[3rd Story]
Mid Semester 2.
Guru membagikan amplop pemberitahuan yang isinya adalah pemberitahuan akan ada Ujian Tengah Semester dalam 1 minggu lagi.
Siswa-siswi menampilkan beraneka macam ekspresi. Ada yang serius, ada yang percaya diri, ada yang terlihat khawatir dan gelisah, ada juga yang histeris.
Setelah bel pelajaran akhir selesai, ketua kelas berdiri di depan ruangan. Dan mengatakan rencananya untuk membuat kelompok belajar sepulang sekolah.
"Jadi gimana, pada setuju ga buat kelompok belajar? Nanti kita minta tolong bu Ai buat jadi pembinanya." Tegas Khaerul, sang ketua kelas.
Semuanya bersorak tanda setuju dengan usulan Khaerul. Selain menghemat biaya daripada ikut les atau bimbel. Lebih nyaman jika belajar bersama teman. Dan bisa saling mengajari.
"Nah. Oke. Khaerul lu koordinir aja nanti jam belajar nya." Ucap Rangga salah satu siswa.
"Kerjasama dengan bu Ai.. ciee kan." Tambah Andrew
Khaerul terbatuk mendengar candaan teman-temannya. Gimana ngga. Bu Ai, wali kelas kami adalah bunga di sekolah kami.
Bu Ai berusia di pertengahan 30 tahun-an. Memilki paras cantik dan memiliki lesung pipit yang terlihat manis. Kadang kami tidak percaya dia lebih muda dari umurnya.
Tubuhnya tidak terlalu kurus dan tidak juga gemuk. Porsi yang ideal. Dia juga tegas terhadap siswa-siswa nya.
Aku melihat ke arah meja Ren yang kosong. Akhir-akhir ini Ren semakin jarang berangkat pagi ke sekolah. Seringkali Ren mulai absen tanpa keterangan yang jelas. Saat masuk sekolah, terlihat beberapa bagian memar di tubuh Ren.
Aku teringat kejadian terakhir kali saat Ren di pukuli. Aku khawatir sekali. Aku ingin tahu keadaan Ren.
Hari itu sampai bel pulang berbunyi, Ren tidak datang ke sekolah.
Seperti yang telah di rencanakan sebelumnya, hari ini kami berdiskusi dengan bu Ai untuk mengatur jam belajar kami.
Kelompok belajar Kami mendapat ijin dari bu Ai untuk menggunakan 2 jam tambahan belajar di kelas.
Sejam setelah kelompok belajar mulai. Aku pamit pulang lebih cepat dari yang lain.
Aku mengayuh sepeda ku. Melewati jalan yang terakhir ku ingat. Menuju ke rumah Ren.
Hanya membutuhkan 15 menit menggunakan sepeda, aku sampai di rumah Ren. Kuparkirkan sepeda ku di sandaran pohon.
Aku menelan ludah ku. Aku deg-degan sekali. Jantung ku berdegup kencang. Padahal harusnya biasa aja. Ini kan rumah temen ku.
Sama saja seperti yang lain kan.
Tapi ga juga! Tangan ku keringatan saat mencoba mengetuk pintu rumah Ren.
Aku menarik nafas. Lalu, ku beranikan kepalan tanganku melakukan aksi nya.
Kreek.
Aku terkejut. Sebelum mengetuk, pintunya sudah lebih dulu di buka.
Aku melihat Ren membuka pintu. Wajah, leher, tangan, kaki. Terdapat memar dan beberapa bagian terdapat luka yang masih jelas darah mengalir.
"Dori?" Ucap Ren dengan suara serak. Saat beberapa menit melihat ku, Ren terkejut. Sepertinya daritadi dia melamun tak sadar kalau aku ada disana.
Ren spontan hampir menutup pintu, beruntung Aku sigap dan menahan pintunya agar tidak tertutup.
"Ren. Tunggu bentar. Plis. Aku mau ngomong sama Ren." Pintaku.
"Ga ada yang perlu di omongin. Dori. Kumohon. Pulanglah." Teriak Ren.
Aku baru kali ini mendengar Ren berteriak.
Tapi, aku tak mau menyerah. Aku merasa kalau aku tak menarik Ren keluar saat itu, aku akan kehilangan Ren. Ren akan pergi.
Karena keinginan keras ku atau mungkin karena kekeras kepala-an ku, aku berhasil menembus pertahanan Ren yang kokoh.
Pintu yang terbuka paksa, menyebabkan keseimbangan antara tarikan dan dorongan goyah. Aku yang menerobos masuk ke rumah Ren, kehilangan keseimbangan tubuh dan membuatku hampir terjatuh. Sampai akhirnya Ren juga yang menangkap tubuh ku.
"Ren."
Ren yang masih kaget. Mendekap tubuhku erat. Setelah kesadarannya kembali. Ren mulai memarahiku. Dan menceramahiku. Bahwa perilaku ku itu nekat dan ceroboh.
Meskipun sambil marah, di pelukannya, aku mendengar suara degup jantung yang begitu keras dari suara Ren. Tangannya gemetar. Ia masih memelukku.
Diantara suara jantung kami yang masih saling berpadu-irama. Aku tanpa sengaja melihat kondisi dalam rumah Ren.
Ada banyak pecahan dari botol minuman keras, kertas-kertas yang bertebaran, baju-baju yang berserakan. Dan bekas darah. Yang tak perlu di tanyakan lagi itu darah siapa.
Aku yang melihat pemandangan itu, merasa takut dan khawatir. Aku memeluk erat tubuh Ren yang dingin dan berkeringat.
Setelah melepas pelukannya, lama sekali kita terdiam.
Ren melihat kearahku. Lama sekali. Aku merasa Ren tak akan memulai obrolan.
Sehingga aku menghela nafas. Dan memulai wajah serius.
Aku mengeluarkan kertas di dalam tas ku. Isi nya tentang pemberitahuan akan diadakannya UTS 1 minggu lagi.
Ren mengambil kertas yang ku berikan dan mulai membacanya. Lalu melipatnya lagi.
"Lalu?" Tanya Ren.
"Kami membuat kelompok belajar di kelas. Setiap pulang, kami akan menambah jam belajar kami bersama selama 2 jam." Jelas ku.
"Hm."
Ren hanya melihat kertas yang sudah rapih dilipatnya itu. Dengan wajah yang terlihat bingung, Ren melanjutkan perkataannya.
"Aku tak bisa ikut." Ucap Ren Singkat.
Banyak yang ingin kutanyakan. Tapi, aku bingung ingin menanyakan yang mana duluan.
Seperti..
Siapa orang yang melakukan ini terhadap Ren?
Tapi kurasa Aku dapat menanyakannya nanti. Kemudian aku bangun dari dudukku. Melihat sekitar rumah. Kuambil sapu, sekop, dan lap .
Aku membersihkan kekacauan di dalam rumah Ren dengan cepat. Dan rumah Ren seketika kembali rapih. Aku bangga dengan kemahiran ku dalam berbenah ini.
Ren juga sampai terdiam kagum.
"Udah sore. Ku antar pulang, dori?" Tanya Ren.
Kesempatan. Aku mengangguk.
Di perjalanan pulang ke rumah, Ren mulai menceritakan kehidupannya sejak kecil.
Ren lahir dari keturunan Indonesia-Australia. Ayahnya yang Aussie adalah pribadi yang sangat tegas dalam bersikap dan mengambil keputusan.
Merasa tak cocok dengan Ibunya Ren, ayahnya pun terpaksa menceraikan ibunya setelah menjalin rumah tangga selama 5 tahun.
Dari pernikahan mereka yang terbilang cukup singkat itu mereka memiliki dua anak laki-laki yang selisih umurnya hanya 2 tahun. Ren adalah anak kedua dari dua bersaudara itu.
Saat masih bayi, Ia dibawa oleh ibunya. Sedangkan kakaknya dibawa oleh ayahnya.
Ibu Ren terbilang masih sangat muda. Ia tak siap dengan kenyataan yang harus di terimanya.
Namun, Ibunya tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dan anaknya.
Ibunya bekerja menjadi penyanyi di sebuah bar di kota lain. Saat masih bayi, Ren dititipkan ke kakek dan neneknya.
Ren kecil tumbuh dengan baik karena didikan kakeknya yang pensiunan guru. Karena itu, Ren juga punya cita-cita menjadi seorang guru.
Tapi, saat dia berumur 12 tahun, Kakeknya meninggal. Tak lama kemudian neneknya pun menyusul. Sehingga, Ren kembali tinggal bersama ibunya.
Saat ke rumah Ibu nya, ternyata tanpa sepengetahuan Kakek dan Neneknya Ren, ibunya telah tinggal bersama dengan seorang pria berbadan besar dan bertato. Pria itu adalah kekasih Ibu Ren.
Sejak awal, sudah terlihat jelas bahwa Pria itu sangat membenci Ren. Dia orang yang sangat kasar dan pemabuk.
Sejak saat itu seringkali Ren menjadi sasaran pemukulan tanpa alasan yang dilakukan oleh Pria itu. Ren tidak berani menceritakan pada ibu nya untuk menjaga perasaannya.
Meskipun begitu, Ren merasa Ibunya mengetahui semua hal itu. Tapi berusaha untuk diam. Ren tidak tahu apa yang membuat ibunya berubah seperti itu.
Pria itu akan datang setiap sebulan sekali untuk mencari uang simpanan Ibu nya Ren.
Alasan Ren pindah sekolah dari kota lain adalah akibat Pria itu mengamuk di sekolah Ren dan menyebabkannya di tahan polisi beberapa hari.
Ren di keluarkan dari sekolah dengan alasan yang ditutupi. Pihak sekolah tidak mau mengambil resiko untuk menjaga citra dan kenyamanan siswa nya yang lain.
Mendengar cerita itu aku memeluk Ren lagi. Aku tak bisa membayangkan selama 2 tahun, Ren harus menahan rasa pukulan dari seorang Pria asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya.
Setelah sampai ke rumahku, aku mengambil beberapa perlengkapan P3K untuk mengobati luka Ren.
Untuk kali pertama, aku melihat Ren tersenyum ke arah ku. Dan jelas saja membuat ku tertunduk malu.