Langkah kaki gadis itu terasa semakin berat, ia berhenti sejenak dan ditatapnya lagi handphone tua miliknya, hanya tinggal satu tempat tersisa yang bisa ia datangi sekarang.
Rumah Pak Bagaskara.
Melati Putri Hapsari, atau sebut saja Melati. Seorang gadis dengan perawakan cantik, kulit putih mendekati pucat, dan tinggi 163 cm itu harus meninggalkan desanya, pergi ke kota dan kesana-kemari mencari pekerjaan demi melunasi hutang keluarganya.
Semenjak perusahaan ayahnya bangkrut, mereka kehilangan segalanya. Sisa uang yang keluarganya miliki, mereka gunakan untuk membeli sepetak rumah di desa.
Pada awalnya, semua berjalan cukup baik. Ayah dan juga kakeknya bekerja di ladang milik salah seorang penduduk di sana. Meski upahnya cukup sedikit, mereka tidak pernah kekurangan makanan.
Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, ayahnya jatuh sakit. Kakeknya kalang kabut mencari pinjaman untuk biaya pengobatan sang anak, hingga satu tahun setelahnya, ayah Melati meninggal.
Terlampau terpuruk sepeninggalnya sang suami, ibunya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dan meninggalkan Melati.
Tentu gadis itu sangat terpuruk. Dia mengalami trauma yang cukup serius hingga harus dibawa ke rumah sakit untuk menjalani terapi.
Sempat terpikir olehnya untuk juga mengakhiri hidupnya, namun, saat dilihatnya kedua orang tua rentan itu, hatinya luluh. Kakek dan neneknya berjuang untuk membesarkannya, mereka bahkan rela tidak makan hanya demi melihatnya mendapat pengobatan yang baik di rumah sakit.
Melati tersadar bahwa mereka sangat membutuhkannya. Karena itu ia berusaha sebisa mungkin untuk menjaga kakek dan neneknya.
"Melati fighting!" Teriaknya menyemangati dirinya sendiri.
Dipaksanya kaki itu melangkah lagi.
Tujuh hari yang lalu, debt collector datang menemui keluarganya. Dan tentu saja keluarga kecil itu tidak mampu membayar hutang mereka yang menggunung. Kakek Melati kian menua dan fisiknya kian melemah pula. Sekeras apapun beliau bekerja, uangnya takan cukup untuk melunasi hutang mereka. Hingga debt collector itu mengancam akan mengambil kakeknya untuk dijadikan budak jika mereka tidak melunasi hutangnya dalam satu bulan.
Uang sebanyak itu, dalam satu bulan?
Setelah menaiki bis, sampailah gadis itu di sebuah halte yang tak jauh dari alamat yang ia cari.
Rumah keluarga Bagaskara. Konon katanya, pemilik nya adalah orang paling kaya di Indonesia. Pak Bagaskara adalah pemilik tunggal dari Neslada corp, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti.
Melati melangkah tanpa ragu memasuki gerbang setelah mendapat ijin dari security di sana.
Setelahnya, seorang wanita muda, yang adalah asisten rumah tangga di sana, mengantarnya masuk ke dalam rumah yang bak istana itu. Besar dan berkilau. Rumah paling indah dan paling besar yang pernah ia lihat. Wanita itu membawa Melati memasuki sebuah ruangan.
Di sana, seorang pria tua sudah menunggunya. Ia tersenyum hangat dari kursi kerjanya.
"Selamat sore, Pak." Melati membungkuk kecil dan berjalan mendekat.
"Kamu ada di sini, Nak? Berarti usahamu belum membuahkan hasil," kata pria tua itu diiringi senyum merekah dari wajahnya.
Melati menghela napas berat dan mengangguk lemah.
"Tidak ada satupun tempat yang mau memperkerjakan gadis lulusan SMA seperti saya, Pak." Lirih Melati.
Melati mendudukkan dirinya di kursi tak jauh dari tempat pria tua itu.
Sebelumnya, mereka bertemu di salah satu toko furniture tempat Melati melamar kerja, saat lamarannya di tolak, seorang pria tua menghampirinya dan memberinya sebuah alamat.
Ya. Pria tua itu adalah Pak Bagaskara.
Ia kasihan melihat gadis cantik itu setengah frustasi mencari pekerjaan. Jadi ia berencana memberi gadis itu pekerjaan.
"Hidup itu memang keras Nak." Respon Pak Bagaskara.
"Apakah Bapak mau memperkerjakan saya?"
"Tentu. Sepertinya kamu sangat cocok untuk menjadi pelayan dari ketiga putraku."
Pelayan untuk putranya? Baiklah, tidak masalah. Apapun akan dia lakukan untuk mendapatkan uang.
"Bapak jangan khawatir, saya sudah terbiasa bersih-bersih dan mengurus rumah. Saya pasti bisa bekerja dengan baik."
Mendengar penuturan Melati, Pak Bagaskara langsung terkekeh pelan. Seolah gadis itu baru saja melontarkan lelucon yang sangat menggelikan.
"Nak, tidakkah kamu lihat? Ada banyak sekali pelayan di sini yang bertugas untuk mengurus rumah."
Melati tertegun.
Benar juga. Banyak sekali pelayan yang berlalu lalang di rumah ini. Tapi, jika tidak untuk mengurus rumah, apa lagi tugas seorang pelayan?
"Lalu? Apa yang harus saya lakukan?"
Pak Bagaskara tersenyum lalu menegakkan badannya. Ditatapnya gadis di hadapannya itu baik-baik.
"Sebelum kujelaskan apa pekerjaanmu, jawab dulu pertanyaanku."
Melati mengangguk tanpa ragu.
"Apa kamu seputus asa itu? Apa kamu sangat membutuhkan uang? Berapa uang yang kamu butuhkan? Untuk apa uang itu?"
Setelah menghirup napas dalam-dalam, Melati pun menceritakan tentang keadaannya. Tentang betapa putus asanya dia. Berapa banyak yang ia butuhkan dan kakek-neneknya yang sangat tua.
Memahami itu, Pak Bagaskara mengangguk pelan. Disodorkannya sebuah cek dengan jumlah angka yang sangat fantastis tertera di sana.
"Apa ini Pak?" pekik Melati kaget.
Jantungnya berdegup dengan kencang saat menghitung jumlah angka yang tertera di dalam lembaran cek tersebut.
"Ini adalah bayaran yang akan kamu terima jika kamu mau menjadi pelayan dari putra-putraku. Juga, setelah tugasmu selesai, aku akan memberikan sebuah pekerjaan dengan gaji yang cukup menjanjikan untukmu di perusahaanku."
Melati menggeleng tak percaya.
Bagaimana bisa seorang pelayan mendapat gaji sebanyak itu? Mustahil.
"Ini kontraknya, kamu bisa membacanya dulu."
Secepat kilat Melati meraih lembaran kertas itu dan membacanya.
Inti dari perjanjian itu adalah, Melati akan menjadi pelayan pribadi dari ketiga putra Pak Bagaskara. Melati harus mematuhi apapun yang mereka inginkan. Apapun! Masa kontrak itu berlaku sampai satu tahun. Selama itu, Melati tidak diperkenankan untuk pergi dari sisi putranya tanpa izin. Tidak ada cuti barang seharipun. Dan jika Melati melanggar sederet peraturan yang ada di sana, dia akan dikenakan denda dengan jumlah yang tidak pernah terbayang olehnya, atau dia harus mendekam di penjara.
Dirinya harus melakukan apapun yangย putra Pak Bagaskara perintahkan? Tapi, bagaimana jika mereka macam-macam dengannya? Sanggupkah ia?
"Masih tersisa tiga minggu hingga batas waktu dari debt collector itu, Nak. Kamu bisa memikirkannya terlebih dulu. Mungkin jika kamu berusaha lagi, akan ada tempat yang mau menerimamu bekerja. Tapi, sekedar informasi, dengan riwayat pendidikanmu yang seperti itu, akan sangat mustahil mencari pekerjaan dengan gaji yang cukup untuk membayar semua hutangmu." Pak Bagaskara berujar lembut.
Melati meremas kuat ujung bajunya di bawah meja. Tangannya gemetar.
"Putra-putraku itu, hobi mereka dengan club malam dan pergaulan bebas mereka sungguh membuatku khawatir. Aku takut mereka bisa terjangkit penyakit jika melakukan itu dengan perempuan sembarangan di luar sana. Karna itu aku menjanjikan seorang gadis kepada mereka untuk di jadikan pelayan, agar mereka betah di rumah. Saat aku melihatmu, aku sangat yakin bahwa kamu gadis baik. Kamu tidak akan membawa penyakit ataupun pengaruh buruk untuk mereka. Bahkan, bisa saja kamu membawa pengaruh baik, kamu bisa merubah mereka. Jadi, tolong pertimbangkan. Aku bisa menambah bayaranmu sebanyak yang kamu mau."
Uang yang ditawarkan Pak Bagaskara memang sangat banyak. Lebih dari cukup untuk melunasi hutang keluarganya. Akan tetapi, sanggupkah dia? Sanggupkah dia menghadapi mereka nantinya? Tidak ada yang tahu bagaimana mereka akan memperlakukan dirinya nanti.
Akan tetapi, kakek dan neneknya adalah satu-satunya yang ia miliki saat ini. Kakek dan neneknya jauh lebih berharga dari harga dirinya sendiri.