"Aku cuma sarana buat kamu mengiyakan permintaan orang tua dong?" tanya Davit dengan suara paraunya.
Evelyn yang menatap Davit lekat-lekat hanya bisa memalingkan wajahnya. Apakah Davit akan sakit hati jika Evelyn menjawab demikian? Padahal pada dasarnya memang demikian. Tapi, Davit pernah mengatakan jika ia sudah tidak mencintai Evelyn lagi. Jadi, seharusnya Davit biasa saja saat mendengar ucapan Evelyn barusan, kan? Davit tidak mungkin mempunyai perasaan yang sama lagi, kan? Davit tidak mencintai Evelyn lagi, kan? Davit pasti sudah melupakan segalanya.
"Iya, karena orang tua aku emang maunya aku sama kamu, kan? Ibuku sampai sakit saat aku tolak kamu waktu itu, aku gak mau ibu semakin sakit aja." Tanpa memikirkan apapun, Evelyn menjawab demikian. Tidak tahu apakah Davit sakit hati ataupun tidak, tapi Evelyn sudah memperingati kalau Evelyn sudah tidak ada rasa dengan Davit, bukan?
"Emangnya kenapa? Suka enggaknya aku sama kamu enggak memengaruhi apapun, kan? Perjanjian dan kontrak pernikahan kita tetap berlaku, kan?" tanya Evelyn. Sebenarnya Evelyn ini manusia seperti apa, bukannya memikirkan perasaan Davit, ia malah memikirkan perjanjian dan kontrak pernikahan. Menurut Evelyn tidak ada yang lebih penting daripada pernikahan kontrak. Menurut Evelyn, pernikahan adalah cara terbaik agar Evelyn bisa menikah dengan Robert.
"Aku kemarin dapat pesan dari ayahku dan ayahmu. Mereka mengatakan menikah untuk seumur hidup, dan setelah itu aku langsung ingat dengan kontrak pernikahan kita. Mereka pasti kecewa kalau tau kita mempermainkan pernikahan. Mereka pasti kecewa kalau nanti mereka tau apa yang sebenarnya terjadi." Davit menjawab demikian. Mengatakan jujur apa yang memang menjadi alasan.
"Seharusnya kalau kamu punya kekasih, kamu mengenalkan kekasih kamu ke orang tua kamu, supaya kamu dan dia bisa menikah tanpa harus menikahi aku terlebih dahulu."
Evelyn membalikkan badannya, malas drama. "Kita udah bahas ini dari awal, Vit."
***
Sore sudah tiba, Evelyn sudah sampai di rumah setengah jam lalu. Gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur empuk dengan satu batang coklat yang ia nikmati. Rasanya mantap sekali.
Pikirannya masih melayang jauh pada kejadian tadi, di mana Davit mengatakan kalau pernikahan adalah hal yang sakral. Hingga Evelyn memilih pergi dari kebun stroberi itu dan melangkahkan kakinya memasuki mobil, malas drama.
Selanjutnya di mobil hanya diselimuti keheningan. Davit tidak berbicara sepatah kata pun, Evelyn juga demikian.
Pikiran Evelyn masih terus memutar apa yang Davit ucapkan. Apakah memang seharusnya seperti itu? Evelyn mengenalkan Robert kepada keluarga lalu membatalkan pernikahan dengan Davit?
Namun, Evelyn sama sekali tidak yakin. Kedua orang tuanya benar-benar menginginkan Robert menjadi suami sekaligus pendamping hidup kelak. Jika Evelyn membawa Robert ke hadapan orang tuanya pasti ditentang habis-habisan.
Apalagi Evelyn tidak yakin jika Robert mau, Robert adalah orang yang keras kepala. Pria yang lebih dewasa dua tahun dari Evelyn itu belum siap untuk menikah.
"Emangnya salah ya kalau aku mengiyakan permintaan ayah sama ibu dan memiliki menikah dengan Davit? Oke, aku emang gak cinta sama Davit, aku emang gak sayang sama Davit. Aku cuma anggap Davit sebagai sarana untuk mengiyakan permintaan tersebut aja. Aku cuma anggap Davit gak lebih dari perjanjian. Dari awal aku emang gak suka sama Davit. Aku udah gak ada rasa apapun sama dia."
Evelyn semakin menerka-nerka apa yang menjalar di perasaannya. Apakah masih ada sedikit cinta Evelyn untuk Davit? Apakah Robert lah yang satu-satunya ada di hati Evelyn? Apakah Evelyn sudah benar-benar melupakan Davit?
Jika memang sudah, mengapa pikiran tentang Davit selalu membuat Evelyn kalut, kadang juga jantung Evelyn berdetak jauh lebih kencang jika memikirkan Davit, berduaan bersama Davit, apalagi saat menatap iris mata Davit.
Dulu Evelyn memang pernah menyayangi Davit, pernah saling melengkapi, pernah berada di lingkaran hubungan yang sangat tentram. Davit adalah pria penyabar yang tidak pernah memarahi Evelyn. Davit bukanlah pria yang selalu menyelesaikan masalah dengan emosi. Davit cerdas dan Davit juga tampan, sayangnya ada satu yang kurang dari Davit, kaku.
Davit itu seperti robot, tidak bisa berperilaku manis, tidak bisa berkata-kata yang romantis, jarang sekali membelikan Evelyn apapun, jika membelikan sesuatu pasti berkaitan dengan stroberi. Davit juga pria yang misterius, tidak suka mengatakan apa yang sedang terjadi di hidupnya, tidak suka terlihat sengsara, tidak suka jika dipandang lemah, serta tidak suka berkeluh kesah.
Intinya Davit dan Evelyn itu berbeda. Seperti kutub utara dan kutub selatan. Davit yang introvert, Davit yang menganggap diri sendiri bisa melakukan apapun, berbeda halnya dengan Evelyn yang extrovert, Evelyn yang membutuhkan semua orang, Evelyn yang suka berkeluh kesah, Evelyn yang manja.
Evelyn melangkahkan kakinya menuju meja di mana semua kenangan Davit tertumpuk di sana, foto saat mereka berdua pacaran masih tersimpan rapi, di mana Evelyn tersenyum riang dengan menggenggam tangan Davit dan Davit dengan wajah datarnya memeluk pundak Evelyn. Mereka berdua sangat bahagia, ya bahagia sekali. Jarang bertengkar, jika bertengkar pun masalah yang terjadi karena Davit yang terlalu kaku, rajin belajar sehingga melupakan Evelyn.
Sehingga dulu Evelyn merasa bosan dan Evelyn menduakan Davit. Evelyn tidak suka di saat dirinya tidak dijadikan prioritas. Ya, kembali lagi dengan status Evelyn. Evelyn adalah anak tunggal, selalu menjadi prioritas bagi kedua orang tuanya, oleh karena itu Evelyn selalu menganggap semua orang harus memprioritaskannya, tak terkecuali Davit.
"Apa kamu masih sakit hati, Vit? Apa kamu masih marah sama aku karena dulu aku pernah ninggalin kamu? Kalau kamu marah aku minta maaf ya, Vit. Aku mengaku kalau aku salah. Aku mengaku kalau di saat itu yang aku lakuin adalah sesuatu kesalahan yang besar, bukan hanya sekedar khilaf. Tapi kenapa kamu masih berbaik hati menerimaku? Kenapa kamu masih mau menerima gadis yang udah menyakiti kamu? Apa kamu masih sayang sama aku, Vit? Apa kamu masih berharap sama aku?"
Evelyn semakin menatap manik mata Davit yang terbingkai dalam foto kenangan. Sorot mata tajam selalu menjadi identitas khusus bagi Davit. Davit selalu menawan dengan tatapannya yang tajam.
"Kalau kamu masih suka sama aku, kalau kamu masih mengharapkan aku, aku minta maaf karena aku gak akan bisa membalas perasaan kamu. Aku belum bisa, ah aku tidak mungkin bisa lebih tepatnya. Aku pasti akan menyakiti kamu, jadi lebih baik kamu melupakan aku, melepaskan aku, mengikhlaskan aku, aku sayang sama Robert. Aku udah punya kekasih yang memang aku sayangi. Aku mau menikah hanya dengan Robert, bukan dengan kamu. Namun, sayangnya nasib dan takdir terus mempertemukan kita, menentang semua rencanaku. Benar memang ya, manusia memang boleh merencanakan, tapi Tuhan yang mempertemukan. Semoga setelah pernikahan kita nanti, aku dan kamu bisa saling mengerti perasaan satu sama lain bahwa di antara kita sudah tidak ada rasa."
"Maaf ya, Vit."