Buncitan, desa ujung Timur Sidoarjo ,- 1431
"Mahesa, desa sedang diserang, cepatlah kabur!"
"Ta-tapi, Ayah, layanganku belum diturunkan."
Dua orang bocah sedang bermain layang-layang yang terbang tinggi.
Mahesa, seorang anak dengan tatapan mata sangat tajam dan aura membunuh super kuat, langsung digendong ayahnya sebelum anak panah mengguyur.
Tidak lama, debu bertebaran dari balik bukit yang ada di Selatan desa. Derapan suara tapak kaki menderu dan hujan anak panah sudah diterbangkan.
"Cepat pulang!"
"Pasukan Meng Khi sudah menyerang!"
Teriakan ayah Mahesa membuat semua penduduk desa Buncitan kalang kabut.
Desa sedang dijajah oleh beberapa pasukan kiriman raja pendekar terkuat di dunia, Meng Khi, yang berniat menguasai seluruh wilayah Jawa.
Ayah Mahesa berlari secepat mungkin sambil menggendong Mahesa menuju desa.
Tidak peduli apakah dirinya selamat atau tidak, tapi anak ini haruslah selamat.
"Ayah, yang diatas itu apa?"
Anak panah sudah berjarak beberapa meter dari atas dan ayah Mahesa langsung berlutut untuk melindungi anaknya.
Crat!
Darah mengucur begitu sebuah anak panah menusuk punggung ayah Mahesa.
"Pergilah ke parit, jangan pedulikan ayah! Beritahu ibukmu yang sedang ada di rumah dan kalian harus selamat."
"Tapi ayah janji untuk menemani Hesa untuk menjadi seorang pendekar sejati."
"Ayah akan pergi sebentar, kamu pergilah menemui ibuk dan sembunyi di parit!"
Mahesa langsung menuruti perintah ayahnya. Ia berlari secepat mungkin dengan air mata yang terus menetes.
Dari jauh, ia melihat belasan anak panah menembus punggung ayahnya.
Sekilas, ayah Mahesa menatap putranya sejenak sebelum kehilangan kesadaran.
Tubuhnya sangat lemas dan kaku, bahkan rongga mulutnya seperti dicekik oleh seseorang.
Belasan panah beracun sudah menusuk tubuhnya dan ia harus mati sebelum melihat anak tunggalnya meraih cita-cita menjadi seorang pendekar.
Tak mempedulikan hal tersebut, Mahesa tetap berlari dan terus berlari hingga mencapai desa.
Ternyata disana sudah dikepung tentara Meng Khi dan beberapa penduduk desa mati terbunuh.
Pertempuran tidak bisa dielakkan. Darah berceceran di setiap tempat.
Sebuah batu melesat sangat kencang dan Mahesa berhasil menghindari lemparan tersebut.
Seseorang dengan ikat kepala hitam menarik tangan Mahesa dan beruntung, bocah itu berhasil menggigit tangan lawannya hingga berdarah.
Sebelum pedang berayun, seorang lelaki paruh baya menyelamatkan Mahesa dan menyuruhnya segera pulang untuk menjemput ibunya.
"Pulanglah, selamatkan ibumu, Hesa!"
"Kakek Seno, terima kasih."
"Sudahlah, tidak ada waktu untuk mengucap terima kasih. Cepat selamatkan ibumu!"
Mahesa tidak memperdulikan hal tersebut dan berlari menuju rumah gadangnya yang ada di bagian pojok desa dekat sawah.
Saat pintu dibuka, ia menyaksikan ibunya sedang dikerumuni tiga orang lelaki yang tidak menggunakan celana.
Tangan ibunya terikat di kayu ranjang dan Mahesa langsung menangis sekencang mungkin.
"Hey, ada anak kecil, akan kita apakan dia?"
"Stop, Hesa! Jangan melawan mereka atau kau akan mati. Cepat pergi dari sini!"
Seorang lelaki dengan ikat kepala hitam bercorak putih mendekati mahesa.
Dia adalah pemimpin regu penyerbuan desa Buncitan sekaligus ketua perguruan silat bernama Elang Hitam, sebuah perguruan yang sering membuat resah penduduk desa.
Perguruan tersebut langsung di bawah komando Meng Khi dan dipimpin oleh lelaki tersebut.
Setiap yang mereka datangi akan selalu meninggalkan korban jiwa. Banyak perempuan terenggut kehormatannya karena mereka.
Dan sekarang, ibu Mahesa yang menjadi korban kegilaan mereka.
"Ibumu sangat cantik, apa kau tidak mau menjadi anak angkatku?"
Tidak!
Teriakan Mahesa menggelegar dan membuat beberapa kayu yang ada di rumahnya bergetar.
Dalam kitab Sabdo Waseso kuno, diramalkan ada seorang anak dari pesisir Timur yang kelak akan menjadi seorang pendekar paling hebat yang pernah ada dalam sejarah.
Kehebatannya terdengar dari ujung Timur ke Barat dan akan menggulingkan kekuasaan raja pendekar kala itu yang bermarkas di dekat bukit Hwang, Cina.
Lelaki ikat hitam corak putih itu berjalan menuju ibu Mahesa kembali dan menggarapnya seperti seorang anjing liar.
"Nak Mahesa," lirih Patmi, ibu Mahesa yang sudah tidak bisa lagi bergerak.
"Cepatlah pergi, ini permintaan terakhir ibumu."
"Tidak, Ibu, aku tetap disini dan akan membantu ibu selesai dari penderitaan. Aku akan menolong warga desa!"
Tiga pendekar utusan Meng Khi itu tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin anak tujuh tahun bisa mengalahkan mereka yang sudah memiliki sabuk hitam.
"Tidak ada waktu lagi..."
"Cepat!" Perintah Patmi kepada Mahesa langsung disambut dengan tusukan bilah pisau di perutnya.
Patmi berteriak kesakitan dan Mahesa kembali menangis dengan kencangnya.
Luka dan dendam yang ia dapat setelah melihat ayah dan ibunya terbunuh oleh pasukan Meng Khi, akan terus membekas seumur hidup serta tidak bisa dimaafkan.
Plak!
"Dasar perempuan tidak tahu diri!"
Dua tamparan dilakukan oleh pemimpin perguruan Elang Hitam itu.
"Diam dan rasakan kenikmatan yang aku beri. Dan juga ... hasut putramu untuk menerimaku sebagai ayah barunya."
Mata Mahesa melihat sendiri ketidakmanusiaan orang-orang Elang Hitam. Ingin rasanya ia membalas perbuatan mereka.
Sangat tidak beradab, mempertunjukkan adegan seperti itu di depan seorang bocah berumur sembilan tahun.
Plak!
Dua tamparan lagi-lagi melayang ke pipi Patmi.
Mahesa hanya bisa menangisi ibunya yang juga menitikkan air mata.
"Mati kau!"
"Sudah sok cantik, tidak bisa diatur pula..."
Cuh!
Patmi meludahi wajah kepala pendekar tersebut dan membuatnya naik pitam.
Sontak, pisau dicabut dari perutnya dan teriakan keras terdengar.
"Mati adalah pilihan yang cocok untukmu."
Tiga tusukan pisau menikam perut Patmi.
"Ibu akan selalu mendoakanmu, Nak. Kelak nanti akan kuadukan ke Yang Kuasa agar membuatmu menjadi seorang pendekar hebat."
Sebagai seorang bocah kecil yang tidak tahu-menahu, ia hanya mengangguk dan mengamini doa ibunya.
Lirih sekali, sampai-sampai angin yang berhembus mengantarkan doa ibunya ke telinga Mahesa.
"Berisik!"
"Sudah pasti mati saja pakai berdoa. Tuhan tidak akan mendengar doa orang lemah sepertimu!"
"Bu-bunuh aku, cepat!"
"Akan kuturuti perintahmu."
Pisau itu menancap di leher Patmi yang membuatnya diam dan tidak bergeming.
Ibu Mahesa sudah mati.
Mahesa yang melihatnya, berlari terbirit-birit keluar rumah dan menuju parit yang ada di dekat hutan.
Ayah ibunya sudah mati dan dia kini tinggal sebatang kara.
Dengan pandangan kosong, ia berlari menuju parit yang dimaksud ayahnya.
"Ada anak yang mau kabur!"
Teriakan itu menggema dan Mahesa dikejar oleh tujuh orang membawa pedang.
"Tunggu, jangan pergi atau kau akan kubunuh!"
Mahesa tidak memperdulikan teriakan dari belakang dan terus berlari menuju ujung desa.
Ayahnya memberi tahu jika parit itu tertutup oleh daun-daun kering dan posisinya tepat berada di samping pohon beringin yang paling besar batangnya.
Aaaaaaaa!
Mahesa jatuh ke dalam parit yang ternyata sangat dalam.
"Sialan! Kita tidak berhasil menangkapnya."
"Mungkin bocah itu sudah mati karena jatuh dari lubang setinggi ini."