Flora's Side'彡
Gelap...
Aku berusaha membuka mataku, berat sekali...seperti di lem. Sayup-sayup kudengar suara asing.
"Hey? Hey?"
Hey? Dia memanggil ku? Tapi kan namaku bukan hey. Oh ayolah mata, membukalah sedikit. Dan, akhirnya mata ku terbuka, buram, itu yang pertama ku rasakan. Indra ku mulai berfungsi, dan aku mulai merasakan rasa nyeri yang menggigit di seluruh tubuhku.
"Oh syukurlah dia masih hidup, Yon!" Suara itu kembali terdengar, nadanya sarat kelegaan.
"Ya. Syukurlah dia tidak mati...atau aku harus mengubur mayat lagi." Suara berat lain menyahut, ketus.
"A...ku dima...na? Si...siapa ka..lian?" Ugh! Berbicara saja rasanya seperti ingin mati.
Fokus orang-orang tadi terpusat padaku. Ada empat orang...lelaki? Salah satu di antara mereka memangku kepala ku. Seseorang lagi duduk di sebelahku. Dua orang lainnya masing-masing memegang senapan. Oh Tuhan! Senapan?! Apa yang terjadi sebenarnya?
"Evan... tolong." Lelaki yang memangku diriku berbicara pada bocah yang duduk di samping ku, bocah itu mengangguk mengerti.
Mereka mengacuhkan pertanyaan ku, hey?! Bisakah kalian setidaknya menjawab? Ugh! Sial! Tubuhku rasanya rontok semua. Bocah tadi tersentak sambil menatapku.
"Tunggu sebentar ya." Ucap bocah itu lembut.
Matanya terpejam lalu tangannya diletakkan di atas keningku. Entah perasaan ku atau tidak, ada arus hangat yang membuat tubuhku nyaman. Rasa sakit tadi rasanya menghilang, seolah rasa sakit itu hanya imajinasi ku. Lalu pandangan ku mulai jelas dan anggota tubuh ku sedikit demi sedikit mulai membaik.
"Wow..." Bibirku menggumam takjub. Gila! Anak ini bisa sihir! Luka-luka ku perlahan sembuh saat dia meletakkan tangan nya.
"Kau tidak usah sampai kaget begitu." Lelaki yang memangku ku terkekeh pelan.
Aku mengerutkan dahi, siapa coba yang tidak kaget dan bingung melihat orang yang bisa menyembuhkan luka secepat itu? Apakah kau waras? Aku mengedarkan pandangan dan persis seperti pandangan ku lelaki tadi, dua orang lainnya menahan tawa melihat reaksi ku. Hey...ini mereka yang tidak waras atau aku?
"Kereeen!" Bocah tadi melompat kaget, raut wajahnya menatap ku berbinar.
Cuma perasaan ku atau dia seperti melihat hewan langka? Dua orang yang memegang senapan sontak tersentak kaget. Sementara lelaki yang memangku ku memandang bocah itu bingung.
"Dia sama seperti kita." Ucap bocah itu gembira.
"Serius?!"
"Ha?"
"Spirit nya apa?"
Sahutan menyambut ucapan bocah itu. Sementara aku hanya menganga bingung. Bisakah salah seorang saja di bumi ini menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?
"Tapi...sepertinya kakak ini tidak mengerti sama sekali." Ujar bocah itu sambil melirik simpati ke arah ku.
Selanjutnya lelaki yang memangku ku tadi dengan senang hati menjelaskan hal-hal tentang-apa-yang-tidak-ku mengerti.
●❯────────────────❮●
Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang menjurus ke dalam hutan, sebenarnya aku tidak tau kami kemana. Tapi kurasa kami memasuki hutan. Kaki ku masih lemah, itu kata bocah yang baru kutahu bernama Evan itu. Jadi demi tidak menghambat perjalanan mereka yang terpaksa membawa satu anggota tambahan yaitu aku, lelaki yang tadinya memangku ku menawarkan dirinya untuk menggendong ku. Athlas, dia lelaki yang cukup baik sepertinya, setidaknya dia dan Evan jelas menerima kehadiranku.
Aku menaruh dagu di bahu Athlas, tubuhku lelah sekali dan otak ku lebih lelah, apa lagi setelah Athlas menjelaskan hal-hal yang tidak bisa ku mengerti baik tadi maupun sekarang. Spirit, adalah hal tidak masuk akal yang menjadi keajaiban. Sebuah kekuatan yang di berikan untuk orang-orang tertentu dan di turun kan pada keturunan mereka. Orang-orang ini di sebut Sofrosine, segera aku menyuarakan protes ku akan betapa anehnya nama itu. Mereka hanya terkekeh bahkan Chris, lelaki bertubuh ramping dan mungil dengan wajah yang biasa nya dingin itu menyunggingkan senyum miring. Sementara Arion, lelaki berbadan besar seperti atlet binaragawan itu terbahak sambil mengatai ku 'bodoh' berulang kali. Sofrosine adalah nama asal-asalan yang dibuat oleh orang-orang 'normal'. Dan sekarang setelah 18 tahun, aku menyadari bahwa aku adalah salah satu dari mereka. Lebih tepatnya Evan lah yang menyadarkan ku.
"Mereka membantu kami untuk memikirkan hal-hal remeh seperti itu. Dan itu menegaskan bahwa mereka memberi garis batas yang jelas antara Sofrosine dan orang normal. Termasuk orang-orang yang menemani mu dari awal hidupmu." Kata Arion sambil menerawang.
"Kalian tau dari mana kalau kalian termasuk Sofrosine?" Tanyaku penasaran.
"Evan, bocah itu tau sendiri. Dia bisa melihat pikiran orang, dia tau dia berbeda setelah ayahnya berfikir untuk menjualnya ke pusat karantina.." Belum selesai Athlas menjelaskan aku kembali memotong.
"Pusat karantina? Tempat apa itu?" Dari namanya, itu untuk menyembuhkan orang...kan?
"Itu tempat para Sofrosine yang masih muda dan lugu untuk di latih dan di jadikan senjata. Mereka akan di jual kembali ke dunia luar, entah sebagai tentara negara, bodyguard atau hal sejenis itu. Beberapa di jual ke ilmuan gila untuk mengetahui bagaimana spirit kita terbentuk."
Aku tersedak mendengarnya, apakah kalau aku tidak bersikeras untuk pergi jalan-jalan dengan teman sebaya ku dan kabur dari pengawal-pengawal ayah, suatu saat aku juga akan di jual? Menyadari pikiran itu melintas, aku segera menggelengkan kepalaku. Itu ayahku, oke? Tidak mungkin dia se-tega itu.
Athlas mungkin menyadari bahwa aku mulai linglung, dia kembali membuka suara.
"Aku tau saat di karantina, keluarga ku sangat sayang padaku, mereka sudah mengingatkan berkali-kali untuk menyembunyikan kekuatan ini, namun entah kenapa saat aku pulang dari sekolah aku di bius dan bangun di pusat karantina, di sana aku bertemu Chris dan Arion. Chris satu tahun lebih tua dari kami, para Sofrosine dapat memulai pelatihan inti saat memasuki usia 20 tahun, sedangkan aku dan Arion masih 19 tahun. Jadi Chris benar-benar menolong kami saat kabur dari pusat karantina. Dia melatih Spirit kami dan merencanakan siasat kabur yang sempurna. Dan kami...bertemu Evan saat proses kabur itu, dia sedang di jual oleh ayahnya saat itu." Athlas terus saja mengoceh dan aku mendengarkan dengan baik setiap informasi darinya.
Tiba-tiba ia menolehkan kepalanya ke arah ku dan menyeringai, "Untuk cerita Arion dan Chris, lebih baik kau tanya mereka." Ucapnya sambil mengerling jahil.
Aku mendengus, kesal dengan cerita setengah-setengahnya. Namun aku tidak memiliki keberanian bertanya pada Chris maupun Arion. Yang benar saja, satunya singa galak dan satunya lagi papan kayu. Yang ada aku habis di amuk atau keki sendiri.
Setelah itu, Athlas bercerita tentang rencana kaburnya yang "wah". Aku yang tak berminat mendengarkan pun jatuh terlelap.
Pada akhirnya, aku berharap ini hanya mimpi. Sofrosine, spirit, pusat karantina dan hal-hal tidak masuk akal lainnya hanyalah bunga tidur ku dan setelah aku bangun nanti semuanya akan hilang.
◤◢◣◥◤◢◣◥◤◢◣◥◤◢◣◥◤◢◣◥