Sebuah lonjakan dari tubuh seorang gadis di ruangan terang itu membuat kasur yang ditempatinya ikut tersentak. Secara perlahan kelopak mata Gina terbuka, menampilkan manik hitam yang berkaca-kaca. Riak wajahnya dipenuhi dengan keterkejutan dan kesedihan yang amat dalam.
Selama beberapa menit, gadis cantik tersebut menatap ke arah atas dengan tatapan kosong. Tanpa sadar bagaiman keadaannya sekarang. Dalam posisi terlentangnya, Gina menggeleng. Menolak apa yang ada di mimpinya malam ini.
Bukan, itu jelas bukan mimpi.
Akan tetapi, memorinya tujuh tahun silam. Dimana pada saat itu, tiga buah benda yang sangat berharga membentuk ikatan yang kuat. Memori itu untuk kesekian kalinya terulang di kepalanya dan membuat Gina perlahan terisak.
"Gina?" Panggilan itu tak lantas membuat seseorang yang baru saja dipanggil namanya menoleh. Tatapan Gina masih kosong dengan air mata yang berderai.
"Hei, liat Kakak. Kenapa nangis?" Gino yang baru saja membuka pintu kamar Gina setelah memindahkan sang Mama ke kamar miliknya, dikejutkan oleh suara isakan kecil yang terdengar sangat jelas masuk ke dalam telinganya.
Masih tidak mendapatkan respon apapun, Gino mengelus pipi Gina untuk menghapus lelehan air mata di sana. Berharap dengan itu Gina dapat setidaknya melirik dirinya.
"Gin, jangan bikin kakak khawatir. Kenapa nangis?" tanya Gino sekali lagi. Melihat kondisi adik kembarnya yang memprihatinkan ditambah dengan derai air mata yang tiada hentinya membuat Gino merasakan apa yang dirasakan oleh Gina.
Rasa sakit yang nyata.
Setelah mendengar suara lembut Gino sekali lagi, akhirnya Gina memilih melirik sang Kakak dengan ujung matanya. Melihat bagaimana sorot mata penuh kesedihan dan kekhawatiran itu memandang dirinya, hati Gina terasa mendapatkan sebuah perlindungan dari kerapuhannya.
"Kak Gino ... " lirih Gina pilu. Gino membalas lirihan memilukan itu dengan deheman, berusaha agar tidak memecahkan tangisnya saat itu juga di hadapan Gina dengan keadaan seperti ini.
"Gina kira waktu itu Papa udah nggak ada." Suara Gina terpecah, matanya semakin memerah dengan air mata mengalir deras di kedua pipinya.
Gino membatu di tempatnya, elusan yang ia berikan di pipi Gina pun ikut terhenti. Lidahnya kelu dengan tenggorokannya yang ikut tercekat. Ia tentu tahu kemana arah ucapan Gina tadi, di antara mereka bertiga, tidak ada satupun yang bisa menghapus bagaimana perasaan hancur tujuh tahun lalu.
Bahkan ketika kondisi sang Papa semakin memburuk dari hari ke hari. Setiap Papa mereka menutup mata, bayangan kematian yang akan menjemput lelaki itu sungguh mengerikan.
Menyiksa tiga anak berumur sepuluh tahun dengan begitu kejam. Kenyataan yang membuat mereka menghadapi situasi seperti sekarang. Ketika dua lainnya berusaha memperbaiki satu dari mereka yang hancur dan rapuh. Mengutuk takdir yang membuat mereka seperti ini.
"Gelangnya ... " Ucapan lirih dari Gina membuat lamunan Gino terhenti. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Gina yang berusaha mengangkat tangan kirinya. Mencari gelang yang tidak pernah sekalipun gadis itu lepas sejak pertama kali memasangnya.
Tarikan nafas berat penuh rasa sesak Gino lakukan sesaat setelah tangan kanan Gina meraih gelang itu. Kedua matanya ia pejamkan kuat-kuat, menghalau bayang-bayang mengerikan jika saja Kakak kembarnya belum datang sampai Gina terbangun seperti sekarang.
Jikalau hal itu terjadi, Gino tidak yakin dirinya akan kuat melihat bagaimana tubuh Gina hilang kendali atas dirinya sendiri. Teriakan penuh rasa frustasi pasti akan terus masuk ke dalam pendengaran, hati, dan fikirannya setiap hari.
Seperti tujuh tahun silam dan beberapa peristiwa yang mengharuskan Gina mengingat tentang traumanya, masa lalunya, dan hal yang menyangkut itu semua.
"Shuut ... Gino, sadar hei. Kamu nangis?" Goncangan yang Gino terima di bahunya sukses membuat tubuh remaja laki-laki itu tersentak. Ia melirik ke belakang tepat di mana Gian berada. Kakak kembarnya itu menatapnya penuh tanda tanya serta kekhawatiran yang menyelimuti.
"Ada apa?" Gian terbangun dari tidurnya di atas sofa kamar Gina entah karena apa. Dadanya terasa berat seperti ada yang mengganjal. Awalnya Gian sendiri merasa bingung atas apa yang terjadi dengan dirinya, sampai ia melihat ke arah dimana kedua adik kembarnya berada.
Di sana, ia melihat Gino sedang menunduk dengan kedua mata terpejam, sebelah tangan yang tidak berada di atas kasur pun adik kembarnya itu kepalkan. Saat dirinya mendekat, betapa terkejutnya Gian melihat ada air mata jatuh dari sela-sela mata Gino.
Gino menjawab pertanyaan Gian dengan gelengan. Ia memilih menghapus jejak air mata yang tanpa izin jatuh begitu saja ke bawah. Keheningan mendominasi suasana di ruangan itu. Sampai Gino memilih mengatakan apa yang terjadi dengan Gina beberapa saat lalu.
"Tadi Gina bangun," ujar Gino berbisik. Saat dirinya membuka mata tadi, Gina sudah kembali memejamkan mata tertidur. Setelah adik kembarnya itu di beri obat penenang dan obat-obatan lainnya beberapa jam yang lalu, tidak seharusnya Gina terbangun malam-malam seperti ini.
"Kok bisa?" Kerutan di kening Gian perlahan-lahan mulai terbentuk. Otaknya tidak bisa mencerna dengan baik apa yang dikatakan oleh Gino barusan. Sebelumnya, tidak pernah sekalipum adiknya terbangun di tengah malam setelah pemberian obat.
Gino kembali menggeleng, "Nggak tau, tapi tadi Gina bilang kalau dia ngira waktu itu Papa meninggal. Terus dia nyari gelang yang baru aja Kakak pakein lagi di tangan Gina satu jam lalu."
Dengan lancar dan ekspresi datar, Gino menjelaskan apa yang sebelumnya terjadi. Kali ini, tidak ada lagi air mata, hanya tatapan sendu dan netra hitam redup yang membungkus seluruh jiwanya.
Gian ikut menutup matanya frustasi, ia menyugar rambutnya sembari menghembuskan nafas kasar. "Kakak paham," singkat Gian.
"Bukan cuman Gina yang ngira kalau Papa ninggalin kita waktu itu." Gino beralih menatap Gian yang tengah memperhatikan Gina dengan riak kesedihan.
"Hari dimana Papa ngasih gelang ini ke kita, kan?" Gian mengangkat tangan kirinya, menatap lekat Gelang hitam dengan dua charm menggantung di tengahnya. Meskipun sudah tujuh tahun berlalu, ia sama sekali tidak melihat adanya perubahan maupun penurunan kualitas dari benda yang satu ini.
"Gina kebangun bukan gara-gara mimpi," Gino menjeda ucapannya, menyiapkan hati atas apa yang akan dirinya katakan kepada Gian. Dirinya sendiri tidak tahu kenapa, akhir-akhir ini fikirannya terus tertuju ke arah kedua saudara kembarnya.
"Tapi dia kebangun gara-gara memori tujuh tahun lalu, dan entah kenapa Gina seakan tau kalau ada sesuatu yang salah tentang gelangnya," sambung Gian cepat. Sama seperti Gino, sedari kemarin hingga sekarang, hatinya terus merasa gusar tentang kedua adik kembarnya.
"Bayangin kalau seandainya gelang yang--"
"Nggak, jangan ngomong gitu. Selama kita berdua masih hidup, Gina nggak bakal kenapa-napa sampe gangguan mentalnya ilang. Itu bukan cuman omong kosong, tapi sebuah janji, Gino," potong anak sulung keluarga Adhitama itu tegas.
Gino mengatupkan rahangnya rapat, ia menatap Gian dan Gina secara bergantian. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar tidak nyaman dengan kegundahan yang amat kentara. Entah apa yang ada difikirannya hingga Gino berani berbicara seperti ini,
"Kalau seandainya janji itu nggak bisa kita berdua tepati, dan malah balik nyakitin hati Gina, gimana, kak?"