalamu'alaikum," jawab Hafiz, Rina duduk.
"Wa'alaikumsalam. Mas ...." panggilnya dengan suara terpecah. "Hek hek hiks. Huh ...."
"Ri ... kenapa? Apa terjadi sesuatu dengan Ayah?" tanya Hafiz sangat panik. "Ri, Ayah kenapa?"
"He, heh, est. Kenapa Bunda sangat kejam, apa aku bukan anaknya?" pertanyaan Rina membuat Hafiz bingung.
"Apa maksudmu? Katakan yang jelas," pinta Hafiz sangat penasaran.
"Bunda menjualku ... he e ... kenapa dia sangat tega ...." kata Rina menangis tersedu-sedu.
"Apa?!" tanya Hafiz sangat terkejut dengan suara pecah, ia merasakan sakit yang dirasa Rina.
"Bunda akan menikahkanku dengan Dirga Mas ... heks heh heh, karena keluarganya melamar dengan harga fantastis. Bunda mengiyakan tanpa bertanya padaku. Mas sakit banget. Hiks, Mas tau sendiri kan kelakuan Dirga yang sering melecehkan wanita," keluh Rina.
"Ya Allah ... kenapa harus Dirga, sedang Ilham kemarin melamarmu ditolak. Padahal keluarga kita tau latar belakang Dirga. Walau tetangga desa kelakuannya terkenal. Ya Allah ... Ri. Kita cari solusinya. Lalu Ayah bagaimana?" tanya Hafiz terdengar prihatin.
"Ayah baru membuka mata. Mas, aku ingin kabur," ucapnya lalu telpon terputus. "Yah. Lobet, heh ... nasibku," keluhnya lalu memandang lautan.
Bersambung.