Chapter 35 - 34. Taman

"Ini kenapa pada jauh-jauhan?" Dokter Hani menatap bergantian ke arah kursi meja makan serta ke ujung tembok pembatas ruang makan dan dapur tempat Gian-Gino berada.

"Gino, sini," titah Dokter Hani saat melihat anak remaja laki-laki yang dipanggilnya sedang duduk meringkuk di pojokan sembari menatap ngeri ke arah kakak kembarnya.

"Ayah jangan jauh-jauh dari Bunda, nanti Bunda kesepian gimana?" Dokter Hani terperanjat kaget ketika telinganya bergetar menangkap apa yang baru saja diucapkan oleh Gian.

Ayah-Bunda katanya?

Namun, tidak lama sebuah tawa keluar dari mulutnya. Sekarang ia paham apa yang sedang terjadi di ruangan ini. Selama tujuh tahun menjadi psikiater pribadi Gina, tak ayal Dokter Hani juga tahu semua karakter dari kedua kakak kembar pasiennya.

Dokter Hani melangkah menuju ke arah Gian yang sedang berperan sebagai seorang 'Bunda' bagi Gino yang menjadi 'Ayah'. 

"Gian coba liat saya." Merasa terpanggil, tanpa ragu Gian menolehkan pandangan ke arah Dokter Hani.

"Ya ada ap--- aduh!" Ringisan sakit keluar begitu saja ketika Dokter Hani dengan mudah menyentil jidatnya. Gian secara reflek mengusap daerah yang sakit sembari memperhatikan Dokter Hani dengan pandangan penuh tanya.

"Jangan jail gitu sama adek kamu, apalagi Gino. Kalau Gina yang kamu jailin sih nggak papa, anak itu pasti ngebales apapun kelakuan kamu. Ya ini Gino, naikin nada bicara aja nggak mau." 

Mendapat peringatan seperti itu dari Dokter Hani, bukannya merasa bersalah Gian malah menyengir tanpa dosa. Ia kembali mengalihkan atensinya ke arah Gino saat adiknya itu sudah sibuk dengan handphonenya.

Menghiraukan apapun yang dibicarakan Gian dan seorang psikiater peremuan di ruangan yang sama dengannya.

Kedua sudut bibir Gino perlahan tertarik ke atas, menyunggingkan senyuman yang menambah kadar ketampanan miliknya. Binar mata remaja laki-laki itu berubah menjadi lebih hidup dan bercahaya.

Melihat nama yang terpampang di obrolan online dan pesan yang baru saja masuk kepadanya sungguh membuat jantung Gino berdebar tidak karuan. Perasaan hangat perlahan menjalar ke seluruh bagian dadanya. Menjadi pemanis pagi hari ini.

"Orang dimabuk cinta itu keliatan banget kayak orang gilanya." Dokter Hani mendudukan dirinya di kursi meja makan sembari menompangkan sebelah tangan di dagu. Ia menatap penuh makna seorang remaja jatuh cinta yang berada jauh di depannya.

"Nah kan, periksa aja Dok. Gino memang keliatan banget kena gangguan mentalnya," ujar Gian mengompori.

Mendengar namanya disebut, Gino segera mengangkat kepala menghadap ke arah kakak kembarnya serta Dokter Hani berada. Dalam beberapa kali kerjapan mata, Gino menatap linglung ke arah keduanya.

"Hm? Apa tadi?" 

Gian bersiap membuka mulut ingin menjawab pertanyaan dari adiknya. Sebelum Dokter Hani membekap mulutnya cepat, mencegah agar sosok jahil di sampingnya tidak lagi berulah.

"Kalau udah selesai pacarannya, langsung ke kamar saya buat ngomongin soal Gina, ya?" 

Setelah mendapat respon dari ucapannya dengan anggukan Gino dan gumaman tak jelas dari Gian, psikiater perempuan itu segera melepas bekapannya kepada Gian lalu beranjak dari duduknya.

"Apa?! Ayah pacaran sama siapa? Ayah selingkuh?" pekik Gian. Suaranya kembali ia buat cempreng khas wanita serta mimik keterkejutan yang terlihat nyata.

"Gian ... " Peringatan penuh penekanan dari Dokter Hani berhasil memecahkan tawa dari sang empu. Merasa sudah cukup mengerjai adiknya pagi ini, Gian segera berdiri.

"Hei," Panggilan yang dirasa untuknya, membuat Gino mengalihkan perhatian dari percakapan onlinenya bersama Viona.

"Ayok," ajak Gian tegas. Berbeda sekali dengan kelakuan jahilnya tadi, dalam sekejap jika remaja laki-laki itu sudah dalam mode seriusnya dapat membuat siapapun tunduk dan tidak dapat membantah.

Meskipun masih ingin mengobrol dengan sang kekasih sebelum Viona memulai pelajaran pertamanya, Gino tetap mengangguk dan segera menyusul sang kakak agar bisa memulai pembicaraan serius dengan Dokter Hani.

*****

Sebuah mobil berwarna silver terlihat baru saja terparkir di tempat khusus yang memiliki space cukup luas. Sebelum keluar dari dalam mobilnya, Gina terdiam sejenak. 

Ia berkali-kali menghela nafas kasar, berusaha menyiapkan dirinya jikalau banyak terdapat orang-orang di tempat umum tujuannya. Menyiapkan mental serta pengontrolan diri agar tidak terjadi apa-apa nantinya.

Gina melangkahkan kakinya perlahan sembari menikmati pemandangan hijau di taman tersebut. Sebuah senyum tersungging di wajah cantiknya ketika mengetahui bahwa tidak banyak orang yang datang pagi ini.

Jelas saja, siapa yang ingin menikmati waktu santainya saat semua orang sedang sibuk? Tahun ajaran baru sudah dimulai dan pastinya orang-orang dewasa juga sibuk dengan pekerjaan mereka.

Taman yang ia tuju kali ini sangat dekat dengan rumah Suzy juga tidak jauh dari sekolah Gino. Dari sekian banyak taman yang berada di Ibu Kota, hanya taman inilah yang selalu menjadi pelarian Gina jika ada masalah yang menimpanya dan butuh waktu untuk sendiri.

Gina menghentikan langkahnya, ia menatap pohon tua yang selalu dengan senang hati menjadi peneduhnya ketika merasa sedih dari panasnya matahari. Pohon yang berada tepat di depan sebuah danau yang berada di taman itu.

Sesudah mendudukan diri lalu bersandar di batang pohon, Gina dengan damai memejamkan matanya. Mencoba mencari ketenangan dari suasana alam hijau yang sunyi. 

Tidak lama setelah itu, mata Gina terbuka lagi, tidak ada genangan air di sana. Tidak ada juga binar bahagia seperti ia melihat kedua kakak kembar juga orang yang dirinya percaya. Hanya ada sorot mata hampa dan lelah menandakan seberapa tertekannya Gina selama ini.

"Papa ... kenapa perasaan Gina nggak enak terus akhir-akhir ini," lirih Gina. Kedua maniknya menatap kosong ke depan, ke arah danau yang tenang tanpa ada riak di permukaannya.

Sama seperti raut wajah gadis cantik tersebut saat ini. Seperti raga tanpa jiwa, seakan seluruh rasa sakit yang diterimanya menyesap kehidupan Gina secara perlahan dalam jangka waktu yang sangat lama.

"Kenapa hidup Gina sekacau ini setelah Papa nggak ada?"

"Kadang Gina ngerasa nggak kuat lagi buat ngejalanin hidup. Tapi ngeliat orang-orang yang tiap ngeliat Gina sakit selalu keliatan sedih, disitu Gina berusaha buat bertahan dan pelan-pelan bangkit." 

Matanya masih terasa kering, tidak ada sedikitpun tanda-tanda akan adanya air yang turun dari sana. Akan tetapi, siapa yang tahu bahwa dadanya terasa amat sesak. Seluruh rasa sakitnya hanya terasa di sana, tidak dengan raganya yang terlihat baik-baik saja.

"Papa pasti bosen ya ngedenger kata itu terus diulang dari mulut Gina? Maaf ya Pa, cuman Papa yang bisa jadi sandaran Gina tanpa keliatan raut muka sedihnya ... hahaha." 

Sebuah tawa hambar di akhir membuat siapapun yang melihatnya pasti akan menganggap Gina sebagai orang gila. Tapi memang benar, seperti apa yang sang Papa bilang sebelum kematiannya.

Ia akan terus ada di hati Gina dan tidak akan pernah hilang. Walau nanti setelah sosok seorang ayah itu pergi, raut wajah apapun tidak akan pernah bisa terlihat lagi.

"Tapi Pa, ada hal baru yang bakal Gina sampein. Sakit banget sih, Papa harus denger ya?" ujar gadis itu sembari memeluk kedua lututnya, kepalanya ia tenggelamkan di kedua kaki panjang yang baru saja ia lipat ke depan.

"Gina sering banget disakitin sama orang dan itu udah jadi makanan sehari-hari. Papa tau kan kalau seseorang bakal ngelakuin apapun biar kebahagiaan dia nggak ilang?" Suara Gina mulai bergetar, ketika bersiap untuk mengatakan kata-kata selanjutnya.

"Kak Gino sama Kak Gian, mereka salah satu pusat kebahagiaan Gina. Dan Papa tau? Gina ngerasa kalau mereka berdua bakal jatuh ke titik terendah dalam waktu dekat." 

Pecah sudah pertahanannya sedari tadi. Membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi dengan kedua kakak kembarnya sungguh membuat Gina kembali terpukul kuat.

"Salah satu penyebab pastinya cuman satu, orang yang bener-bener mereka percaya. Orang yang mereka anggap baik." Gina berbicara lagi seolah benar-benar ada sosok sang Papa yang setia mendengar segala keluh kesahnya.

Gadis itu menelan ludah dengan susah payah, lalu melanjutkan ucapannya. "Ini cuman perasaan Gina, tapi kenapa rasanya beneran bakal terjadi?"