"Papa." Di tengah pelukan hangat sang Papa juga kedua kakak kembarnya, tiba-tiba otaknya berputar, hatinya menginginkan sesuatu yang masih membuatnya penasaran hingga saat ini. Bukan Gina namanya jika tidak mendapatkan apa yang ia mau.
Gina mendongak, tahu bahwa sang Papa juga tengah menatapnya setelah ia memanggilnya beberapa menit yang lalu. Senyum manis ia terbitkan agar memperlancar rencana yang sudah mulai ia susun, berharap dengan itu sang Papa luluh dan mengabulkan keinginannya.
"Itu ... emmm, Papa kan bilang kalau Papa beruntung punya anak kayak Gina sama Kakak." Gina menjeda kalimat yang akan dirinya ucapkan saat melihat sang Papa tersenyum geli ke arahnya.
Lagi, Gina berharap besar di dalam relung hatinya agar sang Papa tidak menjahilinya seperti beberapa waktu yang lalu. Kali ini Gina benar-benar harus tahu apa yang ada di dalam kotak beludru cantik tersebut.
Sedangkan di sisi lain, sang Papa tentu tahu kemana arah pembicaraan Gina saat ini. Dirinya kembali menahan kekehan dan berusaha agar pura-pura ingin tahu apa kelanjutan dari perkataan yang akan Gina ucapkan.
"Jadi, boleh kan Gina tau apa isi di dalem kotak yang Papa bilang bakal dipake seumur hidup itu?" Papa dari ketiga anak itu tidak kuasa menahan kekehan yang sedari tadi ia tahan, ia mengusak puncak kepala Gina gemas.
Saat sang Papa ingin membuka mulutnya untuk menjawab, Gina secepat kilat melanjutkan omongan yang menurutnya belum selesai itu. "Tapi Papa kalau nggak mau nunjukin sekarang nggak apa-apa, asal Papa jangan nangis lagi, ya?"
"Papa nggak nangis gara-gara Gina maksa Papa buat nunjukin isi kotak itu, kok," jawab sang Papa masih dengan perasaan gemasnya kepada Gina. Ia mengecup sekilas kening putri satu-satunya itu, menyalurkan kasih sayang yang tiada habisnya.
"Berarti boleh liat kan Pa?" Ucapan yang baru saja ingin Gina lontarkan kepada sang Papa secepat kilat ditikung oleh Gian. Sedari tadi Gian dan Gino hanya menyimak, tak bisa disanggah lagi bahwa mereka berdua juga penasaran apa yang akan Papa mereka berikan kali ini.
"Baru aja Gina mau ngomong." Gian yang mendengar itu hanya menatap acuh tak acuh ke arah Gina, saat ini ia hanya tertarik dengan kotak yang diberikan Papanya, sampai tidak sadar bahwa dari awal perjalanan pulang sekolah hingga sampai rumah sakit beberapa saat yang lalu dirinya merasa sebal hanya dengan selembar kertas yang sekarang terlipat sia-sia.
Melihat raut wajah tertekuk Gina, Gino menjulurkan tangannya, mengusap kepala Gina agar membalikkan mood baik adik kembarnya. Ia ikut menatap sang Papa dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dan harapan yang besar agar Papanya itu memberi tahu mereka segera.
Senyuman seakan tidak pernah luntur ketika melihat interaksi ketiga anak kembarnya. Karakter yang berbeda-beda membuat siapapun yang melihat Gian, Gino, dan Gina akan tertarik dan merasa gemas sendiri.
"Anak-anak Papa nggak ada yang sabar kayaknya, padahal Papa pengen denger cerita dulu kenapa muka Gian kusut kayak gitu," ujar sang Papa sembari kembali mengambil kotak berukuran sedang berwarna biru langit di belakang punggungnya.
"Kalian mau tau ini apa?" Anggukan antusias dari ketiga anak berumur sepuluh tahun sontak membuat sang Papa tidak bisa jika tidak merasa gemas. Jiwa jahilnya tergerak untuk sedikit mempermainkan anak-anaknya lagi.
"Papa buka, ya?" Sang Papa mengulum bibir, berusaha menahan tawa. Tidak kuasa melihat ekspresi ingin tahu ketiga anaknya. Ia melontarkan sebuah pertanyaan yang seharusnya tidak perlu lagi ditanyakan agar bisa berlama-lama melihat wajah mirip yang sedang memasang mimik yang sama di hadapannya.
"Ugh, susah banget dibukanya." Dengan suara bergetar menahan tawa, sang Papa kembali melancarkan aksinya. Sadar dirinya sedang dikerjai lagi oleh sang Papa, Gina yang sedari tadi memperhatikan kotak kini beralih ke arah sang Papa.
"Papa ... " ujar Gina lemas. Jika saja yang ada di hadapannya ini adalah Gian, entah sudah jadi apa kakaknya itu, tapi yang membuatnya pasrah dan tidak berkutik adalah, Gina tidak boleh merasa kesal apalagi lepas kendali atas semua kejahilan Papanya ini.
"Pa, kok Gian emosi, ya? Kayaknya cuman Gino yang bisa kalem kalau Papa udah kayak gini." Dengan nada suara serendah mungkin agar tidak naik, Gian menatap sang Papa pasrah, memohon agar Papa mereka ini segera memberi tahu apa yang ada di dalam kotak tersebut.
Sedangkan sang Papa sekarang sedang tertawa keras, mungkin sudah cukup sampai disini saja dirinya menjahili anak-anaknya itu.
"Maaf-maaf, salahin kalian, kenapa kalau dijahilin mukanya gemesin banget." Papa dari tiga anak itu kembali fokus kepada kotak di tangannya, bersiap untuk memperlihatkan isinya kepada pemilik sesungguhnya benda-benda ini.
"Hitung ya, satu, dua, dan ti ... ga." Di akhir hitungan dengan suara yang semakin pelan, kotak yang mirip seperti kotak cincin itu terbuka sempurna. Memperlihatkan tiga benda indah di dalamnya.
Di dalam kotak itu, terdapat tiga buah gelang tali yang amat sederhana. Tidak ada yang istimewa selain 'seutas' tali yang dibuat melingkar agar pas di tangan seseorang yang memakainya nanti.
Gelang tali tersebut dibagi menjadi tiga. Dua berwarna hitam dan satu lagi memiliki tiga warna, yaitu merah muda, hijau muda, dan kuning. Tiga buah gelang untuk tiga orang anak yang saat ini sedang terdiam membeku di tempatnya.
Inikah sesuatu yang akan dipakai oleh mereka dalam jangka waktu seumur hidup? Bahkan tidak ada yang menarik dari 'tali-tali' itu. Warna hitam yang monoton dan gelang warna-warni yang terlihat sedikit 'pudar'.
Seakan tahu apa yang difikirkan ketiga anaknya atas keterdiaman mereka, sang Papa mengulas senyum tipis.
"Yang hitam buat Gian-Gino dan yang ada di tengah," Sang Papa menunjuk gelang warna-warni yang berada diapit oleh dua buah gelang warna hitam kemudian menatap lekat ke arah Gina yang masih terdiam. "punya Gina," lanjut laki-laki tersebut.
"Ambil," titah sang Papa lembut. Walau tidak ada sorot penuh ketertarikan dari mata ketiga anak kembarnya seperti tadi, Gian, Gino dan Gina menuruti ucapan Papa mereka untuk mengambilnya.
Dan pada saat gelang itu sudah tertarik dari kotak tempat benda itu disimpan, raut wajah dan rasa ketertarikan kembali mengisi jiwa anak-anak itu. Mereka fokus ke arah dimana terdapat dua buah benda kecil yang menggantung di sekitaran gelang.
"Pa ... " panggil Gino. Setelah dilihat lebih dalam lagi, ia tahu bahwa gelang pemberian sang Papa bukanlah gelang sederhana biasa. Dari tali yang digunakan hingga dua buah charm yang menggantung, Gino tahu, harga dari satu gelang ini bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Mendengar panggilan dari sebelahnya, spontan saja senyuman di bibir pucat sang Papa semakin lebar. Anak kembarnya yang satu itu benar-benar pintar.
"Apa tujuan Papa ngasih gelang ini ke kami?"