Chapter 2 - Bab 2

Baik Asahi maupun Ryu, keduanya tetap bersikukuh meminta Rei agar mau menerima projek itu. Bagi Asahi, Carnation adalah projek besar yang akan memberikan dampak positif untuk karir Rei. Rei tahu bahwa Asahi adalah orang yang peduli kepada dirinya. Sejak pertemuan keduanya ketika Rei berusia lima belas tahun.

Tahun itu adalah tahun terberat bagi Rei. Dia tumbuh besar di panti asuhan. Tidak ada catatan tentang orang tuanya maupun siapa yang membawa dia ke panti asuhan ketika masih bayi. Namun yang pasti, bagi Rei,  dia telah dibuang dan tidak diinginkan. Dia menjalani kehidupannya dengan baik di sana. Dia bersyukur meskipun tidak ada keluarga yang memeluknya, orang-orang di panti asuhan memperlakukan dirinya layaknya keluarga. Tidak ada orang yang mengeluh ketika dia sedikit agak menjengkelkan.

Lalu hari itu datang. Ketika usianya telah menyentuh angka lima belas tahun. Tidak ada yang datang untuk mengadopsi dirinya, sementara anak-anak yang tumbuh seusia dirinya telah pergi lebih dulu. Dia merasa kesepian. Orang-orang disana tetap merawatnya dengan baik. Makan dan segala keperluan sehari-hari bahkan masih dia dapatkan tanpa memintanya.

Di suatu sore ketika dia baru saja pulang dari kegiatan sekolahnya, dia tidak sengaja mendengar percakapan antara kepala panti asuhan dengan salah satu pengasuh. Mereka membicarakan tentang nasib Rei. Mereka mempertanyakan bagaimana bisa tidak ada yang membawanya untuk diadopsi dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh Rei. Dia tumbuh sebagai pemuda yang tampan dan cerdas. Bukankah itu akan menjadi nilai lebih untuk dijadikan anak?

Apakah ada yang salah dengan Rei hingga semua yang datang enggan memilihnya?

"Apa yang harus kita lakukan?"

Rei merasa bersalah mendengarnya. Dia tidak tahu bahwa segala kebutuhannya telah dipenuhi dengan menggunakan uang dari kepala panti. Tidak ada lagi tunjangan untuknya ketika dia telah berusia lima belas tahun. Itu adalah aturan dan kepala panti tidak mungkin menentangnya. Alih-alih meminta Rei untuk pergi, kepala panti tetap membiarkan Rei tetap berada disana dan membiarkan uangnya mengalir untuk membiayai kehidupan Rei.

Rei tidak tahan dan segera pergi meninggalkan panti asuhan tanpa mengatakan sepatah katapun kepada penghuni panti asuhan. Dia tidak berpikir bahwa tindakannya adalah melarikan diri. Dia hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Keluar dari tempat yang telah memberinya kehidupan dengan baik.

Lalu pertemuan itu terjadi. Asahi datang kepadanya ketika malam telah larut. Mereka tidak sengaja bertemu di taman kota. Asahi adalah pemilik sekaligus pemimpin dari AR Entertainment. Rei tidak tahu apakah memang nasibnya begitu baik sehingga seseorang mengulurkan tangannya ketika baru saja dia melemparkan dirinya ke jalanan. Seakan apa yang telah terjadi kepada dirinya telah direncanakan oleh jalan takdir.

Asahi merawatnya di AR Entertainment sebagai calon model. Dia mendapatkan pelatihan dan juga tempat tinggal. Meskipun Rei berkata bahwa dia tidak mempunyai uang, namun Asahi hanya tersenyum dan meminta Rei untuk tidak memikirkan tentang keuangan. Rei bisa membayarnya nanti ketika dia telah sukses. Dan yah, semua berjalan dengan mulus tanpa kegagalan.

Dan kini segala hal tersebut agak mengganggu pikiran Rei. AR Entertainment bukanlah satu-satunya perusahaan yang dimiliki oleh Asahi. Bahkan jika ada tekanan dan ancaman untuk menerima projek itu, Asahi tidak perlu terlalu pusing memikirkannya. Kenyataannya, kehilangan perusahaan itu tidak akan membuat pria itu akan jatuh miskin begitu saja. Masih ada banyak usaha yang dijalankan oleh Asahi. Meski tidak banyak orang yang tahu, Asahi adalah pria kaya raya di negara asalnya.

Bukankah itu sesuatu yang aneh?

Namun Rei tidak berharap memikirkan hal tersebut dengan jauh. Dia menganggap bahwa itu adalah kemurahan hati Tuhan sebagai ganti telah ditinggalkan oleh orang tuanya.

Asahi tidak pernah menekan dirinya terhadap pekerjaan. Meskipun Asahi lebih banyak memilihkan pekerjaan dengan nilai kontrak yang tinggi, namun pria itu tidak akan memaksa jika Rei tidak menginginkannya. Namun agaknya kali ini ada yang salah. Sesuatu terasa aneh ketika Asahi begitu bersikukuh agar Rei menerima projek Carnation.

Seperti Asahi, Ryu juga begitu kukuh dalam meminta Rei agar menerima projek Carnation. Jika Asahi demi karir, lain halnya dengan Ryu. Pemuda itu berpikir bahwa jika Rei menerima projek tersebut, dia akan mendapatkan sedikit saja gambaran tentang peristiwa berdarah ratusan tahun yang lalu. Terlepas dari benar atau tidaknya apa yang digambarkan Silva tentang Benefcia Tua, setidaknya itu bisa membuat rasa penasaran Rei sedikit berkurang.

Namun di suatu siang ketika Rei baru saja bangun dari pingsannya, Ryu datang kepadanya dengan wajah yang ketakutan. Tubuhnya terlihat menggigil sementara suara yang keluar dari bibirnya terdengar agak kalut.

"Asakura-san, tolong jangan menerima drama itu. Anda akan terluka lagi. Ingat bagaimana Anda memutuskan untuk tidak menjalani kehidupan lagi sebelum ini."

Rei mendadak kembali pusing. Dia berpikir bahwa Ryu terlalu lelah dengan pekerjaannya. Atau bahkan mungkin pemuda itu merasa bersalah karena telah mendesaknya untuk menerima drama itu, hingga membuat Ryu sedikit berbicara melantur. Rei mencoba untuk duduk dan memperhatikan wajah pucat penuh keringat di depannya.

"Ryu-kun, tolong beristirahatlah dan jangan berbicara tentang hal yang aneh." Rei mencoba tersenyum meski ada ketakutan yang menyelip di hatinya, ketika melihat mata yang menatapnya seakan-akan tengah dikejar oleh iblis. Dia menelan ludahnya tanpa sadar.

"Ryu-kun." Rasanya tenggorokannya mulai mengering. Rei membutuhkan air namun tangannya tidak cukup sampai untuk menjangkau gelas di atas meja. Alih-alih meminta tolong kepada Ryu yang masih menatapnya dengan ketakutan, Rei lebih berusaha untuk mengambil gelas itu. Dan satu sentuhan jari tengahnya tidak sengaja menjatuhkan gelas itu ke lantai hingga pecah dan membuat air berhamburan kemana-mana.

"Ah, Asakura-san!" Ryu hampir berteriak dan membuat Rei kaget, "apa yang Anda lakukan? Seharusnya Anda menyuruh saya jika membutuhkan sesuatu."

Apalagi ini?

Rei merasa semakin heran dengan tingkah laku Ryu. Sesaat lalu pemuda itu seperti orang lain dan sekarang Ryu kembali dengan kepribadiannya yang berisik.

"Anda sudah sadar? Sejak kapan? Kenapa tidak ada yang memberitahu saya?"

Rei merasa seakan dadanya menyempit mendengar setiap celotehan yang keluar dari bibir Ryu. Daripada serentetan pertanyaan itu, Rei lebih penasaran akan tingkah Ryu beberapa saat yang lalu ketika pemuda itu datang menemuinya dengan wajah ketakutan.

Bagaimana pemuda itu memohon agar dia tidak menerima projek Carnation. Lalu Rei terdiam ketika mengingat kalimat setelahnya. Dia menatap wajah panik di depannya dan mencoba mencari maksud dari perkataan itu. Namun tidak ada yang dia dapatkan. Wajah ketakutan itu seolah lenyap entah kemana. Seakan itu adalah wajah lain yang hanya singgah sebentar hanya untuk menyapa.

"Saya akan mengambilkan gelas untuk Anda. Tolong jangan terlalu banyak bergerak." Setelahnya Ryu bergegas keluar dari kamar Rei dan meninggalkan pemuda itu dalam kesunyian.

Pada dasarnya Ryu adalah pemuda yang baik. Kepribadiannya menyenangkan dan ceria, meskipun terkadang pemuda itu sedikit menyebalkan karena terlalu berisik. Jika tidak salah ingat, awal mereka bertemu adalah dua tahun yang lalu ketika dia membutuhkan seorang manajer baru setelah manajer lamanya mengundurkan diri.

Rei kembali berbaring hanya untuk menyamankan kepala yang masih berdenyut sakit. Dia mengingat kejadian yang membuat dirinya tidak sadarkan diri selama hampir tiga hari. Dia cukup bersyukur akan hal itu. Dia merasa bahwa akhirnya dia bisa memejamkan mata tanpa takut mimpi buruk akan mengganggunya, meskipun tidurnya tidak setenang yang diharapkan.

Pertemuan siang itu membuat kepala Rei terasa sakit ketika melihat wajah pucat Silva. Ingatan-ingatan yang tidak dia kenal datang menghantamnya sebelum akhirnya dia jatuh dan tidak sadarkan diri. Dalam tidurnya, Rei melihat tempat yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Pinggiran Hutan yang mengering. Daun-daun yang telah tua berserakan di bawah pohon-pohon kering yang masih menjulang tinggi. Sungai kecil mengalir dengan air yang jernih. Dan sebuah tanah subur yang terlihat ketika Rei berlari semakin jauh ke dalam hutan yang dipenuhi pohon Lignum Vitae.

Lalu Rei membuka mata ketika dia melihat kembali wajah pemuda yang datang menghantui mimpinya setiap malam. Kali ini agaknya sedikit berbeda. Pria itu tersenyum dengan tulus.

'Raia.'

Rei dapat merasakan dadanya seakan terbakar. Rasa sakit seperti sebuah benda tajam menghujam dadanya tanpa ampun. Dia meringis mencoba untuk menahan rasa sakit itu. Kedua tangannya tanpa sadar meremas baju yang melekat di dadanya.

'Makhluk apakah dirimu?' pertanyaan itu muncul tanpa bisa dia cegah ketika melihat sesosok pemuda dengan sayap putih tanpa noda.

Rei tidak dapat menahan rasa sakit itu lebih lama. Tubuhnya jatuh di atas ranjang ketika mendengar suara-suara asing yang seakan berbisik di telinganya. Nafasnya kian berat. Air mata mulai berkumpul di pelupuk matanya.

'Berapa kali pun kau mencoba, jantung ini akan mengutukmu."

Air mata kian mengalir tanpa bisa Rei cegah. Tangannya semakin kuat mencengkeram bajunya. Dia mohon agar suara itu pergi dan membebaskannya dari rasa sakit itu. Jika tidak, mungkin saja dia akan mati setelah itu. Penglihatannya semakin mengabur.

'Raia, kau bisa memanggilku seperti itu.'

'Semua orang boleh datang ke hutan ini, tapi tidak dengan menginjakkan kakinya ke sini.'

'Bagiamana bisa kunang-kunang bertebaran di dekatmu?'

'Kau akan hidup hanya untuk mati. Kau akan mati meskipun ribuan kali kau mencoba untuk hidup kembali. Raia, jantung ini akan mengutukmu sampai kau tidak akan ingin hidup lagi.'

Rei ingin berteriak. Namun seberapa kuat dia mencoba, hanya bibirnya yang terbuka. Seakan suaranya tertekan di tenggorokan. Semakin lama penglihatannya mengabur. Dia tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya. Namun yang pasti perasaan itu benar-benar menyiksa.